MARHAENISME, IDEOLOGI SOEKARNO YANG PEDULI RAKYAT KECIL
Pengertian Ideologi
Istilah ideologi berasal dari kata Idea yang berarti
gagasan, konsep, pengertian dasar; dan logos yang berarti ilmu. Kata Idea
berasal dari kata bahasa Yunani eidos yang berarti bentuk. Di samping itu ada
kata idein yang berarti melihat. Maka secara harfiah, ideologi berarti ilmu
tentang pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari, kata idea
disamakan artinya dengan cita-cita. Cita-cita yang dimaksud adalah cita-cita
yang bersifat tetap yang harus dicapai sehingga cita-cita yang bersifat tetap
itu sekaligus merupakan suatu dasar, pandangan atau faham (Kaelan, 2007: 152).
Memang pada hakikatnya, antara dasar dan cita-cita itu sebenarnya dapat
merupakan satu kesatuan. Dasar ditetapkan karena atas suatu landasan, asas atau
dasar yang telah ditetapkan pula. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian
tentang ide-ide, pengertian dasar, gagasan dan cita-cita.
Bilamana ditelusuri secara historis, Pranarka (1987 dalam
Kaelan, 2007: 152) menjelaskan, bahwa istilah ideologi pertama kali dipakai dan
dikemukakan oleh seorang Perancis yang bernama Destutt de Tracy pada tahun
1976. Seperti halnya Leibniz, de Tracy mempunyai cita-cita untuk membangun
sistem pengetahuan. Apabila Leibniz menyebutkan impiannya sebagai “One great
system of truth”, di mana tergabung segala cabang ilmu dan segala kebenaran
ilmiah, maka de Tracy menyebutkan Ideologie, yaitu science of ideas, suatu
program yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat
Perancis. Namun Napoleon mencemoohkannya sebagai suatu khayalan belaka yang
tidak akan menemukan kenyataan.
Superstruktur masing-masing masyarakat, mengembangkan apa
yang disebut sebagai ideologi, seperangkat keyakinan resmi atau doktrin agama
yang membenarkan keyakinan resmi atau doktrin agama yang membenarkan keyakinan
resmi atau doktrin agama yang membenarkan eksistensi kelas yang berkuasa. Marx
juga pernah mengartikan ideologi sebagai “a false consciouness”, dengan kata
lain sebuah pandangan dunia yang terdistorsi oleh kepentingan kelas penghisap
dan dibangun untuk menjustifikasi kepentingan kelas tersebut (Hartisekar &
Isjani Abadi, 2001: 27).
Perhatian kepada konsep ideologi menjadi berkembang lagi
antara lain karena pengaruh Karl Marx. Ideologi menjadi vokabuler penting di
dalam pemikiran politik maupun ekonomi. Karl Marx mengartikan ideologi sebagai
pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas
sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi. Dalam artian ini,
ideologi menjadi bagian dari apa yang disebutnya Uberbau atau suprastruktur
yang didirikan di atas kekuatan-kekuatan yang memiliki faktor-faktor produksi
yang menentukan coraknya, dan oleh karena itu kebenarannya bersifat relatif dan
semata-mata benar hanya untuk golongan tertentu. Dengan demikian, maka ideologi
merupakan keseluruhan ide yang relatif karena justru mencerminkan kekuatan
lapisan.
Soemargono (8 dalam Kaelan, 2007: 153) menjelaskan, bahwa
seperti halnya filsafat, ideologi pun memiliki pengertian yang berbeda-beda.
Begitu pula dapat ditemukan berbagai definisi, batasan pengertian tentang
ideologi. Hal itu antara lain disebabkan juga oleh dasar filsafat apa yang
dianut karena sesungguhnya ideologi itu bersumber kepada suatu filsafat
tertentu. Pengertian ideologi secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan
gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang
menyeluruh dan sistematis yang menyangkut:
a. Bidang
politik
b. Bidang sosial
c. Bidang kebudayaan
d. Bidang
keagamaan
Sejarah Lahirnya Marhaenisme
Sewaktu masih sekolah di HBS, Soekarno membaca apa saja yang
bisa diperoleh. Barangkali baru di Bandung Soekarno bisa memilah-milah
pengetahuan yang ia peroleh dari bacaannya di Surabaya. Orang yang membantunya
dalam hal ini adalah D.M.G. Koch. Marcel Koch yang dilahirkan pada 1881 tumbuh
dalam keluarga Marxis. Tetapi lambat laun beralih menganut aliran sosialisme
yang demokratis dan menjadi anggota ISDP. Tahun 1925 Koch mendapat pekerjaan
sebagai pengelola perpustakaan Departemen Perusahaan-perusahaan Negara. Sesudah
berkenalan dengan Koch, Soekarno sering mengunjunginya di rumahnya di jalan
Papandayan yang tidak jauh dari Regentsweg (Giebels, 2001: 58).
Pandangan Marxis Soekarno didasarkan pada ideologi Marxis
Kautsky. Karl Kautsky diakui oleh dunia internasional sebagai seorang penafsir
ideologi Marxis. Pengakuan demikian diberikan kepada Kautsky, yang di masa
mudanya di London berkenalan pribadi dengan Marx dan Engels, karena ia telah
menulis sejumlah besar buku dan artikel yang menjelaskan ajaran Marx dengan
tuntas dan mudah dimengerti. Mula-mula Kautsky adalah seorang Marxis yang
revolusioner, tetapi di kemudian hari dengan tetap berpegang pada ajaran Marx
dan Engels, ia menjadi seorang sosialis evolusioner. Kemudian oleh Soekarno
ideologi Marxisme evolusioner dari Kautsky diubah menjadi suatu konsepnya
sendiri untuk nasionalisme Indonesia. Menurut Hartisekar & Isjani Abadi
(2001: 24) Teori Marxisme dikerjakan oleh Karl Marx dan Engels dalam waktu lama
sepanjang periode abad ke-19. Sepanjang waktu itu, ada tahap-tahap yang
memperlihatkan adanya perbedaan penekanan, bahkan kontradiksi-kontradiksi dalam
pemikiran mereka. Pada tahun 1945, ketika berusia 27 tahun, Marx amat terpengaruh
oleh tiga aliran pemikiran utama yang mempengaruhi teori-teorinya. Ketika
aliran pemikiran itu adalah Filsafat Jerman (Hegel), Sosialisme Utopia Prancis,
dan teori Ekonomi Klasik Inggris.
Sama seperti dalam jalan pemikiran Kautsky, kaum proletariat
akan meraih kekuasaan pada waktu diadakan pemilihan, begitu pula bangsa
Indonesia pada suatu ketika akan mendapatkan kemerdekaan karena jumlah kaum
pribumi yang kelebihan numerik mereka. Dengan kata lain, suatu revolusi damai
pasti akan berlangsung. Tujuan akhirnya mungkin bisa diartikan sebagai
revolusioner, tetapi upaya untuk mendapatkannya pasti tidak revolusioner.
Selain nama Kautsky, Soekarno juga menjumpai nama Bakoenin. Ia tidak menyetujui
anggapan kaum Marxis bahwa hanya kaum proletariat industri daerah perkotaan
yang bisa dijadikan pasukan penggempur dalam suatu perjuangan revolusioner.
Bakoenin juga berpendapat bahwa tidak bisa disangkal jika kaum petani kecil
merupakan sekutu yang mutlak dibutuhkan dalam perjuangan ini.
Proletar adalah sebuah kelas yang mencari kehidupan dari
pejualan tenaganya, sedangkan kaum borjuis adalah pemilik sumber-sumber
produktif yang dipakai kaum proletar bekerja. Borjuis memperoleh keuntungan
terutama dari bunga, dan pinjaman, walaupun mungkin memperoleh pengahsilan lain
dalam bentuk gaji atau tugas-tugas manjerial serta koordinasi kegiatan
(Hartisekar & Isjani Abadi, 2001: 29). Sedangkan menurut Feith &
Castles (1988: 142-143) Proletar adalah orang yang menjualkan tenaganya kepada
orang lain, dengan tidak ikut memiliki alat-alat produksi. Proletar adalah
buruh, dengan tidak memiliki alat-alat produksi. Tetapi bangsa kita, terdiri
daripada puluhan juta rakyat, yang tidak semuanya masuk ke dalam istilah
Proletar ini.
Kemudian oleh Soekarno, ide kedua tokoh di atas disatukan. Seperti
yang disebutkan dalam Giebels (2001: 59), ide-ide Kautsky dan Bakoenin oleh
Soekarno digabung menjadi ideologi yang ia sebut marhaenisme. Teori ini ia
kembangkan ketika sedang bersepeda di sekitar Bandung, ia bertemu dengan
seorang petani yang sedang bekerja di sawah. Soekarno bercakap-cakap dengannya
dan waktu ia bertanya milik siapakah sawah yang sedang dikerjakan petani ini,
petani menjawab bahwa itu tanah miliknya sendiri, begitu pula pacul yang
dipakainya, padi yang kelak dipanennya, dan gubuk sederhana di tepi sawah tadi.
Ia tidak mempekerjakan siapa-siapa, kata petani tadi, dan ia tidak bekerja
untuk siapa-siapa. Soekarno sadar bahwa petani kecil ini walaupun miskin sekali
bisa dianggap sebagai seorang pengusaha mandiri dan bahwa hal itu juga berlaku
bagi si penjual sate, si nelayan, orang yang mengangkut barang dengan dokarnya,
dan masih banyak ragamnya lagi. Ia menanyakan nama si petani. “Marhaen”, jawab
dia. Dengan demikian, waktu itu lahirlah nama untuk teori yang senantiasa
mengilhami ideologi politik Soekarno yang akan ia ajukan dengan meyakinkan
sekali.
“Berpuluh-puluh buruh miskin kita tidak bekerja untuk orang
lain dan orang lain tidak bekerja untuk mereka. Bukannya manusia yang satu
dihisap oleh manusia yang lain. Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia di
dalam praktek”.
Pernyataan mengenai awal mula munculnya istilah Marhaenisme
di atas sama halnya dengan pernyataan Mulyana (2008: 186-187), bahwa pada suatu
hari, Soekarno berjalan-jalan di sebelah kota Bandung di desa Cigereleng. Ia melihat
petani laki-laki yang sedang bekerja di sawahnya. Dalam tanya jawab, ia tahu
bahwa alat cangkul yang digunakan oleh petani itu adalah milik petani itu
sendiri; tanah yang digarapnya juga miliknya sendiri; hasil padi yang dipungut
dari sawah adalah hak petani itu sendiri. Akan tetapi, petani itu hidupnya
miskin, rumahnya reot. Jelas, orang itu bukan buruh yang hidupnya bergantung
kepada majikan. Karena mereka tidak menerima upah dari siapa pun, ia bukan
buruh atau pun ploretar. Namnya adalah Marhaen. Nama petani itulah yang
kemudian digunakan oleh Soekarno untuk melawan penjajah. Katanya: “Timbullah
ilham. Kalau begitu, semua rakyat Indonesia yang miskin ini saya namakan
Marhaen[1]; ya yang proletar, ya yang bukan proletar, ya yang buruh, ya yang petani,
ya yang nelayan, ya yang tukang gerobak, ya yang pegawai, pendeknya yang
kecil-kecil itu semua Marhaen”.
Dalam Pidato Marhaen dan Kaum Proletar yang disampaikan oleh
Presiden Indonesia di depan suatu rapat PNI tanggal 3 Juli 1957, tepatnya pada
hari ulang tahun ketigapuluh partai tersebut, Soekarno berkata:
“Misalnya, saudara-saudara, tukang roda (istilah Bandung)
bukan buruh, bukan tani, masuk golongan apakah ia? Tukang-tukang nelayan di
pinggir pantai, bukan buruh, bukan tani, masuk golongan apakah ia? Kaum
pedagang-pedagang kecil, yang mengadakan warung-warung, bukan buruh, bukan
tani, termasuk golongan apakah ia? Saudara-saudara, dahulu ada satu istilah
yang terkenal di dalam tahun 1926, di kalangan rakyat Indonesia, yaitu
perkataan Proletar. Perkataan Proletar ini sering tidak dimengerti akan
artinya. Perkataan Proletar ini dipergunakan di dalam tahun 1926 itu, untuk
menggambarkan seluruh rakyat yang jembel, Proletar. Tetapi ia bukan proletar
sama sekali.
Sudah saya terangkan dulu kepada saudara-saudara,
kawan-kawan lama, apa sebab saya memakai perkataan Marhaen, tak lain tak bukan
ialah oleh karena saya pada suatu hari berjalan-jalan di sawah Kiduleun
Cigereleng, saudara-saudara saya berjumpa dengan seorang-orang yang sedang
memacul di sana, saya bertanya kepadanya: “Saudara, tanah ini siapa punya?”
Gaduh abdi. Jadi, dia ikut memiliki alat produksi, sawah ini ia punya. Ini
pacul, siapa punya? Gaduh abdi. Alat-alat ini, siapa punya? Gaduh abdi. Tetapi
saudara, engkau hidup miskin. Betul, saya hidup miskin.
Pada waktu itulah saudara-saudara, saya tanya kepadanya:
“Nama saudara siapa?”. “Heh, abdi Marhaen”. Pada waktu itu dia berkata, bahwa
dia punya nama adalah Marhaen. Mendapat ilhamlah pada waktu itu,
saudara-saudara, Bung Karno. La, ini nama akan saya pegang terus. Ini nama akan
saya pakai untuk menggambarkan Rakyat Indonesia yang jembel (Feith &
Castles, 1988: 142).
Kata ini telah mendominasi perdebatan politik di Indonesia
sejak sekitar 1932. Sebelumnya, kata itu boleh dikatakan tak dikenal sama
sekali. Kalangan-kalangan politik untuk pertama kalinya mendengar kata itu
dalam pidato pembelaan Soekarno, di mana ia menjelaskan bahwa masyarakat
Indonesia, sebagai akibat dominasi imperialisme selama berabad-abad, adalah
khas masyarakat orang kecil: “(Ia adalah) pergaulan hidup yang sebagian besar
sekali adalah terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang
kecil, kaum pelayar kecil, pendek kata… kaum kromo dan kaum marhaen yang
apa-apanya semua kecil” (Dahm, 1987: 175).
Soekarno telah memperoleh peluang yang baik sekali untuk
memberikan gambaran itu dalam sidang pengadilan, di mana ia tidak hanya
melukiskan kondisi mereka, akan tetapi juga menjelaskan kepada majelis hakim
bagaimana Partai Nasional harus berpedoman kepada mereka yang merupakan rakyat:
(Dalam) pergaulan hidup yang hampir penuh dengan kaum Kromo
dan kaum Marhaen saja ini, kami dari Partai Nasional Indonesia…, kami harus
menjalankan politik yang Kromoistis dan Marhaenistis pula… Tidak bisalah kami
mencoba mengalahkan imperialisme itu dengan mendesaknya keluar dengan kekuatan
persaingan ekonomi, tidak bisalah kami mencoba melemahkan dayanya dengan daya
self containing yang nasional ekonomis sebagai di India itu. Kami hanya bisa
mengalahkannya dengan aksi Kang Kromo dan Kang Marhaen dengan massa aksi
kabangsaan yang sebesar-besarnya. Kami mencoba menyusun-nyusun energy massa
yang berjuta-juta itu, mencoba membelokkan energi segenap kaum intelektual
Indonesia ke arah susunan massa itu…
“Di dalam massa, dengan massa, untuk massa!”, - itulah yang
harus menjadi semboyan kami dan semboyan tiap-tiap orang Indonesia yang mau
berjuang untuk keselamatan tanah air dan bangsa!
Aneka ragam rakyat kecil perlu dipersatukan, namun usaha
untuk mempersatukan terbentur pada beberapa persoalan, yakni persoalan
kepentingan golongan, kepentingan rasa kedaerahan, kepentingan agama, dan
lain-lain. Oleh karena itu, sejak awal dalam gagasan mempersatukan kaum marhaen
itu harus mempunyai watak tertentu untuk mencapai tujuannya. Watak itu adalah
watak revolusioner. Yang dimaksud revolusioner adalah menentang kapitalisme.
Kata Bung Karno: “Nah ini saudara, masukkan ke dalam gerakan rakyat bahwa semua
harus revolusioner, artinya semuanya harus menentang imperialisme sebab siapa
menentang imperialisme, buruhkah, petanikah, pegawaikah, orang dari golongan
agamakah, sosialisasikah, bukan demokrasi formalkah, siapa yang menentang
imperialisme adalah revolusioner. Ini adalah satu golongan persatuan daripada
segenap kaum kecil Indonesia tadi yang ku terangkan” (Mulyana, 2008: 187).
Dalam pedoman pokok pelaksanaan deklarasi Marhaenis
ditegaskan oleh Soekarno, bahwa Marhaenisme bukan sekedar teori politik,
malainkan teori perjuangan. Sebagaimana Marxisme bukan sekadar teori, bukan
sekadar teori ekonomi, bukan sekadar teori politik, melainkan lebih dari sebuah
teori. Marxis adalah teori perjuangan untuk menghantam kapitalisme, untuk
membangun masyarakat sosialis, demikian pula Marhaenisme. Asas Marhaenisme
adalah perjuangan menentang kolonialisme yang menguasai Indonesia melalui
massa-aksi kaum Proletar dan petani umtuk melawan kapitalisme dan feodalisme.
Oleh karena itu, secara tegas ditandaskan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme
yang diterapkan pada keadaan dan kondisi Indonesia (Mulyana, 2008: 187-188).
Untuk dapat menggugurkan stelsel imperialisme diperlukan
persatuan kaum Marhaen yang sanggup mengadakan massa-aksi. Massa-aksi selalu
menjadi penghantar pada saat masyarakat lama melangkah ke dalam masyarakat
baru. Kaum Marhaen harus digerakkan dalam satu pergerakan massa yang sadar,
radikal. Artinya, dalam pergerakan massa yang tahu benar akan jalan dan maksud
tujuan. Hanya massa-aksi yang sadar dan radikal yang dapat digunakan untuk
menggugurkan stelsel imperialisme dan kapitalisme. Untuk membuat massa-aksi itu
sadar dan radikal diperlukan adanya satu partai pelopor yang mendidik dan
memimpin rakyat dalam perjalanan ke arah kemenangan.
Menurut tafsiran Sjahrir, Marhaenisme berarti memusatkan
perhatian pada massa dan kepada massa saja. Semua golongan lainnya dianggap
merintangi pergerakan kemerdekaan dan harus dihindari sama sekali. Sesungguhnya
bukan demikian maksud Soekarno, penemu Marhaenisme. Dalam siding pengadilan ia
tegas-tegas menyatakan keinginannya untuk bekerjasama dengan kaum borjuis masih
belum mempunyai kekuasaan, maka pergerakan pertama-tama ditujukan kepada massa.
Ia percaya bahwa dalam Marhaenisme ia telah menemukan sebuah rumusan yang
mencakup “praktis segenap masyarakat Indonesia”. Karena, umpamanya, “kaum
pedagang kecil” sudah termasuk di dalamnya, maka pintu juga terbuka bagi yang
lain-lainnya, karena Soekarno menganggap dirinya bukan sebagai juru bicara satu
golongan saja, melainkan seperti dikatakannya waktu itu, “sebagai wakil segenap
rakyat Indonesia”.
Perkembangan Kaum Marhaenisme
Sampai akhir 1930, uangkapan yang lazim bagi “orang kecil”
adalah “kromo”. Tetapi, sejak permulaan propaganda PKI istilah itu seringkali
dipakai untuk mengacu kepada kaum proletar. Ini memaksa Soekarno untuk mencari
istilah baru. Salah satu upaya terbesar Soekarno dalam rangka menentang
elitisme dan meninggikan harkat rakyat kecil di dalam proses perjuangan
kemerdekaan tentu saja adalah pencetusan gagasan marhaenisme. Bertolak dari
pertemuan pribadinya dengan petani Marhaen. Soekarno merasa terpanggil untuk
memberi perhatian yang lebih besar kepada kaum miskin di Indonesia. Ia juga
merasa perlu untuk memberikan peranan kepada mereka dalam perjuangan melawan
kolonialisme yang kapitalistik itu. Kaum Marhaen ini, sebagaimana kaum proletar
dalam gagasan Karl Marx, diharapkan menjadi komponen utama dalam revolusi
melawan kolonialisme dan dalam menciptakan suatu masyarakat baru yang lebih
adil. Dalam perkembangannya berikutnya, sebagaimana dikatakan oleh Soekarno
sendiri, Marhaenisme akan berkembang dan menjadi Sosialisme Indonesia dalam
praktik.
Soekarno (2010: 125) menyatakan, bahwa pergerakan Indonesia
haruslah suatu pergerakan yang mencari tenaganya di dalam kalangan Kang Kromo
dan Kang Marhaen saja, oleh karena Indonesia hampir melulu mempunyai kaum Kromo
dan kaum Marhaen belaka. Di dalam tangan kaum Kromo dan kaum Marhaen itulah
terutama letaknya nasib Indonesia, di dalam organisasi kaum Kromo dan kaum
Marhaen itu terutama harus dicari tenaganya.
Dan rakyat Indonesia yang jembel itu bukan satu juta, bukan
dua juta , bukan tiga juta, hampir seluruh rakyat Indonesia adalah rakyat
jembel. Hampir seluruh rakyat Indonesia adalah Marhaen! Yaitu rakyat jembel, ya
buruh jembel, ya tani jembel, ya nelayan jembel, ya klerk jembel, ya tukang
warung jembel, ya kusir jembel, ya sopir jembel, semuanya ini tercakup dengan
satu perkataan: Marhaen (Feith & Castles, 1988: 143).
Bahkan Rahardjo & Herdianto (2001: 52) dalam buku Bung
Karno dan Ekonomi Berdikari mengemukakan sebagai berikut, tentang pendapatan,
yakni inkomen kita kaum Marhaen, maka saya hampir di dalam tiap-tiap rapat umum
telah memberi angka-angka yang mendirikan bulu. Sering saya terangkan bahwa
pendapatan itu sebelumnya zaman meleset adalah 8 sen seorang sehari, bahwa
kemudian di dalam permulaan zaman meleset ia merosot menjadi 4 á 4 setengah sen
seorang sehari, dan bahwa kemudian lagi ia lebih merosot lagi menjadi sebenggol
seorang sehari.
Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme, ditegaskan
bahwa Marhaenisme menolak tiap tindak borjuisme yang menurut Soekarno merupakan
sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat. Soekarno berpendapat bahwa
orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat. Sebagaimana
dikatakan oleh McVey, bagi Soekarno rakyat merupakan padanan mesianik dari
proletariat dalam pemikiran Marx. Artinya, mereka ini merupakan kelompok yang
sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya ketika
digerakkan dalam gelora revolusi akan mampu mengubah dunia (Wardaya S.J, 2006:
44).
Meskipun demikian, konsep Marhaen sebagaimana dipahami oleh
Soekarno itu mirip tetapi sekaligus berbeda dengan konsep proletariatnya Marx.
Sebagaimana kaum proletar, kaum Marhaen itu miskin, berada di lapisan bawah
masyarakat, dan jutaan jumlahnya. Tetapi berbeda dengan kaum proletarnya Marx,
kaum Marhaen tidak bekerja untuk orang lain dan mereka memiliki alat
produksinya sendiri, seperti cangkul dan tanah garapan. Menurut Soekarno
pengertian kaum Marhaen itu lebih luas daripada kaum proletar karena kaum
Marhaen mencakup tidak hanya kaum buruh, melainkan juga para petani dan setiap
orang Indonesia yang miskin. Apapun persamaan dan perbedaannya, yang perlu
dipahami bagi Soekarno adalah upaya mengusir setiap bentuk kapitalisme dan
imperialisme.
Tidak lama setelah Soekarno memasuki Partai Indonesia,
Soekarno menerbitkan sebuah artikel, “Demokrasi-Politik dan Demokrasi-Ekonomi”,
di mana ia memperingatkan kaum Marhaen untuk tidak meniru demokrasi yang
dipraktekkan di luar negeri, bentuk demokrasi seperti itu tidak akan menjamin
kesejahteraan kaum Marhaen, karena ia hanya memberikan hak-hak politik,
sementara di bidang ekonomi massa akan terus serba kekurangan.
Menurut Soekarno, untuk mencapai suatu masyarakat tanpa
kelas-kelas tertindas di Indonesia, tidaklah cukup bagi kaum Marhaen yang akan
memperjuangkannya untuk menjadi kaum revolusioner borjuis dengan kemerdekaan
sebagai tujuan akhir mereka. Mereka harus menjadi orang-orang revolusioner
sosial dan tidak boleh berhenti sebelum terwujudnya kebahagiaan bagi semua
orang, bagi seluruh komunitas Indonesia. Kepada perjuangan itu, Soekarno
memberikan nama yang baru saja ia ciptakan yaitu Sosionasionalisme atau
nasionalisme Marhaen (Dahm, 1987: 181).
Karena bernada Marxis, maka gagasan-gagasan di balik
asas-asas Marhaenisme: Sosionasionalisme dan Sosiodemokrasi itu perlu dianalisa
untuk mengetahui kandungan Marxis dari Marhaenisme ciptaan Soekarno itu.
“Marhaenisme adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang menjalankan
Marhaenisme”, demikianlah bunyi tesis terakhir dari Sembilan tesis tentang
Marhaen dan Marhaenisme yang dikemukakan dalam sebuah kongres Partai Indonesia
dalam bulan Juli 1933, dan yang tidak lama kemudian diuraikan lebih lanjut oleh
Soekarno. Dengan begitu, maka Marhaenis adalah tiap orang Indonesia yang
bersedia bekerjasama untuk membangun sebuah tatanan social yang adil. Dengan
demikian, tidak saja gagasan tentang perjuangan kelas dihindari, tetapi juga
individu-individu diberi kebebasan untuk bekerjasama dalam perjuangan kaum
miskin dan tertindas bagi masa depan yang lebih baik, tanpa memandang kedudukan
sosial dan ekonomi mereka; ini berlaku bahkan bagi golongan kaya.
Sementara teori Marxis berkembang atas dasar antithesis yang
eksak, maka Soekarno tetap berpegang pada sintesisnya, bahkan pada waktu ia
merasa sangat dekat dengan Marxisme. Kata Marhaen itu sendiri merupakan bukti
yang paling baik. Di dalam tesisnya yang ketiga dikatakan, bahwa Partindo
menggunakan kata Marhaen dan bukan proletar, karena kaum proletar sudah
tercakup di dalam kata Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa
juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak bermaktub
di dalamnya.
Kemudian dalam tahun 1933, Soekarno menulis dalam Fikiran
Rakyat mengenai Marhaen dan Proletar, yaitu suatu uraian mengenai keputusan
konperensi Partindo (Partai Indonesia) mengenai ideologi baru itu di Mataram
(Yogyakarta) yang dikemukakan dalam bentuk 9 dasar pokok Marhaen dan
Marhaenisme. Dalam artikel ini Soekarno berusaha menghubungkan Marhaenisme
dengan Marxisme, atau apa yang disebut Bernhard Dahm sebagai Marhaenist version
of Marxism.
Dasar pokok pertama mengemukakan bahwa Marhaenisme berarti
sosial-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Dasar pokok kedua menyatakan bahwa
Marhaen mencakup kaum proletar, kaum tani, dan kaum melarat lainnya. Oleh
karena itu (dasar pokok ketiga) Marhaen lebih luas dari proletar, karena ia
mencakup segala macam kaum yang melarat. Tetapi (dasar pokok kelima) di dalam
perjuangan (Partindo) berkeyakinan bahwa kaum proletar mengambil bagian yang
besar sekali. Soekarno sengaja mengupas dasar pokok kelima ini. Walaupun
Marhaen menunjukkan perbedaan-perbedaan dengan proletar, katanya, tapi pada
“punt” kelima ini diakui bahwa peranan kaum proletar adalah penting sekali, dan
ini disebutkannya sebagai segi modern dari Marhaenisme sebab kaum proletarlah
yang lebih hidup di dalam ideologi modern yang anti-kolonialis dan
anti-imperialis. Ideologi modern yang dimaksud tak lain adalah Marxisme atau
Komunisme (Alfian, 1978: 122-123).
[1] Marhaen adalah nama Sunda yang umum dipakai di daerah
pedesaan Jawa Barat. Nama ini menimbulkan gambaran seorang petani kecil, sama
seperti ‘Kromo’ di daerah perkotaan adalah nama orang kebanyakan. Di kemudian
hari Soekarno akan menjuluki pengikutnya yang berasal dari proletariat
Indonesia sebagai ‘kaum Marhaen’ dan ‘kaum Kromo’ (Giebels, 2001: 59).
DAFTAR RUJUKAN
Alfian. 1987. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
Dahm, Bernhard. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan.
Jakarta: LP3ES.
Faith, Herbert & Castles, Lance (Eds). 1988. Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.
Giebels, Lambert. 2001. Soekarno: Biografi 1901-1950.
Jakarta: Grasindo.
Hartisekar, Markonina dan Isjani Abadi, Akrin. 2001.
Mewaspadai Kuda Troya Komunisme di Era Reformasi. Jakarta: Pustaka Sarana
Kajian.
Kaelan dan Zubaidi, Ahmad. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan.
Yogyakarta: Paradigma.
Mulyana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme
sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: LKiS.
Soekarno. 2010. Indonesia Menggugat. Jakarta: Fraksi
PDI-Perjuangan DPR-RI.
Toto K. Rahardjo, Iman & WK, Imam. 2001. Bung Karno dan
Tata Dunia Baru: Kenangan 100 Tahun Bung Karno. Jakarta: Grasindo.
_________________________________. Bung Karno dan Ekonomi
Berdikari: Kenangan 100 Tahun Bung Karno. Jakarta: Grasindo.
Triatmono, Hero (Ed). 2010. Kisah Istimewa Bung Karno.
Jakarta: Kompas.
Wardaya SJ, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat: Dari
Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 Hingga G 30 S. Yogyakarta: Galang Press.
Comments
Post a Comment