AKHLAK TASAWUF (Pengertian Akhlak)



Pengertian Akhlak
Bersama : Drs. Zulfikar Kh

Pengertian :
Pengertian  akhlak,   moral, etika, susila, objek kajiannya, tolok ukur, tujuan dan faedah mempelajarinya. Sebelum masuk pada pengertian akhlak, tolok ukur, tujuan dan manfat mempelajarinya, terlebih dahulu diuraikan secara global urgensi akhlak bagi umat manusia.  Seberapa urgenkah akhlak bagi manusia?
 A. Urgensi Akhlak
Akhlak mulia merupakan pondasi utama bagi terciptanya hubungan baik antara  hamba dengan Allah SWT (Hablumminallah) dan antar sesama manusia (Hablumminannas) serta  antara manusia dengan alam sekitarnya (hewan dan tumbuh-tumbuhan).
Rachmat Djatnika, dalam bukunya menjelaskan : Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati posisi yang sangat penting, baik sebagai individu, sebagai masyarakat atau bangsa. Sebab jatuh-bangun, jaya-hancurnya suatu masyarakat atau bangsa,  tergantung kepada bagaimana akhlak masyarakat atau bangsa itu sendiri…(Rachmat Djatnika, 1987: 11). Senada dengan Rachmat Djatnika, Syauqi Bey seorang pujangga Islam  belasan abad yang silam pernah bersenandung dengan syairnya  yang artinya sebagai berikut: “Suatu bangsa akan tegak dengan  tegaknya  akhlak  bangsa itu  dan bangsa itu akan hancur dan musnah  apabila akhlak bangsa itu telah tiada”
Syair  di atas bukan hanya  sekedar  pemanis  kata dan tanpa  dasar. Hal ini  dapat ditelusuri dari historis  umat terdahulu, misalnya hancurnya kaum Nabi Luth, runtuh dan hancurnya suku bangsa  Quraisy.  Kehancuran dan kebinasaan mereka itu  kalau  diamati jelas  ada kaitannya  dengan kemerosotan moral  atau akhlak  dari bangsa itu sendiri.
Maka dengan demikian semakin jelas begitu urgennya akhlak mulia bagi  seseorang, baik ia sebagai individu, maupun kelompok (masyarakat). Lebih jauh hal  ini dapat ditelusuri dari salah satu misi diutusnya Nabi Muhammad SAW, yakni untuk memperbaiki akhlak atau budi pekerti  manusia “ Innamā bu’istu li utammima makārima al  akhlāq” Artinya :  “Sesungguhnya  saya  diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak atau budi pekerti  manusia”.
Memahami makna hadits di atas, maka agama yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW merupakan agama penyempurna budi pekerti atau akhlak. Hal ini dapat dimaklumi karena ketika itu (masa jahiliah), akhlak manusia pada masa itu sudah sangat memprihatinkan, sampai-sampai orang-orang kafir kurais menganggap hina jika melahirkan anak perempuan dan karenanya mesti dibunuh dengan cara menguburnya hidup-hidup.
Lebih jauh Harun Nasution mengomentari hadits di atas, bahwa kata “innama” yang terkandung dalam hadits di atas mengandung maknai “hanya semata-mata”, karena itu tidak untuk hal lain. Terkandung dalam hadits itu bahwa  Nabi Muhammad diutus hanya untuk urusan budi pekerti, moral atau akhlak manusia (Harun Nasutiuon, 1995:443).
Dari uraian singkat di atas, tampak semakin jelas, begitu urgennya akhlak bagi manusia dalam menjani kehidupan ini, jikalau  ia menginginkan dan mendambakan kehidupan serta hubungan  yang harmonis, rukun dan damai, baik dengan sang Pencipta (Allah SWT), dengan manusia dan lingkungannya. Kehidupan yang demikian pada akhirnya akan menuai kesuksesaan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Bagaimana realitas akhlak anak bangsa saat ini? Kondisi akhlak anak bangsa sekarang ini memang tidak semuanya rusak, masih ada yang baik, namun tidak sedikit pula orang yang tidak memperdulikannya lagi. Masih terbayang dipelupuk mata kita, bagaimana tawuran antar warga kampung, antar pelajar SLTP  A dan SLTP B, meningkat lagi antara SMA A dan SMA B, terus meningkat lagi antar fakultas F dan fakultas B. Masih terngiang di telinga kita, bagaimana seorang anak membunuh ibu kandungnya, ayah memperkosa anaknya dan membunuhnya. Amanah dan keadilan sudah tidakdijunjung lagi, terjadi korupsi, manipulasi, kezaliman, pemerasan dan lain-lain.
Melihat kondisi demikian sangat wajar para ulama selalu memperingatklan umatnya,malah sampai sampai bapak Predisden RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono dalam beberapa kesempatan mengingatkan rakyatnya: Ketika menghadiri perayaan Isra Mi’raj, 9Juli 2010. Hari Anak Nasional   23 Juli 2010. Membuka  Munas  MUI. Memberikan samabutan pada acara Peringatan Nuzulul Quran 25 Juli 2010 mengatakan “…Kondisi akhlak anak bangsa sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Bahkan dengan tegas dinyatakan bahwa kondisi akhlak bangsa ini sudah mencapai tingkat tragedi yang mengerikan.Selanjutnya beliau mengajak komponen anak bangsa “  Saatnya Indonesia kembali kepada peradaban Islam”
Dari prolog singkat di atas diharapkan menjadi renungan bagi mahasiswa untuk menjadikan diri sebagai insan cendikiawan yang memiliki akhlak mulia sehingga dapat ditiru dan diteladani oleh masyarakat sekitarnya.bukan malah menjadi cibiran dan beban masyarakat dan pemerintah.
B. Pengertian Akhlak
Sebagai upaya untuk mengamalkan akhlak mulia, maka  sangat penting diketahui  apa itu pengertian akhlak, beberapa istilah lain atau sinonim dari Akhlak, apa saja yang menjadi obyek kajian ilmu Akhlak itu, ukuran apa yang digunakan untuk mengukur baik dan buruk, bisakah akhlak itu dibentuk, dan kalau bisa dibentuk, bagaimana pola atau metode pembentukannya, apa yang dimaksud Akhlak Mahmudah dan Mazmumah serta apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan Akhlak. Inilah kiranya yang menjadi uraian atau bahasan dalam bagian-bagian selanjutnya.
Sebelum diketengahkan definisi akhlak menurut beberapa ahli, alangkah baiknya terlebih dahulu dikemukakan asal kata dari akhlak itu sendiri, sehingga dengan demikian diharapkan dapat mempermudah untuk memahami pengertian akhlak yang akan diuraikan pada paparan selanjutnya.
Kata Akhlak berasal dari bahasa arab yang sudah di Indonesiakan. Kata akhlāq                adalah jama’ taksir dari kata khuluqun.  Dalam Kamus Al Munjid, Khulqun (baca Khulq) bisa bermakna budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at. (Luis Ma’luf: tth: 194).
Abuddin Nata dalam bukunya menjelaskan kata Akhlāq atau khuluq, kedua-duanya pemakaiannya dijumpai dalam Al Qur’an maupun Hadits Nabi. (Abuddin Nata,1996: 2). Misalnya dalam surah Al Qalam ayat 4 yang artinya : “ Dan sesungguhnya kamu  benar-benar berbudi pekerti yang agung). Selain dalam surah Al Qalam di atas, kata khuluq juga ditemui dalam surah Asy- Syu’arā ayat 137 yang artinya: “(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”.
Disamping kata khuluq ditemui dalam Al Qur’an, maka kata khuluq juga ditemui dalam Hadits Nabi, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban berikut ini : “Mā khaira mā
‘ṭā al insāna qāla  khluqa hasana”. Artinya :  Apakah sesuatu yang lebih baik yang diberikan kepada manusia ? Rasul menjawab, yaitu akhlak yang baik (HR. Ibnu Hibban). Selanjutnya dalam hadits lain : Ayyu al mu’minῑna akmal al imānā qāla ahnanuhum khuluqā.Artinya : Siapakah diantara orang mukmin yang paling sempurna imannya? Rasul menjawab, yaitu orang yang paling baik akhlaknya (HR Tabrani). Kemudian  dalam hadits lain juga ditemui kata akhlak, misalnya : Innamā bu’istu li utammima makārima al  akhlāq Artinya :  bahwasanya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan budi pekerti (HR. Ahmad).
Demikian sekilas asal usul dari perkataan akhlak, berikut ini akan dipaparkan definisi akhlak menurut beberapa ahli dibidangnya.
1.      Al Ghazali dalam kitab munomentalnya Ihyā ulumiddῑn, menjelaskan,  akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
2.      Muhammad  ibn ‘Ilan Ash Shidieqy yang dikutip oleh Mahyuddin menyebutkan, akhlak ialah suatu pembawaan dalam diri manusia, yang dapat  menimbulkan perbuatan baik, dengan cara yang mudah (tanpa didorong orang lain).(Mahyuddin, 2003: 4). 
3.      Ibnu Maskawaih, seperti yang dikutip Abuddin Nata menjelaskan, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa melakukan pemikiran dan pertimbangan.(Abuddin Nata, 1996: 3).
4.      Ahmad Amin dalam bukunya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan akhlak itu ialah kebiasaan kehendak (Ahmad Amin, 1975: 3). Hal  Ini mengandung makna bahwa kehendak itu apabila selalu dibiasakan akan sesuatu maka kebiasaan itu dinamai dengan akhlak. Misalnya kehendak menjadi seorang yang suka memberi, hal itu apabila selalu dibiasakan, maka kebiasaan itu ialah akhlak dermawan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa akhlak itu, tidak akan terwujud jika hanya dilakukan secara temporer, atau kadang-kadang saja, akhlak akan terwujud jika dilakukan secara terus menerus atau kontinyu, sehingga perbuatan itu muncul tanpa paksaan, lantaran sudah terbiasa melakukannya, akhirnya muncul dengan spontan, tanpa memerlukan pemikiran.
C. Istilah Lain atau Sinonim dari Akhlak
Ada beberapa istilah lain selain kata akhlak, seperti moral, etika dan susila. Berikut ini akan diuraikan secara singkat istilah tersebut.
1.      Moral.
Moral berasal dari bahasa latin, yakni Mores, yaitu jamak dari kata Mos  yang berarti adat kebiasaan (Asmaran, 1999: 8). WJS Peorwadarminta dalam Kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan moral adalah penentuan baik dan buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. (WJS Peorwadarminta, l988: 654).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai baik atau buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa si A itu bermoral, berarti si a itu memiliki tingkah laku yang baik, selanjutnya jika dikatakan si A itu amoral, berarti si A itu memiliki tingkah laku yang tidak baik.
Adapun obyek dari moral adalah membahas tentang perbuatan manusia, selanjutnya menentukan posisi perbuatan tersebut, apakah perbuatan itu baik atau buruk.
Tolok ukur dalam menentukan baik dan buruk menurut moral adalah berdasarkan norma-norma yang tumbuh dan berkembang serta berlaku di masyarakat. Maka dengan demikian ukuran penentuan baik dan buruk menurut moral adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat itu sendiri.
Memperhatikan tolok ukur penentuan baik dan buruk seperti diuraikan di atas, maka dapat dipahami bahwa moral sifatnya terbatas, ia tidak bersifat universal, karena bisa jadi adat istiadat yang dipandang baik dan terpuji bila dilakukan oleh  suatu masyarakat, namun dipandang tabu dilakukan oleh masyarakat lainnya.
2. Etika
Kata etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus Umum bahasa Indonesia disebutkan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).
Ahmad Amin mengartikan etka adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.( Ahmad Amin, 1983: 3). Ki Hajar Dewantara, mengartikan etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
Dari  pengertian di atas dapat dipahami bahwa etika setidaknya berhubungan dengan empat hal. Pertama; dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan manusia. Kedua, dilihat dari segala sumbernya, etika bersumber dari akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak pula universal, ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan dan kelebihan.Ketiga dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan manusia, yaitu apakah perbuatan itu akan dinilai baik, buruk, mulia, hina dsb. Dengan demikian etika lebih bperan  sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan manusia. Dengan bahasa lain peran etika dalam hal ini tampak seperti wasit dan bukan sebagai pemain. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan ketentuan dan kondisi zaman.
3. Susila
Susila berasal dari bahasa sansekerta, yakni su dan sila. Su berarti baik, bagus dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma.
Kata susila selanjutnya digunakan untuk arti sebagai aturan hidup yang lebih baik. Orang yang susila adalah orang yang berkelauan baik, sebaliknya asusila adalah orang yang berkelakuan buruk. Selanjutnya kata susila juga dapat berarti sopan, beradab, baik budi bahasanya.
Maka dengan demikian susila merupakan pedoman untuk membimbing agar orang berjalan dengan baik juga berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik  oleh masyarakat.
Melihat ukuran baik dan buruk menurut susila seperti uraian di atas, tampaknya tidak berbeda dengan tolok ukur yang digunakan moral, karenanya susila juga tidak bersifat universal.
D. Obyek Kajian Akhlak
Ahmad Amin dalam bukunya (Etika ) Ilmu Akhlak menyebutkan bahwa yang menjadi obyek kajian ilmu akhlak adalah  menyelidiki  segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukumnya, apakah baik atau buruk. Muhammad Al Ghazali menjelaskan bahwa obyek kajian ilmu akhlak itu meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perorangan), maupun kelompok (masyarakat).
Perbuatan manusia dapat dikelompokkan menjadi dua . Pertama perbuatan yang lahir dengan kehendak dan sengaja. Kedua Perbuatan yang lahir tanpa kehendak dan tidak sengaja.
Jenis perbuatan pertama termasuk perbuatan akhlak dan menjadi obyek kajian ilmu akhlak. Contoh orang yang membangun rumah sakit, membangun sekolah, membangun jembatan dsb atau seseorang yang mencuri sesuatu. Perbuatan ini dapat dinilai baik atau buruk, karena ia lahir dengan kehendak dan disengaja melaksanakannya oleh sipelaku.
Jenis perbuatan kedua, yang tidak menjadi okyek kajian ilmu akhlak. Contoh memejamkan mata dengan tiba-tiba ketika berpindah dari gelap ke terang. Perbuatan ini tidak dapat dinilai baik dan buruk, karena ia merupakan gerak reflek yang lahir tanpa kehendak dan disengaja. Orang yang matanya suka berkedip, ini juga tidak bisa dinilai baik dan buruk, semakin banyak kedipannya semakin baik misalnya. Atau gerak reflek tangan ketika  terkena api atau terkena sengatan listrik atau misalnya bernafas. Ini semua adalah perbuatan manusia, namun tidak dapat diukur dengan baik dan buruk atau dikategorikan perbuatan akhlak.
Jadi cakupan akhlak hanya pada perbuatan-perbuatan yang menjadi kebiasaan manusia yang dapat diukur dengan baik dan buruk, baik perbuatan bathiniah maupun lahiriah. Misalnya, kebiasaan berderma, rendah hati, suka mencerca, suka berdusta dan lain sebagainya. Jika perbuatan baik yang dibiasakannya, maka bererti ia memiliki akhlak terpuji, sebaliknya tidak perbuatan yang tidak baik yang selalu dibiasakannya, maka ia memiliki akhlak tercela.
D.Tujuan Akhlak
Setelah megetahui apa arti  dan obyek dari akhlak itu, maka tidak mustahil muncul suatu pertanyaan. Misalnya apa tujuan yang ingin dicapai oleh akhlak atau oleh orang yang mempraktekkan akhlak (mahmudah) dan meninggalkan akhlak mazmumah?
Tujuan final yang akan diperoleh manusia dengan mempraktekkan akhlak (yang ingin dicapai oleh akhlak) adalah kebahagiaan/ sa’adah/ heppiness.
Apa itu kebahagiaan ? Ada bermacam-macam rumusan mengenai kebahagiaan.
1.      Kebahagiaan sama dengan kelezatan (Hedonism). Paham ini berpendapat hendaknya manusia itu mencar kelezatan saja., karena setiap aktivitas tidak sepi dari kelezatan. Apabila disuruh memiliki diantara beberapa perbuatan, pilih yang banyak mengandung kelezatan. (EPICURUS) (Asmaran, 1992: 14)..
2.      Prof Klinovitch, The heppiness of man is not God, patriotisme, beauty, justise, family, freinship and work. Man heppiness is in sex, because man and sex are indentical. Kebahagiaan seseorang tidak karena percaya kepada tuhan, sifat patriotik, keadilan, karena kecantikan keluarga, persaudaraan dan pekerjaan. Tetapi kebahagiaan itu terletak pada pemuasaan safsu (sex), sebab antara manusia  dan nafsu (sex) adalah identik. (Ismail Thaib, 1985: 32).
3.      Ibnu Maskawaih, berpendapat kebahagiaan akan dapat dicapai apabila terkumpul dua hal pada diri seseorang. Pertama kebijaksanaan yang bersifat penalaran dan yang kedua kebijaksanaan yang bersifat kerja.  Dengan kebijaksanaan nalar akan melahirkan pandangan-pandangan yang sehat dan dengan bersifat kerja akan memperoleh keadaan utama yang akan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik.
4.      Al Ghazali, Kebahagiaan adalah kebaikan tertinggi. Kebaikan-kebaiakan dalam kehidupan semuanya bersumber pada :
a. Kebaikan jiwa (ilmu, bijaksana, suci diri, berani dan adil);
b. Kebaikan dan keutamaan badan (sehat, kuat, tampan dan usia panjang);
c. Kebaikan eksternal (harta, keluarga,  pangkat dan nama baik);
d. Kebaikan atau keutamaan bimbingan (taufiqiyyah)(petunjuk Allah, bimbingan, petunjuk jalan lurus-Nya dan istiqamah)
5.      Ada juga yang berpendapat kebahagiaan itu adalah bila seseorang merasa puas dengan nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya (qana’ah).
Pandangan mengenai kebahagian di atas, tampak beragam, kalau dilihat konsep yang diuraikan di atas, dapat dikelompoknya kepada dua varian, yakni varian yang sudut pandangannya agamis (Islam) dan varian kedua mereka yang memiliki sudut pandang materialis, hedonis dan malah atheis (non Islam).
Akhlak Tasawuf Materi I Pengertian  akhlak,   moral, etika, susila, objek kajiannya, tolok ukur, tujuan dan faedah mempelajarinya.   Sebelum masuk pada pengertian akhlak, tolok ukur, tujuan dan manfat mempelajarinya, terlebih dahulu diuraikan secara global urgensi akhlak bagi umat manusia.  Seberapa urgenkah akhlak bagi manusia?   A. Urgensi Akhlak Akhlak mulia merupakan pondasi utama bagi terciptanya hubungan baik antara  hamba dengan Allah SWT (Hablumminallah) dan antar sesama manusia (Hablumminannas) serta  antara manusia dengan alam sekitarnya (hewan dan tumbuh-tumbuhan). Rachmat Djatnika, dalam bukunya menjelaskan : Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati posisi yang sangat penting, baik sebagai individu, sebagai masyarakat atau bangsa. Sebab jatuh-bangun, jaya-hancurnya suatu masyarakat atau bangsa,  tergantung kepada bagaimana akhlak masyarakat atau bangsa itu sendiri…(Rachmat Djatnika, 1987: 11). Senada dengan Rachmat Djatnika, Syauqi Bey seorang pujangga Islam  belasan abad yang silam pernah bersenandung dengan syairnya  yang artinya sebagai berikut: “Suatu bangsa akan tegak dengan  tegaknya  akhlak  bangsa itu  dan bangsa itu akan hancur dan musnah  apabila akhlak bangsa itu telah tiada”
Syair  di atas bukan hanya  sekedar  pemanis  kata dan tanpa  dasar. Hal ini  dapat ditelusuri dari historis  umat terdahulu, misalnya hancurnya kaum Nabi Luth, runtuh dan hancurnya suku bangsa  Quraisy.  Kehancuran dan kebinasaan mereka itu  kalau  diamati jelas  ada kaitannya  dengan kemerosotan moral  atau akhlak  dari bangsa itu sendiri.
Maka dengan demikian semakin jelas begitu urgennya akhlak mulia bagi  seseorang, baik ia sebagai individu, maupun kelompok (masyarakat). Lebih jauh hal  ini dapat ditelusuri dari salah satu misi diutusnya Nabi Muhammad SAW, yakni untuk memperbaiki akhlak atau budi pekerti  manusia “ Innamā bu’istu li utammima makārima al  akhlāq” Artinya :  “Sesungguhnya  saya  diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak atau budi pekerti  manusia”.
Memahami makna hadits di atas, maka agama yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW merupakan agama penyempurna budi pekerti atau akhlak. Hal ini dapat dimaklumi karena ketika itu (masa jahiliah), akhlak manusia pada masa itu sudah sangat memprihatinkan, sampai-sampai orang-orang kafir kurais menganggap hina jika melahirkan anak perempuan dan karenanya mesti dibunuh dengan cara menguburnya hidup-hidup.
Lebih jauh Harun Nasution mengomentari hadits di atas, bahwa kata “innama” yang terkandung dalam hadits di atas mengandung maknai “hanya semata-mata”, karena itu tidak untuk hal lain. Terkandung dalam hadits itu bahwa  Nabi Muhammad diutus hanya untuk urusan budi pekerti, moral atau akhlak manusia (Harun Nasutiuon, 1995:443).
Dari uraian singkat di atas, tampak semakin jelas, begitu urgennya akhlak bagi manusia dalam menjani kehidupan ini, jikalau  ia menginginkan dan mendambakan kehidupan serta hubungan  yang harmonis, rukun dan damai, baik dengan sang Pencipta (Allah SWT), dengan manusia dan lingkungannya. Kehidupan yang demikian pada akhirnya akan menuai kesuksesaan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Bagaimana realitas akhlak anak bangsa saat ini? Kondisi akhlak anak bangsa sekarang ini memang tidak semuanya rusak, masih ada yang baik, namun tidak sedikit pula orang yang tidak memperdulikannya lagi. Masih terbayang dipelupuk mata kita, bagaimana tawuran antar warga kampung, antar pelajar SLTP  A dan SLTP B, meningkat lagi antara SMA A dan SMA B, terus meningkat lagi antar fakultas F dan fakultas B. Masih terngiang di telinga kita, bagaimana seorang anak membunuh ibu kandungnya, ayah memperkosa anaknya dan membunuhnya. Amanah dan keadilan sudah tidakdijunjung lagi, terjadi korupsi, manipulasi, kezaliman, pemerasan dan lain-lain.
Melihat kondisi demikian sangat wajar para ulama selalu memperingatklan umatnya,malah sampai sampai bapak Predisden RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono dalam beberapa kesempatan mengingatkan rakyatnya: Ketika menghadiri perayaan Isra Mi’raj, 9Juli 2010. Hari Anak Nasional   23 Juli 2010. Membuka  Munas  MUI. Memberikan samabutan pada acara Peringatan Nuzulul Quran 25 Juli 2010 mengatakan “…Kondisi akhlak anak bangsa sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Bahkan dengan tegas dinyatakan bahwa kondisi akhlak bangsa ini sudah mencapai tingkat tragedi yang mengerikan”. Selanjutnya beliau mengajak komponen anak bangsa “  Saatnya Indonesia kembali kepada peradaban Islam
Dari prolog singkat di atas diharapkan menjadi renungan bagi mahasiswa untuk menjadikan diri sebagai insan cendikiawan yang memiliki akhlak mulia sehingga dapat ditiru dan diteladani oleh masyarakat sekitarnya.bukan malah menjadi cibiran dan beban masyarakat dan pemerintah.
B. Pengertian Akhlak
Sebagai upaya untuk mengamalkan akhlak mulia, maka  sangat penting diketahui  apa itu pengertian akhlak, beberapa istilah lain atau sinonim dari Akhlak, apa saja yang menjadi obyek kajian ilmu Akhlak itu, ukuran apa yang digunakan untuk mengukur baik dan buruk, bisakah akhlak itu dibentuk, dan kalau bisa dibentuk, bagaimana pola atau metode pembentukannya, apa yang dimaksud Akhlak Mahmudah dan Mazmumah serta apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan Akhlak. Inilah kiranya yang menjadi uraian atau bahasan dalam bagian-bagian selanjutnya.
Sebelum diketengahkan definisi akhlak menurut beberapa ahli, alangkah baiknya terlebih dahulu dikemukakan asal kata dari akhlak itu sendiri, sehingga dengan demikian diharapkan dapat mempermudah untuk memahami pengertian akhlak yang akan diuraikan pada paparan selanjutnya. Kata Akhlak berasal dari bahasa arab yang sudah di Indonesiakan. Kata akhlāq                adalah jama’ taksir dari kata khuluqun.  Dalam Kamus Al Munjid, Khulqun (baca Khulq) bisa bermakna budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at. (Luis Ma’luf: tth: 194). Abuddin Nata dalam bukunya menjelaskan kata Akhlāq atau khuluq, kedua-duanya pemakaiannya dijumpai dalam Al Qur’an maupun Hadits Nabi. (Abuddin Nata,1996: 2). Misalnya dalam surah Al Qalam ayat 4 yang artinya : “ Dan sesungguhnya kamu  benar-benar berbudi pekerti yang agung). Selain dalam surah Al Qalam di atas, kata khuluq juga ditemui dalam surah Asy- Syu’arā ayat 137 yang artinya: “(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”. Disamping kata khuluq ditemui dalam Al Qur’an, maka kata khuluq juga ditemui dalam Hadits Nabi, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban berikut ini : “Mā khaira mā ‘ṭā al insāna qāla  khluqa hasana”. Artinya :  Apakah sesuatu yang lebih baik yang diberikan kepada manusia ? Rasul menjawab, yaitu akhlak yang baik (HR. Ibnu Hibban). Selanjutnya dalam hadits lain : Ayyu al mu’minῑna akmal al imānā qāla ahnanuhum khuluqā.Artinya : Siapakah diantara orang mukmin yang paling sempurna imannya? Rasul menjawab, yaitu orang yang paling baik akhlaknya (HR Tabrani). Kemudian  dalam hadits lain juga ditemui kata akhlak, misalnya : Innamā bu’istu li utammima makārima al  akhlāq Artinya :  bahwasanya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan budi pekerti (HR. Ahmad). Demikian sekilas asal usul dari perkataan akhlak, berikut ini akan dipaparkan definisi akhlak menurut beberapa ahli dibidangnya. 1.      Al Ghazali dalam kitab munomentalnya Ihyā ulumiddῑn, menjelaskan,  akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. 2.      Muhammad  ibn ‘Ilan Ash Shidieqy yang dikutip oleh Mahyuddin menyebutkan, akhlak ialah suatu pembawaan dalam diri manusia, yang dapat  menimbulkan perbuatan baik, dengan cara yang mudah (tanpa didorong orang lain).(Mahyuddin, 2003: 4).  3.      Ibnu Maskawaih, seperti yang dikutip Abuddin Nata menjelaskan, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa melakukan pemikiran dan pertimbangan.(Abuddin Nata, 1996: 3). 4.      Ahmad Amin dalam bukunya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan akhlak itu ialah kebiasaan kehendak (Ahmad Amin, 1975: 3). Hal  Ini mengandung makna bahwa kehendak itu apabila selalu dibiasakan akan sesuatu maka kebiasaan itu dinamai dengan akhlak. Misalnya kehendak menjadi seorang yang suka memberi, hal itu apabila selalu dibiasakan, maka kebiasaan itu ialah akhlak dermawan. Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa akhlak itu, tidak akan terwujud jika hanya dilakukan secara temporer, atau kadang-kadang saja, akhlak akan terwujud jika dilakukan secara terus menerus atau kontinyu, sehingga perbuatan itu muncul tanpa paksaan, lantaran sudah terbiasa melakukannya, akhirnya muncul dengan spontan, tanpa memerlukan pemikiran. C. Istilah Lain atau Sinonim dari Akhlak Ada beberapa istilah lain selain kata akhlak, seperti moral, etika dan susila. Berikut ini akan diuraikan secara singkat istilah tersebut. 1.      Moral. Moral berasal dari bahasa latin, yakni Mores, yaitu jamak dari kata Mos  yang berarti adat kebiasaan (Asmaran, 1999: 8). WJS Peorwadarminta dalam Kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan moral adalah penentuan baik dan buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. (WJS Peorwadarminta, l988: 654). Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai baik atau buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa si A itu bermoral, berarti si a itu memiliki tingkah laku yang baik, selanjutnya jika dikatakan si A itu amoral, berarti si A itu memiliki tingkah laku yang tidak baik. Adapun obyek dari moral adalah membahas tentang perbuatan manusia, selanjutnya menentukan posisi perbuatan tersebut, apakah perbuatan itu baik atau buruk. Tolok ukur dalam menentukan baik dan buruk menurut moral adalah berdasarkan norma-norma yang tumbuh dan berkembang serta berlaku di masyarakat. Maka dengan demikian ukuran penentuan baik dan buruk menurut moral adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat itu sendiri. Memperhatikan tolok ukur penentuan baik dan buruk seperti diuraikan di atas, maka dapat dipahami bahwa moral sifatnya terbatas, ia tidak bersifat universal, karena bisa jadi adat istiadat yang dipandang baik dan terpuji bila dilakukan oleh  suatu masyarakat, namun dipandang tabu dilakukan oleh masyarakat lainnya. 2. Etika Kata etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus Umum bahasa Indonesia disebutkan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Ahmad Amin mengartikan etka adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.( Ahmad Amin, 1983: 3). Ki Hajar Dewantara, mengartikan etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. Dari  pengertian di atas dapat dipahami bahwa etika setidaknya berhubungan dengan empat hal. Pertama; dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan manusia. Kedua, dilihat dari segala sumbernya, etika bersumber dari akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak pula universal, ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan dan kelebihan.Ketiga dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan manusia, yaitu apakah perbuatan itu akan dinilai baik, buruk, mulia, hina dsb. Dengan demikian etika lebih bperan  sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan manusia. Dengan bahasa lain peran etika dalam hal ini tampak seperti wasit dan bukan sebagai pemain. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan ketentuan dan kondisi zaman. 3. Susila Susila berasal dari bahasa sansekerta, yakni su dan sila. Su berarti baik, bagus dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Kata susila selanjutnya digunakan untuk arti sebagai aturan hidup yang lebih baik. Orang yang susila adalah orang yang berkelauan baik, sebaliknya asusila adalah orang yang berkelakuan buruk. Selanjutnya kata susila juga dapat berarti sopan, beradab, baik budi bahasanya. Maka dengan demikian susila merupakan pedoman untuk membimbing agar orang berjalan dengan baik juga berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik  oleh masyarakat. Melihat ukuran baik dan buruk menurut susila seperti uraian di atas, tampaknya tidak berbeda dengan tolok ukur yang digunakan moral, karenanya susila juga tidak bersifat universal.
D. Obyek Kajian Akhlak
Ahmad Amin dalam bukunya (Etika ) Ilmu Akhlak menyebutkan bahwa yang menjadi obyek kajian ilmu akhlak adalah  menyelidiki  segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukumnya, apakah baik atau buruk. Muhammad Al Ghazali menjelaskan bahwa obyek kajian ilmu akhlak itu meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perorangan), maupun kelompok (masyarakat). Perbuatan manusia dapat dikelompokkan menjadi dua . Pertama perbuatan yang lahir dengan kehendak dan sengaja. Kedua Perbuatan yang lahir tanpa kehendak dan tidak sengaja. Jenis perbuatan pertama termasuk perbuatan akhlak dan menjadi obyek kajian ilmu akhlak. Contoh orang yang membangun rumah sakit, membangun sekolah, membangun jembatan dsb atau seseorang yang mencuri sesuatu. Perbuatan ini dapat dinilai baik atau buruk, karena ia lahir dengan kehendak dan disengaja melaksanakannya oleh sipelaku. Jenis perbuatan kedua, yang tidak menjadi okyek kajian ilmu akhlak. Contoh memejamkan mata dengan tiba-tiba ketika berpindah dari gelap ke terang. Perbuatan ini tidak dapat dinilai baik dan buruk, karena ia merupakan gerak reflek yang lahir tanpa kehendak dan disengaja. Orang yang matanya suka berkedip, ini juga tidak bisa dinilai baik dan buruk, semakin banyak kedipannya semakin baik misalnya. Atau gerak reflek tangan ketika  terkena api atau terkena sengatan listrik atau misalnya bernafas. Ini semua adalah perbuatan manusia, namun tidak dapat diukur dengan baik dan buruk atau dikategorikan perbuatan akhlak. Jadi cakupan akhlak hanya pada perbuatan-perbuatan yang menjadi kebiasaan manusia yang dapat diukur dengan baik dan buruk, baik perbuatan bathiniah maupun lahiriah. Misalnya, kebiasaan berderma, rendah hati, suka mencerca, suka berdusta dan lain sebagainya. Jika perbuatan baik yang dibiasakannya, maka bererti ia memiliki akhlak terpuji, sebaliknya tidak perbuatan yang tidak baik yang selalu dibiasakannya, maka ia memiliki akhlak tercela. D.Tujuan Akhlak Setelah megetahui apa arti  dan obyek dari akhlak itu, maka tidak mustahil muncul suatu pertanyaan. Misalnya apa tujuan yang ingin dicapai oleh akhlak atau oleh orang yang mempraktekkan akhlak (mahmudah) dan meninggalkan akhlak mazmumah? Tujuan final yang akan diperoleh manusia dengan mempraktekkan akhlak (yang ingin dicapai oleh akhlak) adalah kebahagiaan/ sa’adah/ heppiness. Apa itu kebahagiaan ? Ada bermacam-macam rumusan mengenai kebahagiaan. 1.      Kebahagiaan sama dengan kelezatan (Hedonism). Paham ini berpendapat hendaknya manusia itu mencar kelezatan saja., karena setiap aktivitas tidak sepi dari kelezatan. Apabila disuruh memiliki diantara beberapa perbuatan, pilih yang banyak mengandung kelezatan. (EPICURUS) (Asmaran, 1992: 14).. 2.      Prof Klinovitch, The heppiness of man is not God, patriotisme, beauty, justise, family, freinship and work. Man heppiness is in sex, because man and sex are indentical. Kebahagiaan seseorang tidak karena percaya kepada tuhan, sifat patriotik, keadilan, karena kecantikan keluarga, persaudaraan dan pekerjaan. Tetapi kebahagiaan itu terletak pada pemuasaan safsu (sex), sebab antara manusia  dan nafsu (sex) adalah identik. (Ismail Thaib, 1985: 32). 3.      Ibnu Maskawaih, berpendapat kebahagiaan akan dapat dicapai apabila terkumpul dua hal pada diri seseorang. Pertama kebijaksanaan yang bersifat penalaran dan yang kedua kebijaksanaan yang bersifat kerja.  Dengan kebijaksanaan nalar akan melahirkan pandangan-pandangan yang sehat dan dengan bersifat kerja akan memperoleh keadaan utama yang akan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik. 4.      Al Ghazali, Kebahagiaan adalah kebaikan tertinggi. Kebaikan-kebaiakan dalam kehidupan semuanya bersumber pada : a. Kebaikan jiwa (ilmu, bijaksana, suci diri, berani dan adil); b. Kebaikan dan keutamaan badan (sehat, kuat, tampan dan usia panjang); c. Kebaikan eksternal (harta, keluarga,  pangkat dan nama baik); d. Kebaikan atau keutamaan bimbingan (taufiqiyyah)(petunjuk Allah, bimbingan, petunjuk jalan lurus-Nya dan istiqamah) 5.      Ada juga yang berpendapat kebahagiaan itu adalah bila seseorang merasa puas dengan nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya (qana’ah). Pandangan mengenai kebahagian di atas, tampak beragam, kalau dilihat konsep yang diuraikan di atas, dapat dikelompoknya kepada dua varian, yakni varian yang sudut pandangannya agamis (Islam) dan varian kedua mereka yang memiliki sudut pandang materialis, hedonis dan malah atheis (non Islam).

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

MODUL 02 KELAS X-1 MASA PRA AKSARA/ PRASEJARAH (Bersama: Drs. Zulpikar Kh)

MODUL 3 SEJARAH (X-2) Asal Usul dan Persebaran Manusia di Kepulauan Indonesia (Origin and Dispersion of People in Indonesian Archipelago)

Sistem Tanam Paksa dan Dampaknya