SEJARAH REVOLUSI 1911 CHINA SAMPAI REVOLUSI KEBUDAYAAN
Revolusi 1911 (yang juga dikenal sebagai Revolusi Xinhai
atau Revolusi China) yang dimulai pada 10 Oktober 1911 merupakan peristiwa
bersejarah yang sangat penting bagi China. Melalui revolusi tersebut masyarakat
China yang mayoritas dari suku Han berhasil mengakhiri 200 tahun pemerintahan
Kekaisaran Dinasti Qing (1644-1912) yang didominasi minoritas etnik Manchu,
korup dan dinilai lemah dalam membendung intervensi asing. Melalui revolusi ini
dihasilkan pula suatu pemerintahan baru dan pertama di Asia yang berbentuk
republik.
Sebagai seorang intelektual dan aktivis gerakan
revolusioner, Dr. Sun Yat Sen aktif membentuk organisasi Revive China Society
pada tahun 1894 di Honolulu dan menjadi salah seorang pemimpinnya. Tujuan
pembentukannya adalah untuk menyingkirkan etnik Manchu, mengembalikan dominasi
etnik Han dan membentuk pemerintahan bersatu. Pendirian organisasi seperti yang
dilakukan Dr. Sun Yat Sen bukanlah satu-satunya karena banyak pula organisasi-organisasi
sejenis yang dibentuk oleh para aktivis lainnya di berbagai wilayah di China
maupun luar negeri.
Pembentukan organisasi-orghanisasi tersebut tidak serta
merta berhasil menumbangkan Kekaisaran Dinasti Qing dan membentuk pemerintah
republik seperti yang diharapkan. Namun berbagai peristiwa lain seperti
pemberontakan Boxer di utara China, Perang China-Jepang Pertama, dan Perang
Rusia-Jepang di Manchuria tahun 1904 dimana pemerintahan Dinasti Qing tidak
mampu menanganinya menjadikan upaya-upaya gerakan revolusi China menemukan
momentumnya.
Disini Dr. Sun Yat Sen memperlihatkan kemampuannya dalam
mengorganisasikan dan menyatukan berbagai organisasi revolusioner dalam upaya
menumbangkan Kekaisaran Dinasti Qing. Ketika akhirnya Revolusi 1911 sukses menumbangkan
Kekaisaran Dinasti Qing, Dr. Sun Yat Sen ditetapkan sebagai Presiden Pertama
Republik China pada 29 Desember 1911-10 Maret 1912. Namun ia hanya 3 bulan di
tampuk kekuasaan karena tergusur intrik-intrik gerakan para tuan tanah yang
banyak mengontrol pemerintahan dan kehidupan di negara yang baru saja terbentuk
tersebut. 102 tahun yang lalu, para pejuang nasionalis di China mendeklarasikan
berdirinya negara republik. Dengan demikian, setelah 2.000 tahun diperintah
para raja, Tiongkok bukan lagi berbentuk kekaisaran melainkan menjadi negara
Republik China.
Revolusi itu merupakan reaksi atas ketidakmampuan dinasti
Qing untuk mengangkat kembali kejayaan China. Bahkan, Kekaisaran China dalam
tahun-tahun terakhir malah tunduk kepada kekuatan-kekuatan asing - baik dari
Barat maupun dari Jepang. Rakyat pun dibiarkan melarat sehingga membuat Sun
Yat-sen dan para pejuang lain melancarkan perlawanan untuk mengakhiri kekuasaan
raja di China. Revolusi ditandai dengan kudeta militer di Wuhan, China bagian
tengah, yang dilancarkan kelompok bawah tanah anti dinasti Qing dengan dukungan
kaum revolusioner di pengasingan.
Konflik senjata yang saat itu berlangsung berhasil diakhiri
melalui kompromi politik antara Yuan Shikai, panglima militer dinasti Qing,
dengan Sun Yat-sen, yang merupakan pemimpin Aliansi Kaum Revolusioner China
(Tongmenghui). Kompromi itu juga menghasilkan pengalihan kekuasaan dari dinasti
Qing ke republik yang baru. Pemerintahan republik dijalankan oleh Yuan, yaitu
bentukan dari partai-partai politik dan hasil pemilu parlemen pertama pada
1913. Sun Yat-sen sendiri sempat menjadi Presiden sementara Republik China,
dari 29 Desember 1911 hingga 10 Maret 1912.
Setelah kekaisaran berhasil dijungkalkan, situasi di China
bukannya langsung membaik. Negara itu tak lama kemudian dilanda perang saudara
selama bertahun-tahun, yang berujung pada pertikaian dua kubu - yaitu kekuatan
nasionalis pimpinan Jenderal Chiang Kai-sek dan kubu Komunis pimpinan Mao
Zedong / Mao Tse Tung. Pada 1949, kubu Nasionalis akhirnya tersingkir dari
China Daratan. Mereka lalu pindah ke Pulau Taiwan dengan tetap memakai nama
negara Republik China. Kubu komunis pada 1 Oktober 1949 mendirikan negara baru
bernama Republik Rakyat China.
Para pendukung Era Maoisme, yang terdiri dari kebanyakan
rakyat Cina miskin dan lebih tradisionil atau nasionalis dan pemerhati asing
yang percaya kepada komunisme, mengatakan bahwa di bawah Mao, persatuan dan
kedaulatan Cina dapat dipastikan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade
terakhir, dan terdapat perkembangan infrastruktur, industri, kesehatan, dan
pendidikan, yang mereka percayai telah membantu meningkatkan standar hidup
rakyat. Mereka juga yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke Depan dan
Revolusi Kebudayaan penting dalam mempercepat perkembangan Cina dan
menjernihkan kebudayaan mereka.
Lompatan Jauh Ke Depan
Lompatan Jauh ke Depan atau Great Leap Forward dalam bahasa
Inggris adalah sebuah program yang disusun oleh Partai Komunis Cina di Republik
Rakyat Cina, yang berlangsung dari tahun 1958 hingga 1960 dengan tujuan
membangkitkan ekonomi Cina melalui industrialisasi secara besar-besaran dan
memanfaatkan jumlah tenaga kerja murah. Sepanjang tahun 1950-an, Cina telah
melakukan program redistribusi tanah bagi penduduk Cina dibarengi dengan industrialisasi
di bawah sistem kepemilikan negara. Proses ini dilakukan dengan bantuan teknis
dari Uni Soviet.
Masalah timbul ketika pemimpin Soviet pasca-Stalin, yaitu
Nikita Khruschev dalam Kongres ke dua puluh Partai Komunis Uni Soviet,
mencanangkan langkah untuk "mengejar dan menyusul" Barat, sehingga
ekonomi Soviet tidak lagi tertinggal. Oleh Mao Zedong hal ini dirasakan sebagai
ancaman, karena kemajuan ekonomi Uni Soviet akan berarti semakin tergantungnya
Cina pada kekuatan. Lompatan Jauh ke Depan menjiplak sistem yang telah
dilakukan Uni Soviet, sambil memasukkan unsur tradisional Cina. Pelaksanaan
program ini dilakukan melalui dua jalur, yaitu pada peningkatan produksi baja
sebagai bahan baku, pendirian industri ringan serta konstruksi.
Revolusi Kebudayaan (The Great Proletarian Cultural
Revolution)
Revolusi Kebudayaan adalah revolusi besar yang terjadi di
Republik Rakyat Cina, antara tahun 1966 dan 1976, yang digerakkan oleh Mao
Zedong. Revolusi yang dianggap sebagai revolusi terbesar di dunia itu ditandai
dengan dibentuknya Pengawal Merah, sebuah unit paramiliter yang mayoritas
anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang mendukung Mao dan ajaran-ajarannya.
Sebelumnya, pada 16 Mei 1966, pemimpin Cina Mao Zedong telah
mengkonsep sebuah gerakan revolusi yang ia sebut sebagai The Great Proletarian
Cultural Revolution, yang mencapai puncaknya pada 13 Agustus 1966. Meski
namanya “Revolusi Kebudayaan”, namun objek yang direvolusi tidak hanya terbatas
pada kesenian, namun seluruh aspek dan lembaga kemasyarakatan. Revolusi itu
menghapus batasan kelas dalam masyarakat yang telah ada selama ratusan tahun di
Cina, dan terjadi secara menyeluruh meliputi kehidupan sosial, ekonomi,
pendidikan, budaya, bahkan berbagai organ pemerintahan. Revolusi Kebudayaan
merupakan jawaban Mao atas masalah yang ditimbulkan oleh restorasi kapitalisme
yang dilakukan Soviet pada 1956.
Dalam waktu cepat revolusi itu memberikan dampak yang amat
besar sekaligus luas bagi masyarakat Cina, karena banyak sektor ekonomi
terhenti saat revolusi dijalankan. Di awal revolusi, sejumlah besar Pengawal
Merah tiba di Beijing dan menyebabkan kekacauan jadwal kereta api. Tak
terhitung banyaknya bangunan kuno, artefak, barang antik, buku, dan lukisan,
dihancurkan oleh pasukan tersebut. Mao menggerakkan revolusi itu dengan
kekuatan tulisannya, dan sampai Desember 1967, lebih dari 350 juta kopi tulisan
Mao dicetak dan disebarluaskan. Setelah sepuluh tahun revolusi itu berlangsung,
sistem pendidikan di Cina hancur secara perlahan. Ujian masuk perguruan tinggi
dibatalkan selama dekade itu, sementara ribuan intelektual dikirim ke kamp
buruh, atau dibunuh.
Rakyat Cina juga melaporkan hak asasi mereka dirampas selama
revolusi itu berlangsung. Jutaan orang dipindahkan secara paksa, kaum muda di
kota dipaksa tinggal di desa, dan dipaksa mengabaikan segala bentuk standar
pendidikan untuk mengajarkan propaganda Partai Komunis Cina. Salah satu misi
revolusi itu adalah mewujudkan visi Mao, yang disebut “Lompatan Jauh ke Depan”.
Berbeda dengan Soviet yang bertumpu pada industri berat, Mao menggalakkan
pertanian yang ditunjang industri kecil di pedesaan. Karenanya, para petani
harus bekerja lebih keras untuk meningkatkan hasil panen, dan ladang-ladang
harus bebas dari “empat makhluk jahat”—burung, tikus, serangga, dan lalat.
Dalam konsep, visi itu memang hebat. Namun dalam praktik,
visi Mao dianggap terlalu utopis—bahkan oleh para pejabatnya sendiri. Para
petani yang dipaksa bekerja lebih keras itu tidak sempat memetik hasilnya
karena jatuh kelelahan dan mati, sementara “empat makhluk jahat” yang dibasmi
kemudian menciptakan ketidakseimbangan alam. Hasilnya, sepanjang 1958-1961,
lebih dari 30 juta orang meninggal karena kelaparan. Di masa sekarang, banyak
pengamat melakukan kajian terhadap Revolusi Kebudayaan di Cina, termasuk Partai
Komunis Cina dan pendukung gerakan demokrasi Cina, dan mereka menghasilkan
kesimpulan yang kontroversial.
Revolusi Kebudayaan sesungguhnya merupakan reaksi atas
kegagalan pelaksanaan kebijakan Lompat Jauh ke Depan, yang dicanangkan Mao Tse
Tung pada awal 1958. Setelah kegagalan ekonomi yang dramatis tersebut, Mao
mundur dari jabatannya sebagai Presiden Cina. Kongres Rakyat Nasional melantik
Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi Ketua Partai Komunis, namun
dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh
Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan. Liu
Shaoqi sebagai Presiden Cina, diberikan tugas untuk melakukan pemulihan dan
penyesuaian kembali keadaan perekonomian negara dari krisis besar dan kekacauan
parah yang menimpa Cina akibat gerakan Lompat Jauh ke Depan. Liu mendapat tugas
menstabilkan lagi perekonomian, setidaknya seperti keadaan Pelita I dijalankan,
sehingga upaya untuk mewujudkan pembangunan Cina ke arah yang lebih baik dapat
segera dilaksanakan.
Dalam kebijakan pembangunan barunya, Liu dan para pelaksana
lainya meninggalkan sebagian besar ciri-ciri Lompat Jauh ke Depan dan sebagian
kembali pada sistem Pelita I. Penggunaan intensif material ditolerir lagi dan
diarahkan untuk meningkatkan kegiatan usaha atau produktifitas kerja
pendududuk, meskipun tidak sepenuhnya meniru pembangunan di Uni Sovyet. Para
ahli, teknisi dan cendekiawan diakui perananya dalam memberikan sumbangan
pemikiran dan mengembangkan gagsan-gagsan yang rasional serta jelas dalam
revolusi ini. Mereka kemudian mendapatkan kedudukanya kembali dalam masyarakat.
Banyak usaha industri yang primitif dan yang kurang dirasakan manfaatnya dalam
Lompat Jauh ke Depan, ditinggalkan dan dialihkan ke bentuk industri lain yang
lebih bermanfaat. Organisasi Komune Rakyat tetap dipertahankan, tetapi sifatnya
yang ekstrim dihilangkan dan disusun lebih terencana, terarah dan terstruktur
sistematis mekanisme organisasinya, dengan pole pengelolaan yang baik. Suatu kebijaksanaan
pembangunan yang mendahulukan sektor pertanian, ditegaskan dan sekaligus
mengakui kerusakan berat yang dihadapi sektor ini dalam masa Lompat Jauh ke
Depan.
Pemerintah menyatakan bahwa sektor pertanian perlu dijadikan
basis untuk menggerakan program industrialisasi di masa yang akan datang.
Sedangkan sektor industri diarahkan secara umum untuk membantu pembangunan
sektor pertanian. Perencanaan disusun atas dasar tahunan, dimana terdapat
desentralisasi administrasi perekonomian yang cukup besar pada tingkat propinsi
dan lokal. Sementara kegiatan swasta kecil-kecilan sebagai cerminan dari daya
kreatifitas anggota masyarakat yang dalam Pelita I telah memperlihatkan
perkembangan positif dalam pertumbuhan ekonomi negara akan diperkenankan
kembali. Pada masa Pemulihan dan Penyesuaian Kembali (1961-1965) ini, Liu
Shaoqi berusaha menanamkan aliran liberalisme dalam perencanaan-perencanaan
pembangunan demi perbaikan sistem ekonomi sosialis Cina. Oleh karena itu di
daerah pedesaan diberikan kelonggaran terhadap pelaksanaan sistem kolektifitas
dan sistem ekonomi tanpa pasar yang autokratis. Gagasan tersebut diperluas dan
dikembangkan dengan sistem pertanian dalam skala kecil; penggarapan tanah-tanah
milik individu; perdagangan dalm pasar bebas, walaupun dalam skala kecil yang
terbatas dan berbeda dengan di negara-negara kapitalis; serta pemberian
kesempatan kepada perusahaan-perusahaan kecil yang berbasis pada rumah tangga
perseorangan, termasuk dalam hal menanggung untung-rugi. Selain itu, Liu juga
mempropagandakan kebebasan untuk menerapkan sistem kredit bunga, mempekerjakan
kaum buruh, menjual tanah dan menyelenggarakan perusahaan perseorangan.
Pada 1966 Mao meluncurkan Revolusi Kebudayaan, yang dilihat
lawannya (termasuk analis Barat dan banyak remaja Cina kala itu) sebagai
balasan terhadap rival-rivalnya dengan memobilisasi para remaja untuk mendukung
pemikirannya dan menyingkirkan kepemimpinan yang lunak pada saat itu, namun
oleh pendukungnya dipandang sebagai sebuah percobaan demokrasi langsung dan sebuah
langkah asli dalam menghilangkan korupsi dan pengaruh buruk lainnya dari
masyarakat Cina. Revolusi Kebudayaan merupakan kelanjutan dari adu kekuatan
antara aliran dogmatisme dengan pragmatisme. Dalam suasana yang sangat mencekam
bagi para penganut aliran pragmatisme itu, Majalah Tentara Pembebasan Rakyat
terbitan Shanghai edisi November 1965 melancarkan kritik terhadap suatu seni
drama karangan Wu Han yang berjudul ”Han Rui dipecat dari jabatanya”. Cerita
tentang pemecatan terhadap Han Rui adalah suatu sindiran terhadap pemecatan
Marsekal Peng De Huai pada tahun 1956. Karya tulisan yang dipentaskan tersebut
dinilai destruktif karena dapat mempengaruhi masyarakat untuk menyimpulkan
bahwa kebijaksanaan Mao Tse Tung terhadap Peng De Huai adalah suatu kesalahan.
Sejak itu semua orang yang membela Wu Han dikenakan kritik sebagai revisionis
dan oportunis kanan, termasuk para pejabat di lingkungan pemerintahan Beijing
karena saat itu Wu Han menjabat sebagai Wakil Walikota Beijing.
Bulan Juni 1966, PKC menyerukan kepada para mahasiswa untuk
memobilisasi rakyat massa guna digerakan memberantas seni budaya yang ingin
merubah diktatur proletar menjadi kepemimpinan borjuis. Para pelajar dan
mahasiswa kemudian digerakan untuk melancarkan kritik terhadap anasir-anasir
yang dinilai ”anti-partai dan anti-rakyat”, seperti: Presiden Cina, Liu shaoqi;
Sekjen PKC, Deng Xiao ping; Kepala Staf Tentara Pembebasan Rakyat, Lo Rui Qing.
Kemudian para mahasiswa turun ke jalan dengan mengenakan pita di lengan
bertuliskan ”Pengawal Merah”. Gerakan Pengawal Merah ini dari hari ke hari
semakin brutal dengan melakukan pengrusakan terhadap pelbagai kantor
pemerintah, fasilitas umum, selain melakukan teror dan penangkapan terhadap
lawan-lawan politik Mao tse Tung. Mao Tse Tung mempunyai konsep kerja
tersendiri untuk menjelaskan ekonomi-politik pembangunan sosialis. Ia tidak
hanya menemukan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat, tetapi juga mencoba
mengungkapkan apa yang disebut dengan ”teori penentuan waktu”. Dalam teorinya
ini, ia menggariskan setiap tahap pembangunan sosialis dengan tingkat
perkembangan tertentu dari kekuatan produksi dan hasil produksi. Menurutnya,
kebijakan-kebijakan pembangunan yang dibuat harus cocok dengan tahap
pembangunan sosialis yang ada.
Dalam pemikiran Mao, setiap tahap pembangunan sosialis
dibatasi oleh suatu revolusi yang mungkin membutuhkan perang saudara, yang
tergantung apakah revolusi tersebut menyangkut perebutan kekuasaan oleh suatu
kelas dari kelas lain. Lebih jauh dijelaskan bahwa, secara historis revolusi
pada mulanya terjadi dalam suprastruktur. Lalu, setelah terjadi penghancuran
suprastruktur yang lama dan perebutan kekuasaan, hubungan produksi yang lama
dapat dihapuskan dan hubungan produksi yang baru dapt dibangun, sehingga
tercipta keadaan baru untuk pembangunan kekuatan produksi. Dalam pengembangan
pemikiranya mengenai revolusi sosialis, Mao menyatakan bahwa revolusi besar
pada suprastruktur akan mencetuskan revolusi kecil lainya. Perkembangan Cina di
awal tahun 1960-an, dalam pandangan Mao Tse Tung dinilai telah menumbuhkan
kegiatan ideologi yang ia sebut sebagai langkah revisionisme. Karena berbagai
kegiatan revisionisme yang dimaksud menguasai jaringan administrasi
pemerintahan, tatanan partai , organisasi militer dan struktur manajemen perusahaan.
Untuk menentang arus revisionisme yang semakn besar di bidang-bidang tersebut,
Mao menyebarkan semangat anti-revisionisme melalui suatu Revolusi Kebudayaan.
Sebuah revolusi yang mendapat dukungan penuh dari tiga aliansi antara kaum
buruh, kader-kader revolusioner dan Tentara Pembebasan Rakyat. Sebelumnya,
dalam program kerja Gerakan Pendidikan Sosialis, Mao telah menekankan perlunya
dilakukan lagi perjuangan kelas dalam masyarakat, untuk menanggapi
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan munculnya kembali hubungan-hubungan
produksi yang berbau kapitalis di pedesaan dan perkembangan birokrasi partai
yang mengkawatirkan
Menurut Mao, pendirian ideoloi dan prestasi politik rakyat
harus diperbaiki, untuk mecegah matinya semangat revolusioner dan hidup
kembalinya kapitalisme akibat diadakanya Program Pemulihan dan Penyesuaian
Kembali ekonomi Cina pasca Lompat Jauh ke Depan. Perbaikan ini juga perlu
megingat semakin besarnya kesangsian massa terhadap kesetiaan kader-kader
partai terhadap mereka. Oleh karena itu, bagi Mao organisasi-organisasi tingkat
bawah, terutama massa itu sendiri perlu diberikan wewenang untuk mengawasi
partai. Mao Tse Tung meresmikan suatu tim Revolusi Kebudayaan dengan Cheng Bo
da sebagai ketuanya. Pada awal Agustus 1966 Komite sentral PKC mengadakan
sidang untuk merumuskan garis kebijakan dalam mengendalikan Revolusi
Kebudayaan. Rumusan tersebut terdiri dari 16 pasal, sebagai berikut:
1. Revolusi sosialis yang telah mencapai suatu tahapan
baru itu telah menegakan Orde Baru yang mengembangkan gagasan dan kebudayaan
baru.
2. Keberanian untuk melangkah maju telah berhasil
menumbangkan mereka yang menganut jalan kapitalis.
3. Keberanian harus dilimpahkan kepada rakyat massa,
sehingga dapat membongkar pengkhianatan terhadap pikiran Mao Tse Tung.
4. Rakyat massa dipersilahkan mendidik diri dalam
mengobarkan revolusi Kebudayaan.
5. ”Poster Berhuruf Besar” supaya dimanfaatkan
sebanyak-banyaknya agar dapat diperbaiki kesalahan-kesalahan serta membeberkan
pandangan-pandangan yang keliru”
6. Diserukan agar ditegaskan siapa kawan dan siapa lawan.
7. Sasaran pokok dari Revolusi Kebudayaan adalah
menumbangkan unsur-unsur dalam Partai Komunis yang menganut paham kapitalis.
8. Metodenya adalah :
a. mengemukakan fakta-fakta
b. mengadakan ajakan untuk memperbincangkan fakta-fakta
tersebut
c. menghindari tindakan kekerasan
9. Mencegah terjadinya tuduhan keliru terhadap rakyat
revolusioner.
10. Mengadakan perbedaan antara :
a. Yang baik
b. Yang sedang
c. Yang berbuat salah, tetapi tidak anti-Partai dan tidak
anti-sosialisme
11. Organisasi yang telah ada supaya dianggap sebagai
alat kekuasaan dari Revolusi Kebudayaan.
12. Sistem dan prinsip-prinsip, dan cara mengajar yang
lama harus diganti dengan sistem pengajaran yang mengabdi pada politik
proletar, dalam kaitanya dengan kerja produktif.
13. Kritik dengan menyebut nama, baru dapat dijalankan
setelah diperbincangkan oleh Komite Partai setempat, dan setelah mendapat
persetujuan dari tingkat atasan.
14. Kritik terhadap para sarjana dan teknisi yang tidak
anti-Partai / anti-Sosialisme dan tidak berhubungan gelap dengan negara asing,
harus dijalankan atas dasar ”Persatuan kritik persatuan”.
15. Sasaran pokoknya adalah; satuan-satuan kultural,
pendidikan, dan pemerintah di kota-kota besar dan kota-kota sedang.
16. Tujuan dari Revolusi Kebudayaan adalah
merevolusionerkan ideologi rakyat, dan menambah produksi serta mutunya.
17. Di lingkungan Angkatan Bersenjata, edukasi sosial dan
Revolusi Kebudayaan harus sesuai dengan instruksi dari Komisi.
18. Pikiran Mao Tse Tung menjadi pedoman dari seluruh
kegiatan.
Revolusi Kebudayaan adalah konsep kebijakan pembangunan yang
mendasarkan diri pada mobilisasi politik dan bukan pada prinsip-prinsip
teknokratisme, seperti yang dijalankan pada periode sebelumnya. Landasan
pemikiran yamg mengawasi prinsip mobilisasi ialah materialisme-dialektis yang
mengutamakan transformasi individu sebagai alat dan tujuan dari pembangunan
sosialis. Dalam pemikiran ini manusia komunis yang berusaha dibentuk adalah
individu yang tidak bekerja untuk dirinya sendiri, melainkan bekerja untuk
kepentigan umum. Kemudian usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan materi
masyarakat harus mencakup pembangunan watak individu, agar kreatifitas
pribadinya dapat dikembangkan. Menurut Mao, pembangunan ekonomi akan mencapai
sasaranya, apabila dilakukan dilakukan dengan merata dan seimbang, sehingga
seluruh anggota masyarakat dapat menarik keuntungan bersama dan tidak ada yang
menerimanya secara sepihak. Demikian pula, spesialisasi atau perbedaan jenis
pekerjaan, antara pekerjaan biasa (kasar) dan pekerjaan mental, dapat
dihindarkan. Oleh karena itu, partai berperan sebagai pelopor dalam menumbuhkan
motivasi rakyat dan dalam bersatu dan berjuang demi kepentingan bersama.
Dari sudut pandang lain, Revolusi Kebudayaan yang
dilancarkan Mao meliputi dua bidang utama, yaitu mencakup pembaharuan manajemen
industri dan sistem pendidikan. Terhadap bidang industri, sistem manajemen
diarahkan pada pelaksanaan ajaran:
1) liang-san (dua partisipasi), yaitu buruh
berpartisipasi dalam administrasi dan kader-kader berpartisipasi dalam kerja
buruh.
2) yi gai (satu pembaharuan), yaitu partisipasi massa
secara positif dalam produksi.
3) san-jie-he (tiga kombinasi), yaitu aliansi segi tiga
antara para kader, pekerja dan teknisi dalam mendukung administrasi publik.
Di bidang pendidikan, Revolusi Kebudayaan diarahkan untuk
mengkombinasikan dan menyerasikan perkembangan ekonomi dengan revolusi sosial,
dalam upaya menciptakan kondisi dimana mayoritas rakyat, khususnya
kelompok-kelompok kultural yang tertindas, tidak lagi tergantung pada kekuasaan
elit teknokrasi yang mengabdi pada kepentingan sendiri, dan tidak lagi berada
dalam lingkungan dominasi kekuasaanya. Usaha ini dilakukan dengan intensifikasi
pendidikan ideologi, agar kesadaran politik para pelajar dan mahasiswa
meningkat, teori dan praktik dalam sistem pendidikan terintegrasi, sistem
pendidikan menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan langsung produksi di
daerah pedesaan, dan sistem pendidikan berkembang merakyat di daerah pedesaan.
Dalam periode Revolusi Kebudayaan, pemujaan terhadap Ketua
Partai ditingkatkan, dimana pikiran-pikiran Mao yang dikumpulkan untuk konsumsi
masyarakat banyak dalam sebuah Buku Merah Kecil (Little Red Book), dinilai
memberi jawaban atas setiap permasalahan yang mereka hadapi. Nilai-nilai
revolusioner dihidupkan dan diutamakan kembali, dengan menekankan mobilisasi
massa, pengawasan normatif dan pengurangan intensif material. Para birokrat,
teknokrat dan cendekiawan yang dianggap sebagai lapisan kelas baru, digantikan
parananya oleh Komite-komite Revolusioner, yang mementingkan ideologi, semangat
massa dan kekuatan kemauan manusiawi. Suatu hal yang penting, pada saat itu Mao
mengadakan Gerakan Pemindahan ke Daerah Pedalaman, yang memindahkan secara
paksa 20 juta orang penduduk dari kota-kota ke desa-desa, dalam rangka
menerapkan program belajar dari kaum petani.
Beberapa masalah timbul dari kebijakan pembangunan Mao
selama Revolusi Kebudayaan. Sebab bagaimana mungkin keinginan untuk menerjunkan
kaum buruh agar berpartisipasi dalam tugas-tugas administrasi, dan sebaliknya
menerjunkan para kader politiknya untuk berpartisipasi dalam pekerjaan buruh,
dapat diharapkan keberhasilanya dalam waktu singkat. Harus diingat bahwa hal
itu memerlukan waktu penyesuaian, karena sebelumnya kaum buruh telah terbiasa
dengan pekerjaan di lapangan yang sifatnya kasar, serta asing sekali dengan
pekerjaan administratif. Sedangkan para kader politik justru telah terbiasa
dengan tugas-tugas organisasi dan administratif, masih asing dengan
pekerjaan-pekerjaan buruh.
Konsep yi gai, yaitu partisipasi massa yang tinggi dalam
setiap kegiatan produksi, masih lebih mungkin direalisasi. Tetapi hal ini harus
dibedakan dengan pengertian mobilisasi, dengan diikuti oleh pengontrolan yang
ketat. Dalam kenyataanya, yang muncul di Cina selama Revolusi Kebudayaan lebih
mendekati pada pengertian mobilisasi massa. Sementara itu aliansi
buruh-kader-teknisi ada kesan sengaja diciptakan Mao sebagai basis kekuatan
untuk menghadapi kekuatan kontra-revolusioner yang memperoleh dukungan kuat
dari para birokrat dan buruh-buruh industri.
Dalam hal lain, pembangunan sistem pendidikan tidak bissa
dilepaskan dari keinginan Mao untuk melanggengkan kharismanya dalam
kepemimpinan politik Cina. Tujuan meningkatkan kesadaran politik para pelajar
dan mahasiswa, mengintegrasikan teori dan praktik dalam pendidikan, serta
merakyatkan pendidikan merupakan keinginan yang terlalu dipaksakan. Sebab akan
timbul pertanyaan, bagaimana mungkin semua hal itu bisa terwujud, apabila
pusat-pusat pendidikan ditutup, kaum intelektual disingkirkan, dan tindakan Mao
yang sangat diktatorial. Disadari, Revolusi Kebudayaan adalah sesuatu yamg
sangat kompleks. Berkaitan dengan teori penentuan waktu dan diktumrevolusi
permanen, maka Revolusi Kebudayaan merupakan revolusi yang berlangsung dalam
konteks perjuangan kelas yang berkesinambungan pada suprastruktur, ketika
keadaan obyektif yang terbentuk berdasarkan kontradiksi-kontradiksi di dalam
masyarakat, membuatnya perlu. Oleh karena itu, revolusi ini dilancarkan Mao
untuk mengeliminasi para pimpinan nasional yang bertentangan denganya dalam
percaturan politik Cina, agar pembangunan sosialis dapat diarahkan sesuai
dengan konsepsi pemikiranya.
Dengan menggunakan kaum muda, kader-kader partai yang setia
kepadanya dan orang-orang yang direkrut dari golongan militer, Mao melakukan
tindakan pembersihan terhadap Liu dan kawan-kawan. Liu Shaoqi, Presiden Cina,
kemudian mengalami perlakuan buruk dan mati dalam keadaan menyedihkan. Deng
Xiao Ping, sekjen PKC, diasingkan dalam pembuangan di Jiangxi. Ia juga mendapat
perlakuan buruk selama dalam pengasingan, seperti seorang pekerja rodi.
Sedangkan Peng Dehuai, bekas Menhankam Cina, menghadapi penyiksaan berat dan
mati dalam keadaan setengah lumpuh. Sejarahwan Wu Han sendiri mengalami nasib
seperti Hai Rui dalam tulisanya, bahkan tidak hanya kehilangan kedudukan, ia
juga mati mengenaskan.
Selain itu, Mao juga ”melepaskan” Pengawal Merah, yang
terdiri dari tentara dan kaum milisia, dan menggerakan jutaan pemuda untuk
membinasakan apapun dan siapapun yang dikategorikan sebagai sebagai segala
sesuatu yang berbau kapitalis dan bertentangan dengan pendirian revolusionernya
dalam kebijakan pembangunan Cina. Sementara Jiang Qing, Zhang Chung Qiao, Wang
Hu Wen dan Yao Wen Yuan (Empat Serangkai) yang berada di belakang Mao,
memperbesar jumlah korban yang harus dibinasakan, dengan memasukan dalam
kategori-kategori baru, siapa saja yang masih termasuk musuh, pengkhianat dan
para pengikut kapitalis.Berdasarkan data yang diperoleh, antara 250.000 sampai
500.000 jiwa rakyat tewas selama Revolusi Kebudayaan ini. Sedangkan jutaan
rakyat lainya mengalami penderitaan fisik dan psikis akibat dikirim ke
kamp-kamp kerja paksa dan diteror, serta dikejar-kejar oleh
gerombolan-gerombolan orang yang diatur sebagai ”massa yang marah” dalam
berbagai bentuk kampanye mobilisasi, restorasi pemikiran, re-edukasi dan
rekonstruksi pribadi sosialis yang baru. Keadaan ini berlangsung selam sepuluh
tahun memporak-porandakan seluruh negeri dan menyengsarakan lebih dari 100 juta
rakyat Cina.
Pengaruh Revolusi Kebudayaan terhadap perekonomian nasional
sangatlah besar. Produksi sektor industri merosot di tahun 1967 dan baru pulih
kembali pada tahun 1969, meskipun sektor pertanian hanya mengalami sedikit
kerugian. Selama sepuluh tahun kekacauan berlangsung, terjadi kerusakan diri
atas kaum muda karena banyak sekolah ditutup. Pada sekolah-sekolah yang masih
dibuka, kurikulum sangat disederhanakan dan sistem ujian dihapus, sehingga mutu
pendidikan merosot. Akibat adanya pengiriman anak-anak usia sekolah dari kota
ke daerah pedesaan untuk bertani, tercatat tidak kurang dari 100 juta anak muda
kembali menjadi buta huruf, disamping banyak lowongan kerja yang diisi oleh
tenaga-tenaga yang tidak ahli. Korban jiwa, kemunduran pendidikan, kehancuran
seni dan peradaban, kebangkrutan pabrik-pabrik, adalah berbagai akibat yang
dihasilkan Revolusi Kebudayaan. Dari segi pemerataan, kebijakan-kebijakan
pembangunan Mao, menghasilkan prestasi yang mengagumkan. Dalam hal itu hasil
yang diraih Cina lebih baik dibandingkan negara-negara sedang berkembang pada
umumnya. Keunggulan tersebut harus diakui, walaupun dari segi kesejahteraan
hidup penduduk, kondisi Cina masih jauh dari yang diharapkan.
Namun belajar dari China era Mao, sosialisme tumbuh
berkembang. Dan dibawah kepemimpinan Mao, China mencoba menyingkirkan kaum
penindas (kapitalis,feodalis,revisionis) dengan revolusi Kebudayaannya. Mao Tse
Tung dijuluki Bapak Revolusi China. Dan sampai sekarang namanya masih dihormati
dan disegani oleh rakyat RRC. Di Cina banyak sekali foto atau poster dirinya.
Sosialisme China juga banyak menginspirasi negara-negara yang ingin merdeka
dari kaum imperialis dan kapitalis. Ini terbukti dengan politik luar negeri
China yang banyak mendukung adanya revolusi di negara-negara lain. Dia
meninggal di Beijing, 9 September 1976 pada umur 82 tahun),
Mao Tse Tung
Mao sebenarnya bukan seorang filsuf yang orisinil.
Gagasan-gagasannya berdasarkan bapak-bapak sosialisme lainnya seperti Karl
Marx, Friedrich Engels, Lenin dan Stalin. Tetapi ia banyak berpikir tentang
materialisme dialektik yang menjadi dasar sosialisme dan penerapan
gagasan-gagasan ini dalam praktek seperti dikerjakan Mao bisa dikatakan
orisinil. Mao bisa pula dikatakan seorang filsuf Cina yang pengaruhnya paling
besar dalam Abad ke 20 ini.
Konsep falsafi Mao yang terpenting adalah konflik.
Menurutnya: “Konflik bersifat semesta dan absolut, hal ini ada dalam proses
perkembangan semua barang dan merasuki semua proses dari mula sampai akhir.”
Model sejarah Karl Marx juga berdasarkan prinsip konflik: kelas yang menindas
dan kelas yang tertindas, kapital dan pekerjaan berada dalam sebuah konflik
kekal. Pada suatu saat hal ini akan menjurus pada sebuah krisis dan kaum
pekerja akan menang. Pada akhirnya situasi baru ini akan menjurus kepada sebuah
krisis lagi, tetapi secara logis semua proses akhirnya menurut Mao, akan
membawa kita kepada sebuah keseimbangan yang stabil dan harmonis. Mao jadi
berpendapat bahwa semua konflik bersifat semesta dan absolut, jadi dengan kata
lain bersifat abadi. Konsep konflik Mao ini ada kemiripannya dengan konsep
falsafi yin-yang.. Di bawah ini disajikan sebuah cuplikan tentang pemikirannya
tentang konflik.
Dalam ilmu pengetahuan semuanya dibagi berdasarkan
konflik-konflik tertentu yang melekat kepada obyek-obyek penelitian
masing-masing. Konflik jadi merupakan dasar daripada sesuatu bentuk disiplin
ilmu pengetahuan. Di sini bisa disajikan beberapa contoh: bilangan negatif dan
positif dalammatematika, aksi dan reaksi dalam ilmu mekanika, aliran listrik
positif dan negatif dalam ilmu fisika, daya tarik dan daya tolak dalam ilmu
kimia, konflik kelas dalam ilmu sosial, penyerangan dan pertahanan dalamilmu perang,
idealisme dan materialisme serta perspektif metafisika dan dialektik dalam ilmu
filsafat dan seterusnya. Ini semua obyek penelitian disiplin-disiplin ilmu
pengetahuan yang berbeda-beda karena setiap disiplin memiliki konfliknya yang
spesifik dan esensi atau intisarinya masing-masing.
Contoh-contoh yang diberikan oleh Mao Zedong mengenai
'konflik' dalam disiplin yang berbeda-beda diambilnya dari Lenin.
Bilangan-bilangan negatif dan positif merupakan sebuah contoh yang buruk
mengenai dialektika marxisme karena perbedaan mereka tidak dinamis: hanya ada
bilangan-bilangan negatif dan positif baru yang bermunculan.
Konsep Mao kedua yang penting adalah konsepnya mengenai
pengetahuan yang juga ia ambil dari paham Marxisme. Mao berpendapat bahwa
pengetahuan merupakan lanjutan dari pengalaman di alam fisik dan bahwa
pengalaman itu sama dengan keterlibatan.
Jika engkau mencari pengetahuan maka engkau harus terlibat
dengan keadaan situasi yang berubah. Jika kau ingin mengetahui bagaimana sebuah
jambu rasanya, maka jambu itu harus diubah dengan cara memakannya. Jika engkau
ingin mengetahui sebuah struktur atom, maka engkau harus melakukan
eksperimen-eksperimen fisika dan kimia untuk mengubah status atom ini. Jika
engkau ingin mengetahui teori dan metode revolusi, maka engkau harus
mengikutinya. Semua pengetahuan sejati muncul dari pengalaman langsung.
Hanya setelah seseorang mendapatkan pengalaman, maka ia baru
bisa melompat ke depan. Setelah itu pengathuan dipraktekkan kembali yang
membuat seseorang mendapatkan pengalaman lagi dan seterusnya. Di sini
diperlihatkan bahwa Mao tidak saja mengenal paham Marxisme tetapi juga paham
neokonfusianisme seperti dikemukakan oleh Wang Yangmin yang hidup pada abad ke
15 sampai ke abad ke 16.
Mao dan Kebijakan Politiknya
Mao membedakan dua jenis konflik; konflik antagonis dan
konflik non-antagonis. Konflik antagonis menurutnya hanya bisa dipecahkan
dengan sebuah pertempuran saja sedangkan konflik non-antagonis bisa dipecahkan
dengan sebuah diskusi. Menurut Mao konflik antara para buruh dan pekerja dengan
kaum kapitalis adalah sebuah konflik antagonis sedangkan konflik antara rakyat
Cina dengan Partai adalah sebuah konflik non-antagonis.
Pada tahun 1956 Mao memperkenalkan sebuah kebijakan politik
baru di mana kaum intelektual boleh mengeluarkan pendapat mereka sebagai
kompromis terhadap Partai yang menekannya karena ingin menghindari penindasan
kejam disertai dengan motto: “Biarkan seratus bunga berkembang dan seratus
pikiran yang berbeda-beda bersaing.” Tetapi ironisnya kebijakan politik ini
gagal: kaum intelektual merasa tidak puas dan banyak mengeluarkan kritik. Mao
sendiri berpendapat bahwa ia telah dikhianati oleh mereka dan ia membalas
dendam. Sekitar 700.000 anggota kaum intelektual ditangkapinya dan disuruh bekerja
paksa di daerah pedesaan.
Mao percaya akan sebuah revolusi yang kekal sifatnya. Ia
juga percaya bahwa setiap revolusi pasti menghasilkan kaum kontra-revolusioner.
Oleh karena itu secara teratur ia memberantas dan menangkapi apa yang ia anggap
lawan-lawan politiknya dan para pengkhianat atau kaum kontra-revolusioner.
Peristiwa yang paling dramatis dan mengenaskan hati ialah peristiwa Revolusi
Kebudayaan yang terjadi pada tahun 1966. Pada tahun 1960an para mahasiswa di
seluruh dunia memang pada senang-senangnya memberontak terhadap apa yang mereka
anggapThe Establishment atau kaum yang memerintah. Begitu pula di Cina. Bedanya
di Cina mereka didukung oleh para dosen-dosen mereka dan pembesar-pembesar
Partai termasuk Mao sendiri. Para mahasiswa dan dosen mendirikan apa yang
disebut Garda Merah, yaitu sebuah unit paramiliter. Dibekali dengan Buku Merah
Mao, mereka menyerang antek-antek kapitalisme dan pengaruh-pengaruh Barat serta
kaum kontra-revolusioner lainnya. Maka para anggota Garda Merah ini pada tahun
1966 sangat membabi buta dalam memberantas kaum kontra revolusioner sehingga
negara Cina dalam keadaan amat genting dan hampir hancur; ekonominyapun tak
jalan. Akhirnya Mao terpaksa menurunkan Tentara Pembebasan Rakyat untuk
menanggulangi mereka dan membendung fanatisme mereka. Hasilnya adalah perang
saudara yang baru berakhir pada tahun1968.
Comments
Post a Comment