IBU KITA KARTINI (Konfrontasi Cinta vs Adat)



 KARTINI                                                                                                           (Ibuku Sayang Ibuku Malang: Sebuah Kajian Singkat Tentang Pahlawan Emansipasi)

Tanggal 21 April, seperti biasa, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Namun, menjelang peringatan itu, banyak perdebatan yang bermunculan seputar sosok dan perjuangan Kartini. Tidak sedikit yang menggugat kepahlawanan Kartini.
Saya membela Kartini bukan karena fanatisme buta. Namun, banyak penggugat Kartini, termasuk banyak sejarawan, mengeritik Kartini terlepas dari konteks sosial-historisnya. Akibatnya, “pengadilan” mereka terhadap Kartini sangat berat sebelah dan tidak adil.
Pertama, Kartini dianggap hanya bisa curhat melalui surat untuk mengekspresikan protesnya. Bagi pengusung pendapat ini, perlawanan sejati itu adalah menggerakkan massa dan mengangkat senjata. Sedangkan kerta-kertas dan pena dianggap bukan perlawanan yang begitu penting.
Menurut saya, kita harus mengerti konteks sosial yang melahirkan Kartini. Kartini lahir di tengah dunianya kaum pribumi yang masih dikangkangi oleh feodalisme yang sakit-sakitan. Lingkungannya adalah kabupaten yang dikurung oleh tembok tebal dan tinggi.
Kartini dikungkung oleh tradisi. Adat feodal telah merintangi, bahkan menolak keras, Kartini bergaul dengan rakyat banyak. Tapi, meskipun begitu, Kartini selalu mengasosiasikan dirinya dengan rakyat banyak itu. Kepada teman Belandanya, Estelle Zeehandelaar, Kartini menulis, “..disebut bersama Rakyatku; dengannyalah dia akan berada untuk selama-lamanya. Aku sangat bangga, Stella, disebut satu nafas dengan Rakyatku.”
Ayah Kartini, RM Ario Sosroningrat, dikecam oleh lingkungan sekitarnya karena telah memberikan pendidikan dasar pada Kartini. Jaman itu, memberikan “pengajaran” kepada perempuan dikategorikan pembangkangan terhadap adat-istiadat.
Kartini sangat terbatas untuk mengakses dunia luar. Menurut Rudolf Mrazek dalam bukunya, Engineers of Happy Land, Kartini hanya sekali dalam seumur hidupnya bepergian dengan kereta. Itupun sudah meninggalkan kesan mendalam bagi Kartini. Praktis, Kartini banyak berkenalan dengan dunia luar melalui bacaan dan kertas-kertas.
Kemudian konteks jaman yang melahirkan Kartini. Jaman itu orang belum mengenal organisasi atau perjuangan menggunakan organisasi. Jadi, sulit membayangkan bahwa Kartini dipaksa harus mengorganisasikan orang untuk melawan, sementara jamannya belum mengenal organisasi.
Pada tahun 1906, setahun sebelum Kartini meninggal, Dokter Wahidin berkeliling keseluruh Pulau Jawa untuk mengajak orang berorganisasi. Hasilnya: nihil. Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya, Jejak Langkah, menggambarkan Dokter Wahidin seperti “pengembara yang berteriak-teriak di tengah padang pasir”.
Memang, pada tahun 1906, Tirto Adhisuryo berhasil membangun organisasi bernama “Sarekat Priyayi”. Tapi, seperti digambarkan Pram di “Jejak Langkah”, organisasi itupun layu sebelum berkembang. Kemudian, pada tahun 1908, barulah mahasiswa-mahasiwa STOVIA mendirikan organisasi bernama “Boedi Oetomo”.
Tirto sendiri, sebelum membangun organisasi, mengawali perjuangan dengan pencarian identitas, termasuk menumpahkan kegelisahannya, dengan menulis di koran-koran Belanda. Belakangan, setelah mengetahui watak koran kolonial itu (pro-sindikat gula) dan mendengar anjuran kawan-kawannya (Kommer dan Ter Haar), Tirto merintis penerbitan koran sendiri: Medan.
Saya sendiri cenderung membagi tahapan perjuangan nasional itu menjadi tiga tahap: pertama, tahap pencarian identitas dan penyemaian gagasan; kedua, tahap berorganisasi; ketiga, tahap perlawanan (pemogokan, aksi massa, rapat akbar, pemberontakan, dll).
Sayang, usia Kartini sangat singkat: 25 tahun. Ia tak sempat mengecap masa berorganisasi. Mungkin kalau Kartini besar dan matang di era 1910-an atau 1920-an, mungkin ceritanya akan lain.
Selain itu, menurut saya, tak relevan membandingkan perjuangan Kartini dan Cut Nyak Dien atau Martha Cristina Tiahahu. Perlawanan Kartini, sekalipun masih sebatas gagasan, telah mewakili kepentingan yang lebih luas dan cita-cita yang lebih tinggi: kesetaraan Hindia dan Belanda. Ia tidak melawan karena motif agama atau karena privilege (kehormatan) kebangsawanannya terancam. Kartini juga sudah menerobos batas-batas etnisitas dan primordialisme.
Kedua, anggapan bahwa Kartini adalah proyek rekayasa sejarah oleh kolonialisme Belanda. Argumentasi ini pula yang digunakan oleh  Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, seorang guru besar di Universitas Indonesia, untuk menggugat kepahlawanan Kartini.
Pram sebetulnya sudah membantah anggapan itu dalam pengantar bukunya “Panggil Aku Kartini Saja”. Menurut Pram, tudingan bahwa Kartini produk Belanda lahir dari anakronisme historik. Nasionalime awal di negara jajahan, kata Pram, memang hasil perkenalan antara intelektual negeri jajahan dengan dunia barat yang menjajahnya. Maklum, sampai saat itu, nasionalisme masih merupakan pengertian dan istilah yang khas barat.
Tidak mengherankan, kata Pram, apabila pada taraf awal kebangkitan kesadaran nasional itu, dapat dipastikan adanya kerjasama antara kaum intelektual di negeri jajahan dengan barat. Namun, seiring dengan semakin banyaknya kaum intelektual dan berkembangnya kesadaran nasional, kerjasama itu pun ditinggalkan dan berubah menjadi perlawanan.
Tirto Adhisuryo sendiri, yang sering disebut “Sang Pemula” dalam perjuangan nasional, dianggap anak didikan Gubernur Jenderal Van Heutsz, orang yang terkenal kekejamananya saat “Perang Aceh”. Alimin dan Musso, dua bapak komunisme Indonesia, juga dianggap anak didikan Prof. Dr. Hazeu, seorang penasehat negara Jajahan Belanda.
Ide-ide nasionalisme Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan jaman pencerahan (Enlightenment atau Aufklarung) di barat. Ide-ide pencerahan itu juga banyak menyelinap melalui proyek kaum etisi. Soekarno, misalnya, sangat dipengaruhi oleh ide-ide revolusi Perancis. Ia sering bercerita tentang Robespierre dan Marat. Sesekali juga Soekarno bercerita tentang pemikiran Rousseau dan Thomas Jefferson. Soekarno juga berkenalan dengan marxisme di bangku sekolah melalui guru-gurunya yang berkebangsaan Belanda.
Ketiga, banyak penggugat Kartini tidak pernah membaca tuntas pikiran-pikiran Kartini. Yang selalu disoroti adalah “aktivitas surat-menyuratnya”, bukan gagasan-gagasan yang ditorehkannya. Padahal, melalui surat-surat itu, Kartini berbicara banyak hal: kolonialisme, pendidikan, kesenian, jurnalisme, sastra, perkembangan teknologi, dan lain-lain.
Satu hal yang menarik, bahwa pemikiran Kartini banyak mempengaruhi pemikiran tokoh-tokoh pergerakan di masa awal. Pram punya pendapat menarik soal kiprah Kartini dalam menyemai tumbuhnya kesadaran nasional. Dalam pengantar bukunya, Panggil Aku Kartini Saja, Pram menulis: “Kartini adalah pemula dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia pertama kali timbul di Demak – Kudus – Jepara sejak pertengahan kedua abad yang lalu (Abad 19). Ditangannya kemajuan itu dirumuskan, diperincinya, dan diperjuangkannya, untuk kemudian menjadi milik nasion Indonesia. Dikatakan Indonesia, karena, sekalipun ia lebih sering bicara tentang Jawa, ia pun mengemukakan keinginannya buat seluruh Hindia—Indonesia dewasa ini.”
Jadi, kalau bicara nasionalisme Indonesia, orang tak boleh lupa dengan Kartini. Dan, anda harus ingat, nasionalisme itu pun awalnya memang hanyalah gagasan dan kemudian berkembang menjadi gerakan.
Masalahnya, sejak orde baru hingga sekarang, Kartini lebih banyak diperkenalkan hanya sebagai tokoh emansipasi perempuan, sedangkan pemikirannya yang lebih luas dipendam.



Comments

  1. Aku yakin Kartini tidak pernah minta dilahirkan...dan Aku juga yakin Kartini tidak pernah meminta untuk disebut PAHLAWAN....Apapun yang dilakukan Kartini hanyalah sebuah keinginan yang tulus dan luhur....BERCITA-CITA AGAR KAUMNYA DIHARGAI DAN DIHORMATI.......Selamat jalan ibuku...Semoga kau beristirahat dengan tenang...amin

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

MODUL 02 KELAS X-1 MASA PRA AKSARA/ PRASEJARAH (Bersama: Drs. Zulpikar Kh)

MODUL 3 SEJARAH (X-2) Asal Usul dan Persebaran Manusia di Kepulauan Indonesia (Origin and Dispersion of People in Indonesian Archipelago)

Sistem Tanam Paksa dan Dampaknya