Islam di Spanyol (Andalusia)
Interior Masjid Kordoba atau mezquita, peninggalan
dari Al-Andalus yang kini dijadikan katedral Katolik Roma.
Al-Andalus (bahasa Arab: الأندلس al-andalus) adalah nama dari
bagian Semenanjung
Iberia (Spanyol dan Portugal) yang diperintah oleh orang Islam, atau orang Moor, dalam berbagai waktu antara tahun 711 dan 1492.[1] Al-Andalus juga sering disebut Andalusia,
namun penggunaan ini memiliki keambiguan dengan wilayah administratif di
Spanyol modern Andalusia.
Masa
kekuasaan Islam di Iberia dimulai sejak Pertempuran
Guadalete, ketika
pasukan Umayyah pimpinan Thariq bin Ziyad mengalahkan orang-orang Visigoth yang menguasai Iberia. Awalnya
Al-Andalus merupakan provinsi dari Kekhalifahan Umayyah (711-750), lalu berubah menjadi sebuah keamiran (750-929), sebuah
kekhalifahan sendiri (929-1031), dan akhirnya terpecah menjadi
"taifa" yaitu kerajaan-kerajaan kecil
(1031-1492).
Karena pada
akhirnya orang-orang Kristen berhasil merebut kembali Iberia dari tangan umat Islam dalam
proses yang disebut Reconquista (secara harfiah berarti
"penaklukkan ulang"), nama Al-Andalus umumnya tidak merujuk
kepada Iberia secara umum, tapi kepada daerah-daerah yang dikuasai para Muslim
pada zaman dahulu. Pada 1236, benteng terakhir umat Islam di
Spanyol, Granada menyatakan tunduk kepada Fernando III dari Kastilia, dan menjadi negara bawahan Kastilia, hingga pada 1492 Muhammad XII menyerah sepenuhnnya
kepada Los Reyes
Católicos (Kerajaan
Katolik Spanyol) yang dipimpin oleh Fernando II
dari Aragon dan Isabel I
dari Kastilia. Sedangkan
kekuasaan Islam di Portugal berakhir pada 1249 dengan ditaklukkannya Algarve oleh Afonso III. Kekalahan
penguasa Muslim kemudian diikuti oleh penganiyaan dan pengusiran terhadap kaum Muslim dan Yahudi di Spanyol.[2]
Asal kata "Al-Andalus"
Asal kata al-andalus
masih belum disetujui para ahli bahasa dan sejarawan.
Etimologi dari nama Al-Andalus belum
diketahui secara pasti. Nama ini digunakan untuk merujuk kepada semenanjung
Iberia atau daerah Selatan Iberia yang dikuasai umat Islam, dan bukti paling
awal dari nama ini adalah pada koin yang dicetak oleh pemerintah Islam
di Iberia sekitar 715 (tahun pencetakan juga tidak pasti karena koin dituliskan
dalam Latin dan Arab, dan keduanya memberikan tahun yang berbeda).[3] Terdapat setidaknya tiga teori
etimologi yang pernah diusulkan oleh para ilmuwan Barat, semuanya menganggap
bahwa nama ini berasal dari zaman kekuasaan Romawi di Semenanjung Iberia.
Teori
pertama adalah nama tersebut berasal dari Vandal, suku Jerman yang menguasai
sebagian Iberia selama 407-429. Salah satu ilmuwan yang menerima teori ini adalah
Reinhart P. Dozy, sejarawan abad ke-19.[4] Teori kedua adalah berasal dari Arabisasi kata "Atlantik".
Pendukung teori ini adalah sejarawan Spanyol Vallvé.[5] Teori ketiga yang diajukan oleh
Halm (1989)[6] adalah bahwa nama ini berawal dari
nama yang diberikan suku Visigoth yang berkuasa di Iberia pada abad
ke-5 hingga 9. Dalam bahasa Latin, Iberia Visigoth disebut Gothica Sors
(tanah undian Goth). Halm memprediksikan bahwa dalam bahasa Gothic "tanah
undian" mungkin disebut *landahlauts, dan ia menyarankan dari
sinilah asal nama Al-Andalus berasal.
Ketiga teori
ini semuanya tidak memiliki bukti historis, sehingga dapat dikatakan amat
lemah. Pelopor dan pembela dari ketiga teori ini semuanya adalah sejarawan.
Namun belakangan, ahli bahasa telah diikutsertakan dalam diskusi
ini. Argumen-argumen dari ilmu sejarah, linguistik dan toponimi (ilmu yang
mempelajari nama daerah), selanjutnya menunjukkan kelemahan semua teori diatas,
dan bahwa nama Al-Andalus ternyata berasal dari masa Romawi.[7]
Sejarah
Sejarah
panjang yang dilalui umat Islam di Iberia dapat dibagi menjadi enam periode,
dimana tiap periode mempunyai corak pemerintahan dan dinamika masyarakat
tersendiri. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga jatuhnya pemerintahan Islam
terakhir di sana, Islam memainkan peranan yang sangat besar.
Penaklukan dan masa-masa awal
Sebelum
kedatangan umat Islam, daerah Iberia merupakan kerajaan Hispania yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth. Pada 711, pasukan Umayyah yang
sebagian besar merupakan bangsa Moor dari Afrika Barat Laut, menyerbu Hispania dipimpin jenderal Thariq bin Ziyad, dan di bawah perintah dari Kekhalifahan
Umayyah di Damaskus. Pasukan ini mendarat di Gibraltar pada 30 April, dan terus menuju utara. Setelah
mengalahkan Raja Roderikus dari Visigoth dalam Pertempuran
Guadalete (711),
kekuasaan Islam terus berkembang hingga pada 719 hanya daerah Galisia, Basque dan Asturias yang tidak tunduk kepada kekuasaan
Islam. Setelah itu, pasukan Islam menyeberangi Pirenia untuk menaklukkan Perancis, namun berhasil dihentikan oleh
kaum Frank dalam pertempuran Tours (732). Daerah yang dikuasai Muslim
Umayyah ini disebut provinsi Al-Andalus, terdiri dari Spanyol, Portugal dan
Perancis selatan sekarang.
Pada
awalnya, Al-Andalus dikuasai oleh seorang wali (gubernur) yang ditunjuk oleh Khalifah di
Damaskus, dengan masa jabatan biasanya 3 tahun. Pada periode ini stabilitas
politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna,
gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun dari luar.
Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam yang bertempat tinggal di
daerah-daerah pegunungan yang memang tidak pernah mau tunduk kepada
pemerintahan Islam. Gerakan ini terus memperkuat diri, dan akhirnya berhasil
mendirikan Kerajaan Asturias, yang berhasil mengalahkan kaum Muslimin dalam Pertempuran Covadonga pada tahun 721.
Gangguan
dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elite penguasa, terutama
akibat perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu, terdapat perbedaan
pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang
berpusat di Al-Qairawan. Masing-masing mengaku bahwa
merekalah yang paling berhak menguasai daerah Iberia.
Oleh karena
itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat
singkat. Perbedaan pandangan politik itu menyebabkan seringnya terjadi perang
saudara. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan etnis, terutama, antara suku Berber asal Afrika Utara dan Arab. Di dalam etnis Arab sendiri
terdapat dua golongan yang terus-menerus bersaing, yaitu Quraisy (Arab Utara) dan Arab Yamani (Arab Selatan). Perbedaan etnis ini seringkali menimbulkan konflik
politik, terutama ketika tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya di
Iberia pada saat itu tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya
untuk jangka waktu yang agak lama.
Pada tahun 740-an, terjadi perang saudara yang
menyebabkan melemahnya kekuasaan khalifah. Pada 746, Yusuf Al-Fihri memenangkan perang saudara tersebut, menjadi seorang
penguasa yang tidak terikat kepada pemerintahan di Damaskus.
Karena
seringnya terjadi konflik internal dan berperang menghadapi musuh dari luar,
maka dalam periode ini kaum Muslimin di Al-Andalus belum memasuki kegiatan
pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan.
Namun,
menurut Ahmad Thomson, pertikaian itu hanya terjadi di kalangan elit
politik. Masyarakat Muslim di Andalusia secara umum hidup dalam ketenteraman
dan kebaikan. Mereka hidup dengan berusaha mencontoh inspirasi dari sahabat
Nabi, juga menerapkan Al-Quran dan Sunnah semampu mereka. Misalnya, pada masa
itu, orang Muslim berbondong-bondong belajar agama kepada para syaikh dan
Ulama, begitu pula masyarakat Andalusia. Mereka mengirim seseorang yang bernama
Yahya bin Yahya Al-Laythi untuk belajar kepada Imam Malik bin Anas. Di kemudian hari, ia menjadi Imam
Madzhab Maliki.[8]
Keamiran dan Kekhalifahan Kordoba
Pada 750, bani Abbasiyah menjatuhkan pemerintahan Umayyah di
Damaskus, dan merebut kekuasaan atas daerah-daerah Arabia. Namun pada 756, pangeran Umayyah di pengasingan Abdurrahman I (Ad-Dakhil) melengserkan Yusuf
Al-Fihri, dan menjadi penguasa Kordoba dengan gelar Amir Kordoba. Abdurrahman menolak untuk tunduk
kepada kekhalifahan Abbasiyah yang baru terbentuk, karena pasukan Abbasiyah
telah membunuh sebagian besar keluarganya. Ia memerintah selama 30 tahun, namun
memiliki kekuasaan yang lemah di Al-Andalus dan ia berusaha menekan perlawanan
dari pendukung Al-Fihri maupun khalifah Abbasiyah.
Selama satu
setengah abad berikutnya, keturunannya menggantikannya sebagai Amir Kordoba,
yang memiliki kekuasaan tertulis atas seluruh Al-Andalus bahkan kadang-kadang
meliputi Afrika Utara bagian barat. Pada kenyataannya,
kekuasaan Amir Kordoba, terutama di daerah yang berbatasan dengan kaum Kristen,
sering mengalami naik-turun tergantung kecakapan dari sang Amir yang sedang
berkuasa. Amir Abdullah bin
Muhammad bahkan
hanya memiliki kekuasaan atas Kordoba saja.
Pada
pertengahan abad ke-9, stabilitas negara terganggu dengan
munculnya gerakan
Kristen fanatik yang mencari kemartiran. Namun, Gereja Kristen lainnya di seluruh Al-Andalus
tidak menaruh simpati pada gerakan itu, karena pemerintah Islam mengembangkan
kebebasan beragama. Penduduk Kristen diperbolehkan memiliki pengadilan sendiri
berdasarkan hukum Kristen. Peribadatan tidak dihalangi. Lebih dari itu, mereka
diizinkan mendirikan gereja baru, biara, di samping asrama rahib atau lainnya. Mereka juga tidak dihalangi bekerja
sebagai pegawai pemerintahan atau menjadi karyawan pada instansi militer.
Gangguan
politik yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri.
Golongan pemberontak di Thulaithulah pada tahun 852 membentuk negara kota yang berlangsung selama 80
tahun. Di samping itu sejumlah orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang
terpenting di antaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh 'Umar bin Hafshun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaqah. Sementara itu, perselisihan antara
orang-orang Berber dan orang-orang Arab masih sering
terjadi.
Cucu
Abdullah, Abdurrahman
III,
menggantikannya pada 912, dan dengan cepat mengembalikan
kekuasaan Umayyah atas Al-Andalus dan bahkan Afrika Utara bagian barat. Pada
929 ia mengangkat dirinya sebagai Khalifah, sehingga keamiran ini sekarang
memiliki kedudukan setara dengan kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dan kekhalifahan Syi'ah di Tunis.
Periode
kekhalifahan ini dianggap oleh para penulis Muslim sebagai masa keemasan Al-Andalus. Hasil panen yang
diperoleh melalui irigasi serta bahan makanan yang diimpor
dari Timur Tengah mencukupi untuk penduduk Kordoba
dan kota-kota lainnya di Al-Andalus, dengan sektor ekonomi pertanian paling
maju di Eropa. Kordoba dibawah kekhalifahan ini
memiliki populasi sekitar 500.000, mengalahkan Konstantinopel sebagai kota terbesar dalam hal
jumlah maupun kemakmuran penduduk di Eropa.[9] Dalam dunia Islam, Kordoba
merupakan salah satu pusat budaya yang maju. Karya-karya ilmuwan dan filsuf Al-Andalus, seperti Abul Qasim dan Ibnu Rusyd memiliki pengaruh besar terhadap
kehidupan intelektual di Eropa zaman pertengahan.
Orang-orang
Muslim dan non-Muslim sering datang dari luar negeri untuk belajar di berbagai perpustakaan dan universitas terkenal di Al-Andalus. Yang paling
terkenal adalah Michael Scot, yang menerjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan Al-Bitruji dan membawanya ke Italia. Karya-karya ini kemudian memiliki
dampak penting dalam berawalnya Renaisans di Eropa.[10][11]
Periode Taifa pertama
Kekhalifahan
Kordoba mengalami kejatuhan dalam perang saudara antara 1009 hingga 1013, dan akhirnya dihapuskan pada 1031. Al-Andalus kini terpecah menjadi banyak kerajaan
kecil, yang disebut taifa. Pada periode ini, umat Islam di
Al-Andalus kembali memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi
perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta
bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa
keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya
orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil
inisiatif penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan
intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana
dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.
Taifa-taifa
ini pada umumnya amat lemah sehingga tidak dapat mempertahankan diri menghadapi
serangan-serangan dan permintaan upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen di daerah utara dan barat, antara
lain Kerajaan Navarre, León, Portugal, Kastilia dan Aragon, serta Barcelona. Akhirnya serangan-serangan ini berubah menjadi
penaklukan, sehingga taifa-taifa di Al-Andalus meminta bantuan dari Bani
Murabithun yang berhaluan Islam fundamental di Afrika Utara. Orang-orang
Murabitun mengalahkan raja Kastilia Alfonso VI, dalam Pertempuran
Zallāqah dan Pertempuran
Uclés, dan
akhirnya menguasai Al-Andalus.
Murabitun, Muwahidun, dan Banu Marin
Muhammad XII
dari Granada menyerah kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella.
Pada 1086, pemimpin Murabitun di Maroko Yusuf bin Tasyfin diundang oleh para bangsawan Muslim
di Iberia untuk mempertahankan Iberia dari Alfonso VI, raja Kastilia dan León.
Pada tahun itu juga Yusuf menyeberangi selat Gibraltar menuju Algeciras, dan mengalahkan kaum Kristen
dengan telak dalam pertempuran Zallāqah. Pada 1094, Yusuf bin Tasyfin menghapuskan kekuasaan dari semua
penguasa-penguasa kecil Islam di Iberia, dan mengambil alih semua daerah
mereka, kecuali Saraqusthah, yang pada akhirnya jatuh ke tangan
Aragon pada tahun 1118. Ia juga merebut Valencia dari tangan umat Kristen.
Pada tahun 1143, kekuasaan Murabithun ini berakhir, baik di Afrika Utara maupun di Spanyol dan digantikan oleh Muwahidun. Di Spanyol sendiri, sepeninggal Murabithun, pada mulanya muncul kembali
taifa-taifa kecil, tapi hanya berlangsung tiga tahun. Pada tahun 1146, penguasa Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut daerah ini. Penguasa
Muwahidun memindahkan ibukota Al-Andalus ke Sevilla pada 1170, dan mengalahkan raja Kastilia Alfonso VIII dalam Pertempuran
Alarcos (1195).
Untuk jangka
beberapa dekade, daulah ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan
Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi tidak lama setelah itu, Muwahhidun mengalami keambrukan. Pada 1212 gabungan Kerajaan Kristen Kastilia, Navarra, Aragon, dan Portugal mengalahkan kaum Muwahidun pada Pertempuran Las Navas de Tolosa, dan memaksa sultan Muwahidun
meninggalkan Iberia. Umat Islam di Iberia kembali terpecah dalam taifa-taifa
yang lemah, dan dengan cepat ditaklukkan oleh Portugal, Kastilia dan Aragon.
Setelah jatuhnya Murcia (1243) dan Algarve (1249), hanya Keamiran Granada yang dipimpin Banu Nashri-lah negara Islam yang tersisa,
namun hanya sebagai negara bawahan yang membayar upeti kepada Kerajaan
Kastilia. Upeti ini berupa emas dari daerah yang sekarang bernama Mali dan Burkina Faso, yang dibawa melalui jalur
perdagangan di Gurun Sahara.
Pada abad ke-14, Banu Marin di Maroko mengalami kemajuan dan
mengancam kerajaan-kerajaan Kristen di Iberia. Banu Marin kemudian mengambil
alih Granada dan menduduki kota-kotanya, seperti Algeciras. Namun, mereka gagal merebut Tarifa, yang bertahan dari serangan Banu
Marin hingga kedatangan Tentara Kastilia pimpinan Raja Alfonso XI. Alfonso
XI, dibantu Afonso IV
dari Portugal dan Pedro IV
dari Aragon,
mengalahkan Banu Marin pada Pertempuran
Rio Salado (1340) dan merebut Al-Jaziratul Khadhra' (1344). Alfonso XI juga mengepung Gibraltar, yang saat itu dikuasai Granada,
selama 1349-1350, namun Alfonso XI dan sebagian besar pasukannya
dibinasakan oleh wabah Kematian Hitam pada tahun 1350.[12] Penggantinya, Pedro dari
Kastilia (Si
Kejam), memutuskan berdamai dengan umat Islam dan berperang melawan
kerajaan-kerajaan Kristen yang lain.[13] Peristiwa ini menandai dimulainya
150 tahun pemberontakan dan perang saudara umat Kristen di Eropa, yang
mengamankan keberadaan Granada.
Keamiran Granada
Setelah
perjanjian perdamaian dengan Raja Pedro dari Kastilia, Granada menjadi sebuah negara yang aman
merdeka hingga hampir 150 tahun berikutnya. Umat Islam diberi kemerdekaan,
kebebasan bergerak dan beragama, dan dibebaskan dari upeti selama 3-tahun. Setelah
tiga tahun, umat Islam diharuskan membayar upeti tidak lebih dari yang
diharuskan sebelumnya pada masa Banu Nasri. Peradaban kembali mengalami
kemajuan seperti pada zaman Abdurrahman III. Akan tetapi, secara politik,
dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil.
Pada 1469, terjadi pernikahan antara Raja Fernando II
dari Aragon dan Ratu Isabel I
dari Kastilia yang
mengisyaratkan serangan terhadap Granada, yang direncanakan secara hati-hati
dan didanai dengan baik. Fernando dan Isabel kemudian meyakinkan Paus Siktus IV untuk menyatakan perang mereka
sebagai perang suci. Mereka mengalahkan satu persatu perlawanan umat Islam dan
akhirnya pengepungan tersebut berakhir saat Sultan Granada Muhammad Abu Abdullah (Boabdil) menyerahkan istana dan benteng Granada, Alhambra kepada kekuasaan Kristen, dan
menandai berakhirnya kekuasaan Islam di Iberia.
Masyarakat
Sebuah
lukisan yang menggambarkan tentara Yahudi betempur bersama pasukan Sultan
Granada Muhammad IX dari Banu Nasri, dalam Pertempuran
Higuerela, 1431.
Masyarakat
Al-Andalus terdiri dari tiga kelompok utama berdasarkan agama: Muslim, Kristen, dan Yahudi. Dalam tiap-tiap kota, komunitas-komunitas
ini tinggal di daerah yang berbeda. Umat Islam sendiri, walaupun disatukan oleh
agama yang sama, kadang terbagi-bagi menurut etnis, terutama perbedaan antara
orang Arab dan orang Berber. Orang-orang Arab tinggal di bagian
selatan dan di Lembah Ebro di timur laut, sedangkan
orang-orang Berber tinggal di daerah pegunungan yang sekarang berada di utara
Portugal, dan di Meseta Central. Muzarab (atau Mozarab/Musta'rib)
adalah orang Kristen yang hidup dalam kekuasaan Islam di Al-Andalus dan
mengikuti banyak adat, kesenian, dan kata-kata dari bahasa Arab, namun masih
memelihara tradisi dan ibadah Kristen mereka dan bahasa turunan Latin yang mereka miliki, disebut Bahasa Muzarab.
Orang-orang
Yahudi biasanya bekerja sebagai pedagang, pemungut pajak, dokter atau duta besar. Pada akhir abad ke-15 terdapat sekitar 50.000 Yahudi di
Granada dan 100.000 di seluruh Al-Andalus.[14]
Muslim dan Non-Muslim di Al-Andalus
Perlakuan terhadap non-Muslim
Perlakuan
terhadap non-Muslim di Al-Andalus merupakan bahan diskusi dan perdebatan di
antara para ahli dan para pengamat, terutama mereka yang tertarik dengan
keberadaan bersama umat Muslim dan non-Muslim di dunia modern. Kaum non-muslim
di Al-Andalus, seperti Kristen dan Yahudi, dalam hukum Islam merupakan dzimmi, yang bebas menjalankan ajaran
agamanya, tidak didorong untuk masuk Islam, namun membayar pajak yang disebut jizyah.[15] Para ahli berpendapat bahwa agama
minoritas (termasuk Yahudi) di Al-Andalus yang dikuasai umat Islam diperlakukan
jauh lebih baik daripada di daerah Eropa Barat yang dikuasai Kristen, dan mereka
hidup dalam "masa keemasan" toleransi, saling menghormati dan
keharmonisan antarumat beragama.
Al-Andalus
merupakan pusat kunci peradaban Yahudi pada Abad Pertengahan, dan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan
ternama, seperti Maimonides, rabbi, filsuf, dan dokter yang menjadi ikon masa keemasan
Yahudi di Al-Andalus. Masyarakat Yahudi di Al-Andalus juga merupakan salah satu
masyarakat Yahudi yang paling stabil dan paling makmur. Sedangkan umat Kristen
di Al-Andalus disebut kaum Muzarab. Kaum Muzarab merupakan keturunan
orang Kristen terdahulu di Spanyol yang tetap memeluk Kristen namun mengadopsi
budaya Arab.[15] Bahasa mereka, Bahasa Muzarab, merupakan bahasa Roman yang dipengaruhi oleh bahasa Arab dan dituliskan dalam abjad Arab.
María Rosa Menocal, spesialis sastra Iberia di Universitas Yale, berpendapat bahwa "toleransi
merupakan aspek melekat pada masyarakat Andalus".[16] Dalam bukunya The Ornament of
the World (2003), Menocal berpendapat bahwa sebagai
dzimmi, agama minoritas di Al-Andalus
diberikan hak yang lebih terbatas daripada umat Muslim, namun masih lebih baik
daripada di daerah Eropa yang dikuasai Kristen. Orang-orang Yahudi dan
sekte-sekte Kristen yang dianggap terlarang datang dari seluruh Eropa ke Al-Andalus,
tempat mereka menerima toleransi.
Bernard
Lewis memiliki
pandangan yang berbeda, dan berpendapat bahwa "klaim toleransi yang
sekarang banyak didengar dari apologis Muslim, dan khususnya apologis untuk
Islam, merupakan hal baru dan tidak diketahui asal-usulnya."[17] Lewis menolak bahwa Muslim dan
non-Muslim diberikan perlakuan sama pada masa lalu. Ia juga mengatakan
"bagaimana mungkin orang yang memeluk agama yang benar dan orang yang
menolaknya dipelakukan sama? Ini merupakan hal yang mustahil secara teologi
maupun logika"[17]
Naik turunnya kekuasaan Islam
Penguasa
Al-Andalus memperlakukan non-Muslim berbeda-beda sepanjang waktu. Salah satu
periode toleransi adalah masa kekuasaan Abdurrahman III dan Al-Hakam II, ketika Yahudi Al-Andalus mengalami
kemakmuran, mencurahkan hidupnya untuk melayani Kekhalifahan Kordoba,
mempelajari sains, perdagangan, dan industri, terutama perdagangan sutera dan budak, yang ikut memakmurkan negeri Al-Andalus. Al-Andalus
menjadi suaka bagi kaum Yahudi yang teraniaya di negeri-negeri lain.
Orang-orang
Kristen di Al-Andalus, dipicu oleh contoh dari umat Kristen lain di sepanjang
perbatasan Al-Andalus kadang kala menegaskan klaim-klaim Agama Kristen,
dan dengan sengaja mencari kemartiran, bahkan selama masa-masa toleransi.
Misalnya, 48 orang Kristen Kordoba melakukan penghinaan terhadap agama Islam,
dan akhirnya dipenggal. Mereka sengaja melakukan tersebut agar mati sebagai
martir, dan mereka dikenal sebagai Martir Kordoba. Beberapa orang dari generasi
berikutnya-pun meneruskan hal ini, dan mereka sepenuhnya tahu apa nasib yang
menimpa pendahulu mereka.[18]
Setelah
kematian Al-Hakam II pada 976, situasi mulai memburuk bagi
non-Muslim pada umumnya. Hampir 100 tahun berikutnya, pada 30 Desember 1066, peristiwa penganiayaan pertama terjadi ketika kaum
Yahudi diusir dan ratusan keluarga dibunuh karena tidak mau meninggalkan
Granada, dan kerusuhan setelahnya menewaskan sekitar 3.000 orang.[19] Penganiayaan terhadap Yahudi juga
terjadi sesekali pada masa Murabitun dan Muwahidun,[20] tapi sumber yang ada amat sedikit
dan tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai hal ini.[21]
Saat terjadi
kekerasan terhadap non-Muslim, banyak ilmuwan Yahudi dan bahkan Muslim yang
meninggalkan daerah kekuasaan Muslim menuju Toledo, yang lebih memiliki toleransi dan
telah dikuasai oleh pasukan Kristen. Sekitar 40,000 Yahudi bergabung dengan
pasukan Kristen, dan sisanya bergabung dengan pasukan Murabitun menghadapi raja Alfonso VI dari Kastilia.
Penguasa Muwahidun yang mengambil alih kekuasaan
Murabitun pada 1147,[22] lebih fundamentalis dari Murabitun,
dan memperlakukan non-Muslim dengan keras. Takut akan kematian atau paksaan
pindah agama, banyak orang Yahudi yang pindah ke daerah Muslim yang lebih
toleran di Selatan dan Timur,[23] atau ke daerah Kristen di Utara.[24][25] Keluarga Maimonides sendiri pindah
ke daerah Muslim yang lebih toleran. Namun, penguasa Muwahidun juga mendorong
perkembangan seni dan tulisan, menghasilkan diantaranya Ibnu Tufail, Ibnu Araby, dan Ibnu Rusyd.[22]
Kebudayaan
“
|
”
|
Banyak suku,
agama, dan ras hidup bersama-sama di Al-Andalus, dan masing-masing menyumbang
terhadap kemajuan intelektual di Andalus. Buku-buku jauh lebih tersebar luas di
Al-Andalus dibanding di negara lainnya di Barat.[27] Sejarah intelektual Al-Andalus
terlihat dari hasilnya berupa banyaknya ilmuwan Islam dan Yahudi.
Kemajuan
intelektual Al-Andalus bermula dari perseturuan intelektual antara Bani Umayyah yang menguasai Al-Andalus, dengan Bani Abbasiyah yang berkuasa di Timur Tengah. Penguasa Umayyah berusaha
memperbanyak perpustakaan dan lembaga pendidikan di kota-kota
Al-Andalus seperti Kordoba, untuk mengalahkan ibukota Abbasiyah Baghdad. Walaupun Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyah saling bersaing, kedua kekhalifahan ini mengizinkan perjalanan antara
kedua kekhalifahan ini dengan bebas, yang membantu penyebaran dan pertukaran
ide serta inovasi dari waktu ke waktu.
Pada abad ke-10, kota Kordoba memiliki 700 masjid, 60.000 istana, dan 70 perpustakaan, dan salah satu perpustakaan yang
terbesar memiliki hingga 500.000 naskah.[28][29] Sebagai perbandingan, perpustakaan
terbesar di Eropa Kristen saat itu memiliki tak lebih dari 400 naskah, bahkan
pada abad ke-14 Universitas Paris baru memiliki sekitar 2.000 buku.[28] Perpustakaan, penyalin, penjual
buku, pembuat kertas, dan sekolah-sekolah di seluruh Al-Andalus menerbitkan
sebanyak 60.000 buku tiap tahunnya, termasuk risalah, puisi, polemik dan antologi.[28] Sebagai perbandingan, Spanyol modern menerbitkan rata-rata 46.300 buku
tiap tahunnya, menurut UNESCO.[30]
Filosofi
Filosofi Islam Andalus
Ibnu Rusyd:
filsuf, dokter, dan ilmuwan Muslim terkemuka dari Al-Andalus.
Sejarawan Said Al-Andalusi menulis bahwa Khalifah Abdurrahman III (912-961) mengumpulkan sejumlah besar
buku dan memberikan perlindungan bagi para ilmuwan yang mempelajari kedokteran dan "ilmu-ilmu kuno".
Penggantinya Khalifah Al-Hakam II (Al-Mustansir), membangun
sebuah universitas dan sejumlah perpustakaan di Kordoba. Kordoba menjadi salah
satu pusat pembelajaran kedokteran dan filosofi terkemuka di dunia.
Namun ketika
anak Al-Hakam II Hisyam II naik takhta (976), kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan Al-Mansur
bin Abi Amir.[31] Ia merupakan tokoh agama yang tidak
menyukai ilmu pengetahuan, sehingga banyak buku yang dikumpulkan dengan susah
payah oleh Al-Hakam II dibakar di depan umum. Setelah kematian Al-Mansur pada 1002, filosofi di Al-Andalus bangkit kembali. Sejumlah
cendikiawan terkenal bermunculan, termasuk Maslamah
Al-Majriti (?-1008), seorang petualang berani yang menjelajahi
daerah-daerah Islam dan daerah lain, dan tergabung dalam organisasi Ikhwan As-Shafa. Al-Majriti membantu penerjemahan
karya Ptolemeus Almagest, membuat dan memperbaiki berbagai
tabel astronomi, dan mempelopori geodesi serta triangulasi.[32]
Murid
Al-Majriti yang terkenal adalah Abu Hakam
Al-Kirmani,[33] yang kemudian menjadi guru bagi
filsuf dan dokter terkemuka Ibnu Bajjah (Avempace), yang melahirkan magnum opus berjudul Tadbir al-Mutawahhid.
Tokoh utama
lainnya adalah Ibnu Thufail, penduduk asli Wadi 'Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut pada
tahun 1185. Ia banyak menulis masalah
kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat
terkenal adalah Hayy bin Yaqzhan.
Bagian akhir
abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar
di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari Qurthubah. Ia lahir pada tahun 1126 dan meninggal tahun 1198. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan
naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti
masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayatul Mujtahid.
Filosofi dan kebudayaan Yahudi
Maimonides,
filsuf dan dokter Yahudi terkenal dari Al-Andalus.
Dengan
adanya toleransi terhadap Yahudi di Al-Andalus, dan mundurnya pusat kebudayaan
Yahudi di Babilonia, Al-Andalus menjadi pusat
pemikiran-pemikiran intelektual Yahudi. Penulis-penulis seperti Judah Halevi (1086-1145) dan Dunash ben Labrat (920-990) memiliki sumbangan terhadap
kehidupan Al-Andalus, dan lebih penting lagi memberikan sumbangan bagi
perkembangan filosofi Yahudi. Puncak dari filsafat Yahudi adalah pemikir Yahudi
asal Al-Andalus Maimonides (1135-1205), yang menerbitkan karya-karyanya
di Maroko dan Mesir, karena menghindari dinasti Muwahidun yang berkuasa
dengan keras di Al-Andalus. Ia mengarang buku Panduan bagi yang Bingung,
dan memperbaharui hukum Yahudi, sehingga dijuluki "Musa baru" (nama depan Maimonides sendiri adalah
Moses/Musa).[15]
Kedokteran
Lukisan dari
peralatan kedokteran pada masa Al-Andalus.
Dokter dan
tabib dari Al-Andalus memiliki sumbangan yang penting bagi bidang kedokteran, termasuk anatomi dan fisiologi. Di antaranya adalah Abul Qasim Az-Zahrawi (Abulcasis), "bapak
ilmu bedah modern",[34] yang menuliskan Kitab at-Tashrif, buku penting dalam kedokteran dan ilmu bedah. At-Tashrif merupakan ensiklopedia yang terdiri dari 30 volume, yang
kemudian diterjemahkan ke Bahasa Latin dan digunakan dalam sekolah
kedokteran di
kebudayaan Eropa maupun Islam selama berabad-abad.
Ilmu pengetahuan
'Abbas bin
Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan
pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu
terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil
membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan
bintang-bintang. Ahmad bin Ibas dari Qurthubah adalah ahli dalam bidang
obat-obatan. Ummul Hasan binti Abi Ja'far dan saudara perempuan al-Hafidz
adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam bidang
sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal, Ibnu Jubair dari Valencia (1145-1228) menulis tentang negeri-negeri
Muslim di Laut Tengah dan Sisilia; serta Ibnul Khatib (1317-1374) menyusun riwayat Granada. Sejarawan di atas
bertempat tinggal di Al-Andalus, yang kemudian pindah ke Afrika.
Keagamaan
Dalam bidang
fiqh, Al-Andalus dikenal sebagai penganut madzhab Maliki. Yang memperkenalkan madzhab ini di sana adalah Ziyad bin 'Abdul
Rahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam I. Ahli-ahli fiqh lainnya di
antaranya adalah Abu Bakr bin Al-Quthiyyah, Mundzir bin Sa'id al-Balluthi dan Ibnu Hazm yang terkenal.
Kesenian dan sastra
Dalam bidang
musik dan suara, Al-Andalus mencapai kecemerlangan dengan tokohnya Al-Hasan bin
Nafi' yang dijuluki Ziryab. Setiap kali diselenggarkan pertemuan dan jamuan,
Ziryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai
penggubah lagu. Ilmu yang dimiliknya itu diturunkan kepada anak-anaknya baik
pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya
tersebar luas.
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Al-Andalus. Hal itu dapat
diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol
menomor-duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam
bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara
lain: Ibn Sayyidih, Ibnu Malik yang mengarang Alfiyyah, Ibnu Khuruf, Ibnul Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu
al-Hasan bin Usfur, dan Abu Hayyan
al-Gharnathi. Seiring
dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra bermunculan, seperti Al-'Iqdul
Farid karya Ibnu Abdu Rabbih, Al-Dzakhirahji Mahasin Ahlul Jazirah oleh Ibnu Bassam, Kitab Al-Qalaid buah karya Al-Fath bin Khaqan, dan sebagainya.
Arsitektur
Aspek-aspek
pembangunan fisik yang mendapat perhatian ummat Islam sangat banyak. Dalam
perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian
juga. Sistem irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat Iberia yang tidak
mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan
jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga
mendapat jatah air.
Orang-orang
Arab memperkenalkan pengaturan hidraulik untuk tujuan irigasi. Kalau dam
digunakan untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi
(penyimpanan air). Pengaturan hidrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air asal Persia yang dinamakan naurah (bahasa Spanyol: La Noria). Disamping itu, orang-orang Islam
juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun dan
taman-taman.
Pembangunan-pembangunan
fisik yang paling menonjol adalah pembangunan gedung-gedung, seperti
pembangunan kota, istana, masjid, permukiman, dan taman-taman. Di antara
pembangunan yang megah adalah Masjid Kordoba, Madinatul Zahra, Istana Ja'fariyah di Saraqusthah, tembok Toledo, Istana Al-Makmun, Giralda, dan Istana Al-Hamra' di Gharnathah.
Kordoba
Kordoba
adalah salah satu kota utama Visigoth, yang kemudian diambil alih oleh Bani
Umayyah. Oleh penguasa Muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar
dibangun di atas sungai yang mengalir di tengah kota. Taman-taman dibangun
untuk menghiasi ibukota Al-Andalus tersebut. Pohon-pohon dan bunga-bunga
diimpor dari Timur. Di seputar ibu kota berdiri istana-istana yang megah yang
semakin mempercantik pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama
tersendiri dan di puncaknya terpancang Istana Damaskus. Di antara kebanggaan
kota Kordoba lainnya adalah Masjid Agung Kordoba. Menurut Ibnu ad-Dala'i,
terdapat 491 masjid di sana. Disamping itu, ciri khusus
kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat
pemandian. Di Kordoba saja terdapat sekitar 900 pemandian. Di sekitarnya
berdiri perkampungan-perkampungan yang indah. Karena air sungai tak dapat
diminum, penguasa Muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya
80 km.
Granada
Granada
adalah tempat pertahanan terakhir umat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul
sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Kordoba diambil alih oleh
Granada pada masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur
bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana Alhambra yang indah dan megah adalah pusat
dan puncak ketinggian arsitektur Moor. Istana itu dikelilingi taman-taman yang
tidak kalah indahnya.
Faktor pendukung kemajuan dan kemunduran
Faktor pendukung kemajuan
Kemajuan
Al-Andalus sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan
berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti
Abdurrahman I, Abdurrahman II, dan Abdurrahman III. Keberhasilan politik
pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa
lainnya yang memelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting di antara
penguasa Bani Umayyah di Al-Andalus dalam hal ini adalah Muhammad I (852-886) dan Al-Hakam II (961-976).
Toleransi
beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan
Yahudi, sehingga mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di
Iberia. Untuk orang-orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi,
disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama
mereka masing-masing. Masyarakat Al-Andalus merupakan masyarakat majemuk,
terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya
toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan
menyumbangkan kelebihannya masing masing.
Meskipun ada
persaingan yang sengit antara Bani Abbasiyyah di Baghdad dan Umayyah di Al-Andalus, hubungan
budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 dan seterusnya, banyak sarjana
mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil
membawa buku-buku dan gagasan-gagasan, sehingga membawa kesatuan budaya dunia Islam.
Perpecahan
politik pada masa Mulukul Thawa'if dan sesudahnya tidak menyebabkan
mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu
pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan Al-Andalus. Setiap penguasa di Málaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Kordoba. Kalau sebelumnya Kordoba merupakan
satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Iberia, Muluk ath-Thawa'if
berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang di antaranya justru lebih
maju.
Faktor penyebab kemunduran
- Konflik dengan kerajaan
Kristen. Para penguasa Muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna. Mereka sudah
merasa puas dengan taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hukum
dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan
bersenjata. Namun, kehadiran Muslim Arab telah memperkuat rasa kebangsaan
orang-orang Kristen Iberia. Hal itu menyebabkan kehidupan negara Islam di
Iberia tidak pernah berhenti dari pertentangan antara dengan
kerajaan-kerajaan Kristen.
- Tidak adanya ideologi
pemersatu. Kalau di tempat-tempat lain para muallaf diperlakukan sebagai orang
Islam yang sederajat, di Iberia, sebagaimana politik yang dijalankan Bani
Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah menerima orang-orang
pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad ke-10, mereka masih memberi istilah
'ibad dan Muwallad kepada para muallaf itu, suatu ungkapan yang
dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada
sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak
besar terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut.
- Kesulitan ekonomi. Di paruh
kedua masa Islam di Iberia, para penguasa membangun kota dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dengan sangat "serius", sehingga lalai membina
perekonomian. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan
menpengaruhi kondisi politik dan militer
- Tidak jelasnya sistem peralihan
kekuasaan. Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan di antara ahli waris.
Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk ath-Thawaif
muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol
jatuh ke tangan Penguasa Katolik di antaranya juga disebabkan permasalahan
ini.
- Keterpencilan. Al-Andalus bagaikan
terpencil dari dunia
Islam yang
lain. Ia selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari
Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu
membendung kebangkitan Kristen di sana.
Pengaruh atas Eropa
Al-Andalus
merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam, baik dalam hubungan
politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Memang banyak
saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sisilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah
Al-Andalus.
Al-Andalus
merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik
dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar
negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Al-Andalus berada di
bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa,
terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik. Yang
terpenting di antaranya adalah pemikiran Ibnu Rusyd (1120-1198). Ia melepaskan
belenggu taqlid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran
Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas.
Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap panteisme dan antropomorfisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di
Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme yang
menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang
dibawa gerakan Averroeisme ini.
Berawal dari
gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 dan rasionalisme pada abad ke-17. Buku-buku Ibnu Rusyd dicetak di Venesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 di Napoli, Bologna, Lyon, dan Strasbourg, dan di awal abad ke-17 di Jenewa. Pengaruh peradaban Islam, termasuk
di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda
Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Al-Andalus,
seperti yang berada di Qurthubah, Isybiliyyah, Malaqah, Gharnathah, dan Salamanca. Selama belajar di Al-Andalus,
mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim.
Pusat
penerjemahan itu adalah Thulaithulah. Setelah pulang ke negerinya, mereka
mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas di Eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231, tiga puluh tahun setelah meninggalnya Ibnu Rusyd. Di
akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam
universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari
universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti,
dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran
Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Pengaruh
ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 itu menimbulkan gerakan kebangkitan
kembali (Renaisans) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14. Berkembangnya pemikiran Yunani di
Eropa kali ini melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian
diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin. Walaupun kaum Muslimin akhirnya
terusir dari Iberia dengan cara yang sangat kejam, tetapi warisannya telah
membidangi gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah:
kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (Renaisans Yunani) pada abad ke-14 yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16,
rasionalisme pada abad ke-17, dan pencerahan (aufklärung) pada abad ke-18.
Referensi
1. ^ "Andalus, al-" Oxford
Dictionary of Islam. John L. Esposito, Ed. Oxford University Press. 2003.
Oxford Reference Online. Oxford University Press. Accessed 12 June, 2006.
2. ^ Zagorin, Perez (2003). How the Idea of Religious Toleration
Came to the West. Princeton
University Press. ISBN 0691092702.
4. ^ Dozy, Reinhart P. 1881. Recherches
sur l'histoire et la littérature des Arabes d'Espagne pendant le Moyen-Age.
5. ^ Vallvé Bermejo, Joaquín. 1986. The
Territorial Divisions of Muslim Spain. Madrid: CSIC (Consejo
Superior de Investigaciones Científicas).
8. ^ Thomson, Ahmad dan Muhammad 'Ata'
Ur Rahim. 2004. Islam Andalusia: Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhan.
Gaya Media Pratama: Ciputat halaman 42-43
9. ^ Tertius Chandler. Four Thousand
Years of Urban Growth: An Historical Census (1987), St. David's University
Press (etext.org). ISBN 0-88946-207-0.
11. ^ Badawi, Abdurrahman (Desember
1991). "The Toledo school - translators in
Toledo, Spain during the Moorish rule - Al-Andalus: where three worlds met". UNESCO Courier. Diakses pada
18 Oktober 2007.
18. ^ "Orthodox
Europe: St Eulogius and the Blessing of Cordoba". Diarsipkan dari aslinya tanggal 2012-05-26., diakses pada 12 Juni, 2006.
22. ^ a b Islamic world. (2007). In
Encyclopædia Britannica. Retrieved September 2, 2007, from Encyclopædia Britannica Online.
26. ^ Previte-Orton , 1971, The
Shorter Cambridge Medieval History: In Two Volumes, vol. 1, h. 376 ISBN 0-521-05993-3
30. ^ UNESCO. Europe, Book production: number of titles
by UDC classes, UNESCO Institute of Statistics.
31. ^ Foundation for Medieval
Genealogy dan Charles Cawley (2006-07). "Moorish Spain". Foundation for Medieval
Genealogy. Diakses 2007-10-15. "He was effective ruler until his death
in 1002, eclipsing the Caliph"
34. ^ A. Martin-Araguz, C.
Bustamante-Martinez, Ajo V. Fernandez-Armayor, J. M. Moreno-Martinez (2002).
"Neuroscience in al-Andalus and its influence on medieval scholastic
medicine", Revista de neurología 34 (9), p. 877-892.
Comments
Post a Comment