SUMPAH PEMUDA
SEJARAH SINGKAT SUMPAH PEMUDA
Kongres Pemuda Indonesia - Sumpah Pemuda merupakan sumpah setia dari hasil rumusan
kerapatan pemuda-pemudi Indonesia atau yang dikenal dengan Kongres Pemuda I dan
Kongres Pemuda II. Nah, melalui kongres itulah kita bisa mengenal Sumpah
Pemuda.
Kongres Pemuda I berlangsung di Jakarta, 30 April-2 Mei 1926. Di kongres
itu, mereka membicarakan pentingnya persatuan bangsa bagi perjuangan menuju
kemerdekaan. Pada 27-28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia kembali mengadakan Kongres
Pemuda II dan tepat pada 28 Oktober, seluruh peserta membacakan Sumpah
Pemuda sehingga momen bersejarah tersebut ditetapkan sebagai Hari Sumpah
Pemuda.
Rumusan Sumpah Pemuda
Rumusan itu ditulis Mohammad Yamin
di sebuah kertas saat mendengarkan pidato dari Mr.Sunario pada hari terakhir
kongres. Inti dari isi Sumpah Pemuda itu adalah Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu
Bahasa. Inilah yang selalu menjiwai pemuda-pemudi Indonesia dalam merebut dan
mempertahankan serta mengisi kemerdekaan Indonesia.
Isi Sumpah Pemuda
Pertama: Kami Putra dan Putri
Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua: Kami Putra dan Putri
Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami Putra dan Putri
Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Tokoh yang terlibat
Banyak tokoh yang menjadi peserta
dalam Kongres Pemuda I dan II. Mereka datang mewakili berbagai organisasi
pemuda yang ada saat itu. Di antaranya ada yang menjadi pengurus, seperti
Soegondo Djojopoespito dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) sebagi
ketua dan wakilnya, RM Djoko Marsaid (Jong Java).
Sementara Mohammad Yamin dari Jong
Sumateranen Bond sebagai sekretaris dan bendaharanya Amin Sjarifuddin (Jong
Bataks Bond). Mereka juga dibantu Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond),
R Katja Soengkana (Pemuda Indonesia), Senduk (Jong Celebes), Johanes Leimena
(Jong Ambon) dan Rochjani Soe’oed (Pemuda Kaum Betawi).
Sumpah Pemuda pun kemudian menjadi
senjata ampuh untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Dengan semangat
persatuan dan kesatuan bangsa, kesadaran para pemuda Indonesia saat itu pun
semakin kuat karena mereka tidak berjuang sendiri. Maka tak heran, Sumpah
Pemuda adalah salah satu tonggak sejarah kemerdekaan Indonesia.
Merah Putih tak akan berkibar 64
tahun yang lalu tanpa peran petugas pengibarnya. Jika sudah demikian, tak akan
pula bangsa ini menikmati kemerdekaannya.Tidak banyak yang mengenal sosok
pengibar Sang Saka Merah Putih saat dibacakannya teks Proklamasi pada 17
Agustus 1945. Padahal, fotonya mudah ditemui di berbagai buku sejarah. Pria
bercelana pendek itu tak lain Ilyas Karim.
Ilyas kini aktif sebagai Ketua
Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia, sebuah perkumpulan veteran, merupakan
satu-satunya saksi sejarah detik-detik proklamasi yang masih hidup.
Kehidupan Ilyas yang pernah andil
dalam berbagai misi penumpasan pemberontakan kurang mendapat perhatian
pemerintah. Ia memang tidak mencari pengakuan penuh, tapi itu sudah seharusnya
didapat pria yang juga pernah ikut dalam misi perdamaian Garuda II di Kongo,
pada 1961 silam. “Dia (pemerintah) tahu, kami berjuang,” ujar Ilyas kecewa.
Meski demikian, Letnan Kolonel
Purnawirawan ini tak ingin menuntut banyak. Ilyas hanya ingin menghabiskan masa
tuanya dengan melihat kemerdekaan rakyat Indonesia. Ia berharap, generasi muda
mau menghargai perjuangan para pahlawan dengan mengisi hidup lebih baik lagi.
Di usianya yang ke-81, pria sepuh
itu masih tetap menikmati hidupnya di pinggir rel Kalibata, Jakarta Selatan.
Pria yang kini menderita stroke mata itu seharusnya bisa hidup lebih layak.
Sebab, pria bernama Ilyas Karim adalah pelaku sejarah penting. Dialah pengibar
pertama Sang Saka Merah Putih pada 17 Agustus 1945 lalu.
Anda tentu pernah melihat foto
upacara pengibaran Bendera Merah Putih pertama kali di Jalan Pegangsaan Timur
Jakarta Pusat. Di foto itu tampak dua orang pengibar bendera yang dikelilingi
oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ibu Fatmawati, dan SK
Trimurti. Pemuda pengibar bendera yang bercelana pendek itulah Ilyas Karim.
Saat ini Ilyas tinggal di sebuah
rumah sederhana di Jl. Rawajati Barat, Kalibata, Jakarta Selatan, bersebelahan
dengan rel kereta api, Selasa (12/8/2008) kemarin, Ilyas masih tampak bugar.
Meski gerak badannya tidak segesit dulu, namun dia tidak tampak bungkuk ataupun
tergopoh ketika berjalan.
Ilyas menceritakan pengalamannya
sebagai pengibar bendera Merah Putih pertama di republik ini. Waktu itu, Ilyas
adalah seorang murid di Asrama Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Menteng
Jakarta Pusat. Malam hari sebelum dibacakan proklamasi kemerdekaan RI, Ilyas
beserta 50-an teman dari API diundang ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No.
56.
“Katanya ada acara gitu,” tutur
Ilyas.
Saat berkumpul di rumah Soekarno
itulah Sudanco (Komandan Peleton) Latief menunjuknya untuk menjadi pengibar
bendera di acara proklamasi kemerdekaan keesokan harinya. Satu orang pengibar
yang lain yang ditunjuk adalah Sudanco Singgih, seorang tentara PETA. “Saya
ditunjuk karena paling muda. Umur saya waktu itu 18 tahun,” kata Ilyas.
Ilyas menceritakan pengalaman itu
dengan penuh semangat. Matanya yang harus diplester agar tidak terpejam tampak
berbinar. Ilyas memang menderita stroke mata. Dokter menganjurkannya untuk
memlester kelopak matanya agar tidak terpejam. Sudah berbagai upaya pengobatan
ditempuhnya namun belum juga membuahkan hasil.
Meski dengan sakitnya itu, Ilyas
tetap aktif beraktivitas. Sejak tahun 1996 dia menjabat sebagai Ketua Pengurus
Pusat Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia yang memiliki cabang di 14 propinsi,
antara lain di Medan, Riau, Jambi, Palembang, Banten, dan Ambon.
“Saya akan diganti tahun 2009
nanti,” kata Ilyas.
Yayasan itu sendiri bergerak di
bidang sosial. Kegiatannya antara lain penyantunan anak yatim, pembangunan
rutempat ibadah, dan penyantunan orang jompo.
Ilyas lahir di Padang, Sumbar. Dia
sekeluarga baru menetap di Jakarta pada 1936. Ayahnya dulu seorang camat di
Matraman. Di zaman penjajahan Jepang, ayahnya dibawa ke Tegal dan dieksekusi
tentara Jepang. Sejak saat itu, Ilyas menjadi yatim.
Setelah pengibaran Sang Saka Merah
Putih itu, Ilyas kemudian menjadi tentara. Pada 1948, Ilyas dan sejumlah pemuda
di Jakarta diundang ke Bandung oleh Mr Kasman Singodimejo. Di Bandung, dibentuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kesatuan tentara ini kemudian ini nama Siliwangi.
Nama Siliwangi merupakan usul dari Ilyas.
Sebagai tentara, Ilyas pernah
diterjunkan di sejumlah medan pertempuran di berbagai daerah, termasuk
ditugaskan sebagai pasukan perdamaian di Libanon dan Vietnam. Pada 1979, Ilyas
pensiun dengan pangkat letnan kolonel. Kehidupannya mulai suram, karena dua
tahun kemudian dia diusir dari tempat tinggalnya di asrama tentara Siliwangi,
di Lapangan Banteng, Jakpus. Sejak saat itu hingga saat ini dia tinggal di
pinggir rel KA.
Pada kongres tersebut untuk pertama
kalinya digunakan hiasan merah – putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna
bendera kebangsaan dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan lagu
kebangsaan Indonesia Raya.
Pada saat kongres pemuda
berlangsung, suasana merah – putih telah berkibar di dada peserta, yang
dibuktikan dengan panitia kongres mengenakan “kokarde” (semacam tanda panitia)
dengan warna merah putih yang dipasang di dada kiri. Demikian juga pada anggota
padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan dasi berwarna
merah – putih. Kegiatan pandu, suatu organisasi kepanduan yang bersifat
nasional dan menunjukkan identitas kebangsaan dengan menggunakan dasi dan
bendera merah – putih.
Perlu disadari bahwa Polisi Belanda
(PID) termasuk Van der Plass tokohnya sangat ketat memperhatikan gerak – gerik
peserta kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi diri demi
kelangsungan kongres. Suasana merah putih yang dibuat para pandu menyebabkan
pemerintah penjajah melarang dilangsungkannya pawai pandu, khawatir pawai bisa
berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan massa.
Pengibaran Bendera Merah-putih dan
lagu kebangsaan Indonesia Raya dilarang pada masa pendudukan Jepang, karena ia
mengetahui pasti bahwa hal tersebut dapat membangkitkan semangat kebangsaan
yang nantinya menuju pada kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1944 lagu Indonesia
Raya dan Bendera Merah-putih diizinkan untuk berkibar lagi setelah kedudukan
Jepang terdesak. Bahkan pada waktu itu pula dibentuk panitia yang bertugas
menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera merah-putih.
Detik-detik yang sangat bersejarah
adalah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Setelah pembacaan teks proklamasi, baru dikibarkan bendera merah-putih, yang
kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Bendera yang dikibarkan tersebut
kemudian ditetapkan dengan nama Sang Saka Merah Putih.
Kemudian pada 29 September 1950
berkibarlah Sang Merah Putih di depan Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai
pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia oleh badan dunia.
Bendera merah-putih mempunyai
persamaan dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah Negara kecil di bagian
selatan Prancis, tapi masih ada perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako di bagian
tengah terdapat lambang kerajaan dan ukurannya dengan perbandingan 2,5 : 3,
sedangkan bendera merah putih dengan perbandingan 2 : 3 (lebar 2 meter, panjang
3 meter) sesuai Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958. Kerajaan Monako
menggunakan bendera bukan sebagai lambang tertinggi karena merupakan sebuah
kerajaan, sedangkan bagi Indonesia bendera merah putih merupakan lambang
tertinggi.
Comments
Post a Comment