ASOKA YANG AGUNG
.
|
|
Memerintah
|
269–232 SM
|
Koronasi
|
269 SM
|
Pendahulu
|
|
Pengganti
|
|
Istri
|
|
Anak
|
|
Ayah
|
|
Ibu
|
Dharma/Shubhadrangi
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Agama
|
Maharaja
Asoka
Asoka yang
Agung (juga Ashoka,
Aśoka, dilafazkan sebagai Asyoka) adalah penguasa Kekaisaran Gupta dari 273 SM sampai 232 SM. Seorang penganut agama Buddha, Asoka menguasai sebagian besar anak benua India, dari apa yang sekarang disebut Afganistan sampai Bangladesh dan di selatan sampai sejauh Mysore.
Nama
"Asoka" berarti 'tanpa duka' dalam bahasa Sanskerta (a – tanpa, soka –
duka). Asoka adalah pemimpin pertama Bharata (India) Kuno, setelah para pemimpin Mahabharata yang termasyhur, yang menyatukan
wilayah yang sangat luas ini di bawah kekaisarannya, yang bahkan melampaui
batas-batas wilayah kedaulatan negara India dewasa ini.
Sang penulis
Britania H. G. Wells menulis tentang Asoka: "Dalam
sejarah dunia, ada ribuan raja dan kaisar yang menyebut diri mereka sendiri
‘Yang Agung’, ‘Yang Mulia’ dan ‘Yang Sangat Mulia’ dan sebagainya. Mereka
bersinar selama suatu waktu singkat, dan kemudian cepat menghilang. Tetapi
Asoka tetap bersinar dan bersinar cemerlang seperti sebuah bintang cemerlang
bahkan sampai hari ini" (Aslinya dalam bahasa Inggris: "In the history of the
world there have been thousands of kings and emperors who called themselves
'Their Highnesses', 'Their Majesties' and 'Their Exalted Majesties' and so on.
They shone for a brief moment, and as quickly disappeared. But Ashoka shines
and shines brightly like a bright star, even unto this day").
Kehidupan awal
Asoka adalah
putra maharaja Maurya, maharaja Bindusara dari seorang selir yang pangkatnya agak rendah dan
bernama Dharma. Asoka memiliki beberapa kakak dan hanya satu adik, Witthasoka.
Karena kepandaian yang meneladani dan kemampuannya berperang, ia dikatakan
merupakan cucu kesayangan kakeknya, maharaja Candragupta
Maurya. Maka
seperti diceritakan dalam bentuk legenda, ketika Candragupta Maurya
meninggalkan kerajaannya untuk hidup sebagai seorang Jain, ia membuang pedangnya. Asoka menemukan pedangnya dan
menyimpannya.
Jalan menuju kekuasaan
Maka
sementara ia berkembang menjadi seorang prajurit ulung yang sempurna dan
seorang negarawan lihai, Asoka memimpin beberapa regimen tentara Maurya.
Popularitasnya yang naik di seluruh wilayah kekaisaran membuat kakak-kakaknya
menjadi cemburu karena mereka cemas ia bisa dipilih Bindusara menjadi maharaja selanjutnya. Kakaknya yang tertua,
pangeran Susima, putra mahkota pertama, membujuk Bindusara untuk mengirim Asoka
mengatasi sebuah pemberontakan di kota Taxila, di provinsi barat laut Sindhu, di mana pangeran Susima adalah
gubernurnya. Taxila adalah sebuah daerah yang bergejolak karena penduduknya
adalah sukubangsa Yunani-India yang suka berperang dan juga karena
pemerintahan kakaknya, pangeran Susima kacau. Oleh karena itu dalam daerah ini
banyak terbentuk milisi-milisi yang mengacau keamanan. Asoka
setuju dan bertolak ke daerah yang sedang dilanda huru-hara. Maka ketika berita
bahwa Asoka akan datang menjenguk mereka dengan pasukannya, ia disambut dengan
hormat oleh para milisi yang memberontak dan pemberontakan bisa diakhiri tanpa
pertumpahan darah. (Provinsi ini di kemudian hari memberontak lagi ketika Asoka
memerintah, namun kemudian ditumpas dengan tangan besi).
Keberhasilan
Asoka membuat kakak-kakaknya semakin cemas akan maksudnya menjadi maharaja
penerus, maka hasutan-hasutan Susima kepada Bindusara membuatnya membuang
Asoka. Asoka kemudian pergi ke Kalinga dan menyembunyikan jatidirinya. Di
sana ia bertemu dengan seorang nelayan wanita bernama Karubaki, dan ia jatuh cinta. Prasasti-prasasti yang baru
ditemukan menunjukkan bahwa ia kelak menjadi permaisuri selirnya yang kedua
atau ketiga.
Sementara
itu, ada sebuah pemberontakan lagi, kali ini di Ujjayani (Ujjain). Maharaja Bindusara mengundang Asoka kembali
setelah dibuang selama dua tahun. Asoka pergi ke Ujjayani dan pada pertempuran
di sana terluka, tetapi para hulubalangnya berhasil menumpas pemberontakan.
Asoka kemudian diobati secara diam-diam sehingga para pengikut setia pangeran
Susima tidak bisa melukainya. Ia diurusi oleh para bhiksu dan bhiksuni beragama Buddha. Di sinilah ia pertama kalinya
berkenalan dengan ajaran Buddha, dan di sini pula ia berjumpa
dengan Dewi, yang merupakan perawat pribadinya dan putri seorang saudagar
bernama Widisha. Maka setelah pulih, ia menikahinya. Hal ini tidak bisa
diterima oleh Bindusara bahwa salah seorang putranya menikah dengan seorang
penganut Buddha, maka dia tidak memperbolehkannya tinggal di Pataliputra, tetapi mengirimnya kembali ke
Ujjayani dan membuat menjadi seorang gubernur.
Tahun
selanjutnya berjalan cukup tenang untuknya dan Dewi akan melahirkan putranya yang
pertama. Sementara itu maharaja Bindusara mangkat. Sementara berita putra
mahkota yang belum lahir menyebar, Pangeran Susima berniat untuk membunuhnya;
namun si pembunuh justru membunuh ibunya. Menurut legenda, dalam keadaan murka,
pangeran Asoka menyerang Pataliputra (sekarang Patna), dan memenggal kepala kakak-kakaknya semua termasuk
Susima, dan membuangnya di sebuah sumur di Pataliputra. Pada saat tersebut
banyak orang yang menyebutnya Canda Asoka yang artinya adalah Asoka si pembunuh
dan tak kenal kasih.
Sementara
Asoka naik takhta, ia memperluas wilayah kekaisarannya dalam kurun waktu
delapan tahun kemudian dari perbatasan daerah yang sekarang disebut Bangladesh dan Assam di India di timur sampai daerah-daerah di Iran dan Afganistan di barat; dari Palmir Knots sampai
hampir di ujung jazirah India di sebelah selatan India.
Penaklukkan Kalingga
Sementara
tahap-tahap awal kepemimpinan Asoka terbukti cukup haus darah, ia kemudian
menjadi pengikut ajaran Buddha setelah menaklukkan Kalingga, daerah yang
sekarang adalah negeri bagian India Orissa. Kalingga adalah sebuah negeri yang
bangga akan kemerdekaan dan demokrasinya; dengan demokrasi monarki dan
parlementernya, negeri ini bisa dikatakan sebuah pengecualian di Bharata Kuna,
karena di sana ada konsep Rajadharma, yang berarti kewajiban para
pemimpin, yang secara dasar bersatu-padu dengan konsep keberanian dan Ksatriyadharma.
Asal mula Perang Kalingga (265 SM atau 263 SM) tidak jelas. Salah satu saudara
Susima kemungkinan melarikan diri ke Kalingga dan mendapat suaka secara resmi
di sana. Hal ini sangat membuat murka Asoka. Ia diberi saran oleh para
menterinya menyerang Kalingga untuk tindakan pengkhianatan ini. Asoka kemudian
meminta Kalingga untuk tunduk kepada kekuasaannya. Ketika mereka menolak diktatnya,
Asoka mengirimkan salah seorang panglima perangnya supaya mereka tunduk.
Sang
panglima perang dan pasukannya kalah dan melarikan diri berkat kepandaian
panglima perang Kalingga. Asoka yang tercengang akan kekalahan ini, menyerang
dengan sebuah pasukan terbesar yang belum pernah ada dalam sejarah India sampai
saat itu. Kalingga melawan dengan sengit tetapi mereka bukan padanan pasukan
perang Asoka yang sangat kuat. Seluruh wilayah Kalingga dijarah dan
dihancurkan: piagam-piagam Asoka di kemudian hari menyebutkan bahwa di sisi
Kalingga kurang lebih 100.000 jiwa tewas sedangkan jumlah prajurit Asoka yang
tewas kurang lebih 10.000. Ribuan pria dan wanita dibuang pula.
Asoka masuk Buddha
Menurut
cerita legenda, satu hari setelah peperangan usai, Asoka menjelajah kota dan
yang bisa dilihat hanyalah rumah-rumah yang terbakar dan mayat-mayat yang
bergelimpangan di mana-mana. Hal ini membuatnya muak dan ia berteriak dengan
kata-kata yang menjadi termasyhur: "Apakah yang telah kuperbuat?"
Kekejian penaklukan ini akhirnya membuatnya memeluk agama Buddha dan ia memakai jabatannya untuk
mempromosikan falsafah yang masih relatif baru ini sampai dikenal di mana-mana,
sejauh Roma dan Mesir. Sejak saat itu Asoka, yang sebelumnya dikenal
sebagai “Asoka yang kejam” (Canda Asoka) mulai dikenal sebagai sang “Asoka yang
Saleh” (Dharmâsoka).
Ia lalu
mempromosikan aliran Buddha Wibhajyawada dan menyebarkannnya di dalam
wilayahnya dan di seluruh dunia yang dikenal mulai dari 250 SM. Maharaja Asoka bisa dikatakan
adalah yang pertama dengan serius mengusahakan pembentukan satuan politik
Buddha.
Dalam
usahanya ini, ia dibantu oleh putranya Mahinda yang mulia dan putrinya Sanghamitta (yang berarti “mitra Sangha”) dan yang membawa agama Buddha ke
Sri Lanka. Asoka membangun ribuan stupa dan vihara bagi penganut Buddha. Stupa-stupa
di Sanchi sangat termasyhur dan stupa bernama
Sanchi Stupa I didirikan oleh Maharaja Asoka. Selama sisa masa pemerintahannya,
ia menganut kebijakan resmi anti-kekerasan ahingsa. Bahkan penyembelihan dan penyiksaan sia-sia terhadap
hewan pun dilarang. Margasatwa dilindungi dengan undang-undang sang maharaja
yang melarang pemburuan untuk olahraga dan pengisian waktu luang. Pemburuan
secara terbatas diperbolehkan untuk maksud konsumsi namun Asoka juga mempromosikan
konsep vegetarianisme. Asoka juga menaruh belas kasihan
kepada para narapidana di penjara. Mereka diperbolehkan mengambil cuti, sehari dalam waktu setahun. Ia berusaja meningkatkan ambisi profesional rakyat
jelata dengan membangun pusat-pusat studi yang mungkin bisa disebut universitas. Ia juga mengupayakan system irigasi bagi pertanian. Rakyatnya diperlakukan secara sama, apapun derajat,
agama, haluan politik, ras, sukubangsa dan kasta mereka. Kerajaan-kerajaan di
sekeliling wilayahnya yang sebenarnya mudah ditaklukkan ia buat sebagai sekutu
yang terhormat.
Asoka juga
dipercayai membangun rumah-sakit untuk hewan dan merenovasi jalan-jalan utama yang
menghubungkan daerah-daerah di India. Setelah perubahan dirinya, Asoka dikenal
sebagai Dhammashoka (bahasa Pali), artinya Asoka, penganut Dhamma, atau Asoka yang Soleh. Bentuknya
dalam bahasa
Sanskerta adalah
Dharmâsoka. Asoka kemudian mendefiniskan prinsip-prinsip dasar dharma (dhamma)
sebagai tindakan anti-kekerasan, toleransi terhadap semua sekte atau aliran
agama, dan segala pendapat, mematuhii orang tua, menghormati para Brahmana, guru-guru agama dan pandita, baik
hati terhadap kawan, perlakuan manusiawi terahadap para pembantu, dan murah
hati terhadap semua orang. Prinsip-prinsip ini menyinggung haluan umum etika berkelakuan terhadap sesama di mana tidak ada
kelompok agama atau sosial yang bisa menentang.
Beberapa
pengkritik perpendapat bahwa Asoka takut akan adanya lebih banyak peperangan.
Namun sebenarnya negara-negara tetangganya, termasuk kekaisaran
Seleukus dan
kerajaan-kerajaan Baktria-Yunani yang didirikan oleh Diodotus I, tidak ada yang bisa menyamai
kekuatan Asoka. Asoka hidup pada masa yang sama dengan Antiochus I Soter dan penerusnya Antiochus II Theos dari dinasti Seleukus seperti begitu pula Diodotus I dan
putranya Diodotus II dari kerajaan Baktria-Yunani. Jika
prasasti-prasasti dan piagam-piagamnya dipelajari dengan teliti, maka bisa
disimpulkan bahwa ia mengenal Dunia Helenistik tetapi tidak pernah kagum.
Piagam-piagamnya yang membicarakan hubungan persahabatan, memberikan Antiochus
dari kekaisaran Seleukus dan Ptolemeus III dari Mesir. Tetapi kemasyhuran kekaisaran Maurya sudah tersebar
semenjak kakek Asoka, Candragupta Maurya mengalahkan Seleucus
Nicator, pendiri
dinasti Seleukus.
Sumber
banyak pengetahuan kita akan Asoka adalah prasasti-prasasti yang banyak
ditinggalkannya dan dipahatkannya di pilar-pilar dan batu-batu di seluruh
wilayah kekaisarannya. Maharaja Asoka juga dikenal sebagai Piyadasi
(dalam bahasa
Pali) atau Priyadarsi
(dalam bahasa Sanskerta) yang berarti "berparas baik" atau
"dikaruniai Dewa-Dewa dengan berkah baik". Semua prasastinya memiliki
sentuhan kekaisaran dan menunjukkan rasa kasih sesama yang mendalam; ia menyapa
rakyatnya dengan kata "anak-anakku". Prasasti-prasasti ini mempromosikan
moral sesuai agama Buddha dan memberi semangat pada tindakan non-kekerasan
serta keteguhan dalam melaksanan Dharma (kewajiban atau tindakan yang bajik).
Prasasti-prasasti ini juga membicarakan ketenarannya dan negara-negara
taklukkan serta juga negara-negara tetangga yang berusaha menghancurkannya.
Informasi tentang peperangan Kalinga juga bisa didapatkan dan juga tentang
sekutu-sekutu Asoka. Lalu informasi mengenai pemerintahan sipil juga ada.
Pilar-pilar Asoka di Sarnath adalah peninggalan Asoka yang paling dikenal.
Mereka dibuat dari batu granit dan merekam kunjungan Asoka kepada maharaja
Sarnath pada abad
ke-3 SM. Pilar ini
memiliki pucuk berbentuk empat kepala singa yang berdiri membelakangi satu sama
lain. Lambang India modern adalah keempat singa ini.
Singa selain melambangkan kekuasaan Asoka, juga melambangkan sifat kerajaan
sang Buddha (singa dianggap raja hutan yang merajai semua margasatwa dan Buddha
adalah seorang pangeran mahkota). Dalam menerjamahkan teks-teks yang berada
pada prasasti di pilar-pilar ini, para sejarawan bisa mempelajari banyak
tentang Kekaisaran Maurya. Namun sulit apakah yang tertulis di situ benar semua
atau tidak. Yang jelas ialah teks-teks ini menunjukkan kepada kita bagaimana
maharaja Asoka ingin dikenang.
Prasasti
batu pertama Asoka di Girnar
Kata-kata
Asoka sendiri seperti diketahui dari piagam-piagamnya adalah: "Semua orang
adalah anakku. Aku seperti ayah mereka. Seperti seorang ayah menginginkan
kebaikan dan kebahagian untuk anaknya, aku ingin supaya semua orang selalu
bahagia." Edward D'Cruz mentafsirkan dharma maharaja Ashoka sebagai
"agama yang dipakai sebagai lambang dari sebuah persatuan kekaisaran dan
sebuah semen perekat untuk mempersatupadukan unsur-unsur heterogen dan
berbeda-beda kekaisaran ini".
Kematian dan warisannya
Maharaja
Asoka memerintah selama 41 tahun, dan setelah mangkatnya, dinasti Maurya masih
bertahan selama lebih dari 50 tahun. Asoka memiliki banyak selir dan anak,
namun nama-nama mereka tidaklah diketahui. Mahinda dan Sanghamitta adalah anak kembar yang dilahirkan istri pertamanya,
Dewi di kota Ujjayini. Ia mempercayai mereka untuk menyebarkan agama Buddha di
dunia yang dikenal dan tak dikenal. Mahinda dan Sanghamitta pergi ke Sri Lanka dan memasukkan Raja, Ratu dan
rakyatnya agama Buddha. Mereka lalu berkeliling dunia sampai ke Mesir dunia Helenistik (Yunani). Sehingga mereka tidak
bisa melaksanakan kewajiban pemerintahan. Beberapa arsip langka membicarakan
penerus Asoka bernama Kunal, yang merupakan putra Asoka dari istri terakhirnya.
Masa
kepemimpinan maharaja Asoka bisa saja mudah menghilang dalam sejarah, dengan
berselangnya abad, jika ia tidak meninggalkan arsip sejarah apa-apa. Kesaksian
maharaja ini ditemukan dalam bentuk pilar-pilar dan batu-batu karang besar yang
dipahati secara megah menjadi prasasti. Isinya adalah ajaran-ajaran dan
tindakan-tindakan yang ingin ia sebar luaskan. Selain itu Asoka juga mewariskan
kita bahasa tertulis pertama di India setelah kota kuna Harrapa. Namun berbeda dengan di Harrapa, teks-teks Asoka
bisa kita pahami. Bahasa yang dipakai Asoka dalam menuliskan teks-teks
prasastinya adalah sebuah bentuk bahasa rakyat atau bahasa Prakerta/Prakrit dan bukan bahasa Sanskerta.
Pada tahun 185 SM, kurang lebih 50 tahun setelah
mangkatnya Asoka, penguasa Maurya terakhir, Brhadrata, dibunuh secara keji oleh panglima perang Maurya, Pusyamitra Sunga, saat ia sedang menginspeksi
pasukannya. Pusyamitra Sunga lalu mendirikan dinasti Sunga (185 SM-78 SM) dan hanya memerintah sebagian
wilayah Kekaisaran Maurya yang telah runtuh.
Baru hampir
2.000 tahun kemudian di bawah kepemimpinan Akbar yang Agung dan cicitnya (buyutnya) Aurangzeb, sebuah bagian besar anak benua India yang pernah diperintah Asoka,
dipersatukan lagi di bawah satu kepemimpinan. Tetapi akhirnya, orang Inggris di
bawah Kekaisaran Britania Indialah yang menyatukan anak benua yang
terpecah-belah ini menjadi sebuah satuan politik dan merintis jalan menuju
munculnya kembali negara Bharata modern yang sembari memakai lambang Asoka,
diilhami oleh ajarannya yang penuh dengan rasa kepemimpinan kuat dan rasa kasih
sesama.
Comments
Post a Comment