MODUL 02 MAPEL SEJARAH KELAS XII IPA-1 Perkembangan Politik dan Ekonomi pada Masa Reformasi (Bersama : Drs. Zulpikar Kh)





I) Perkembangan Kabinet Reformasi

a) Pembentukan Kabinet Reformasi. Setelah B. J. Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto, kemudian pada tanggal 22 Mei 1988 Presiden B. J. Habibie mengumumkan susunan cabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet ini dilantik pada tanggal 22 Mei 1998 di Istana Negara. Pengangkatan B. J. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia ketiga adalah syah dan konstitusional. Pengangkatan tersebut didasarkan pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 8 dan Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/ MPR/1978 yang menyatakan: “Apabila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa waktunya”. Namun, demikian ada juga yang berpendapat bahwa B. J. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia ketiga adalah tidak syah dan tidak konstitusional. Hal ini didasarkan pada Undang-undang Dasar 1949 pasal 9 yang menyatakan bahwa “Sebelum Presiden memangku jabatan maka Presiden harus mengucapkan sumpah dan janji di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat”. Faktanya B. J. Habibie tidak melakukan hal yang demikian, ia megucapkan sumpah dan janji di depan Mahkamah Agung dan Personil Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat yang bukan bersifat kelembagaan.

b) Pemberi Amnesti dan Munculnya Kebebasan Berpendapat.

(1) Mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1998 tentang Pemberian Amnesti. Sejumlah tahanan politik seperti SriBintangPamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan sedangkan Budiman Sudhatmiko ketua Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada masa Presiden Abdurahman Wahid.

(2) Membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, tugasnya adala mencari segara sesuatu yang berhubungan dengan kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta.

(3) Mengeluarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang berisi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

(4) Mencabut Undang-undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Aksi Subversi dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999.

c) Permasalahan Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kemunculan dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada awalnya merupakan konsep yang diajukan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada tanggal 11 November 1968. Dalam pidatonya yang berjudul “Jalan Tengah” Jenderal Nasution mengatakan bahwa tentara juga merupakan kekuatan social-politik yang berperan dalam kegiatan social kemasyarakatan. Naiknya Jebderal Soeharto sebagai pengemban pemerintah Indonesia sejak tahun 1966 membawa doktrin ini sebagai basis landasan penguatan Negara dan lembaga keprresidenannya. Posisi militer pada era Reformasi tidak mendapat tempat yang cukup baik di hati rakyat karena: pertama, selama pemerintahan Orde Baru peranan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sangat mendominasi baik di lembaga eksekutif maupun legislative; Selama pemerintahan Orde Baru, fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) bukan hanya sebagai integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi juga sebagai alat kekuasaan untuk melanggengkan Orde Baru, ketiga, peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 semakin menyulut sikap antipasti rakyat terhadap Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kebijakan presiden B. J. Habibie untuk melakukan Reformasi tentang Dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), antara lain adalah memisahkan Kepolisian Republik Indonesia dari tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang mulai dterapkan kemudian dirubah menjadi Tentara Nasional sejak tanggal 5 Mei 1999. Teknisnya Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara berada di bawah payung Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dirubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sedangkan Kepolisian menjadi lembaga yang memiliki otonomi sendiri dengan nama Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kebijakan Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) juga dilakukan dengan mereduksi keberadaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam tubuh Dewan Perwakilan Rakyat. Jumlah Kursi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam Dewan Perwakilan Rakyat semula 75 kursi, dalam Pemilihan Umum Tahun 1999 dikurangi menjadi 38 kursi, kemudian dalam Pemilihan Umum Tahun 2004 jumlah kursi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam Dewan Perwakilan Rakyat ditiadakan.

d) Reformasi Hukum dan Perundang-undangan. Pelaksanaan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat tanggal 10-13 November 1998 selain mengukuhkan Habibie sebagai presiden Republik Indonesia, juga menghasilkan perombakan besar-besaran terhadap sistem hukum dan perundang-undangan. Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat ini ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat dan mencapai puncaknya dalam peristiwan Tragedi Semanggi (Semanggi I), yang menewaskan 18 orang. Focus perombakan sistem hukum perundang-undangan yang dihasilkan dalam Sidang Istimewa tersebut mengacu pada 12 ketetapan yang terbagi menjadi tiga bagian besar, yakni:

1) Bagian ketetapan yang terdiri dari enam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) baru, antara lain:

(a) Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok pelaksanaan Reformasi Pembangunan sebagai Haluan Negara.

(b) Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

(c) Tap MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Tugas Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

(d) Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang Proses Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

(e) Tap MPR No.XVI/MPR/1998 tentang Penegakkan Hak Asasi Manusia.

2) Bagian ketetapan yang terdiri dari ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengubah dan menambah ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang lama, antara lain:

(a) Tap MPR No. VII/MPR/1998 yang berisi perubahan dan penambahan terhadap Tap MPR No. I/MPR/1983 tentang Tatib Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia.

(b) Tap MPR No. XIV/MPR/1998 yang berisi pperubahan dan penambahan teerhadap Tap MPR No. III/MPR/1983 tentang Pelaksanaan Pemilihan Umum.

3) Bagian ketetapan yang bersifat mencabut ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lama, antara lain:

a) Tap MPR No. VIII/MPR/1998 yang berisi tentang pencabutan Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referandum yang menjaga Undang-undang Dasar 1945. Pencabutan Tap ini berarti pula Undang-undang Dasar 1945 dapat dirubah dan diamandemen.

(b) Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 yang berisi tentang pencabutan Tap MPR No. II/ MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

(c) Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang pencabutan Tap MPR No. V/MPR/1978 tentang Tugas dan Wewenang Presiden selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

(d) Tap MPR No. IX/MPR/1998 yang berisi tentang pencabutan Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.

e) Kebebasan Pers. Presiden B. J. Habibie mengeluarkan kebijakan:

(1) Menghapus Surat Ijin Usaha Percetakan dan Penerbitan (SIUPP) yang pada masa Orde Baru menjadi hal yang menankutkan dalam pers.

(2) Melakukan penyederhanaan tentang penerbitan Pers baru.

(3) Mengeluarkan UU No.9  Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Meskipun Presiden B. J. Habibie telah melakukan liberalisasi partai politik, pemberian kebebasan pers, kebebasan pendapat, dan pencabutan Undang-undang Subversi. Walaupun begitu, Presiden B. J. Habibie juga sempat tergoda untuk meloloskan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya namun tidak dilakukan karena besarnya tekanan politik dan peristiwa Tragedi SemanggiII yang menewaskan mahasiswa Universitas Indonesia yakni Yun Hap.

f) Pelaksanaan Pemilihan Umum

Pemilihan Umum dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 1999. Setelah Presiden B. J. Habibie mencabut berbagai Unddang-undang Politik warisan Orde Baru, kemudian dikeluarkan 3 undang-undang Politik baru yang mulai diterapkan pada tanggal 1 Februari 1999, yaitu:

1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.

2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, diantaranya dijelaskan bahwa peraturan pemilihan umum bersifat campuran antara sistem proporsional dan sistem distrik.

3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pemilihan Umum dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik dengan sistem distrik atau perwakilan dan asas LUBER dan Jurdil (Langsung, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil). Dalam pemilihan umum tahun 199 ada lima paartai yang mengumpulkan suara terbanyak, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan diketuai oleh Megawati Soekarno Putri, Partai Golongan Karya (GOLKAR) diketuai oleh Akbar Tanjung, Partai Persatuan Pembangunan diketuai Hamza Haz, Partai Kebangkitan Bangsa diketuai oleh Matori Abdul Djalil dan Partai Amanat Nasional diketuai oleh Amien Rais.

Setelah pemilihan Umum selesai, kemudian dilanjutkan dengan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 1-21 Oktober 1999, diantaranya diputuskan:

(1) Mengukuhkan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Akbar Tanjung sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Menolak Pidato Pertanggungjawaban Presiden B. J. Habibie melalui Tap No. III/MPR/1999.

Karena tidak ada partai politik yang memperoleh suara mayoritas dalam Pemilihan Umum Tahun 1999 maka  K.H. Abdurrahman Wahid yang diusung oleh Poros Tengah pimpinan Amien Rais (Partai Amanat Nasional/ PAN, Partai Persatuan Pembangunan/ PPP, Partai Bulan Bintang/PBB, dan PK) terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 1999. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia akhirnya memilih dan menetapkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 1999. K. H. Abdurrahman Wahid dipilih karena mantan Ketua Umum PBNU ini adalah faktor pemersatu dan peredam arus konflik di masyarakat. Selanjutnya pada tanggal 21 Oktober 1999, Megawati Soekarno Putri berhasil meredam arus konflik di bawah/ masyarakat. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999, Presiden K. H. Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri membentuk Kabinet Baru yang diberi nama Kabinet Persatuan Nasional. Masa pemerintahan Presiden K. H. Abdurrahman Wahid ini hanya berlangsung kurang lebih 1 tahun lebih 8 bulan. Beliau diturunkan oleh lawan politik melalui Sidang Istimewa tahun 2001 dengan alasan

(1) Adanya skandal Buloggate dan Skandal Brunaigate yang sebenarnya tidak terbukti di pengadilan namun skandaal tersebut dijadikan alasan bagi lawan politiknya untuk menjatuhkan beliau.

(2) Pengangkatan Wakil Kepala Polisi Republik Indonesia yakni Komjen (Pol) Chaeruddin menjadi pemangku sementara jabatan kepala Polisi Republik Indonesia. Presiden K. H. Abdurrahman Wahid menganggap pengangkatan tersebut adalah hak prerogative presiden tetapi lawan politiknya menganggap bahwa penangkatan tersebut adalah melanggar Tap No.VI/MPR/2000 karena mengangkat Chaeruddin menjadi pemangku jabatan kepala Polisi Republik Indonesia tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Untuk mengatasi hal tersebut, pada tanggal 23 Juli 2001 pukul 01.05 Waktu Indonesia Barat (WIB) Presiden K. H. Abdurrahman Wahid mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi: Pembekuan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pembubaran Partai Golongan Karya (Golkar) dan mempercepat pelaksanaan pemilihan Umum. Dekrit yang dikeluarkan Presiden K. H. Abdurrahman Wahid ternyata tidak mendapat dukungan dari Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia. Bahkan Amien Rais yang semula mendukung K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) justru berbaalik ara malah mempercepat pelaksanaan Sidang Istimewa pada tanggal 23 Juli 2001. Sidang Istimewa tersebut digelar dengan tujuan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun karena Presiden K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak mau hadir,  akhirnya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengukuhkan Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamza Haz sebagai Wakil Presiden pada masa 2001-2004.

Pemilihan Umum Tahun 2004. Setelah amandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945, pemilihan umum diatur tersendiri dalam Bab VII B, Pasal 22 E Undang-undang Dasar 1945 sebagai realisasinya dikeluarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilihan Umum. Peraturan ini menegaskan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi Pemilihan Umum secara langsung untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat kedua). Pemilihan Umum Tahun 2004 dilaksanakn pada tanggal 5 April 2004 yang diikuti oleh 24 partai politik. Partai politik yang memperoleh suara terbanyak adalah Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat, dan Partai Kesejahteraan Rakyat (PKS). Kemudian dilanjutkan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang nantinya berhasil dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Kemenangan ini merupakan babak baru bagi Indonesia dibawah kepemimpinan presiden dan wakil presiden yang berlangsung dipilih oleh rakyat. Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi Presiden Republik Indoensia pada tanggal 20 Oktober 2004, kemudian dibentuklah Kabinet Baru yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu.

g) Otonomi Daerah

Landasan Formal Yuridis

(1) Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 yang menegaskan perlunya mengembangkan otonomi daerah secara luas dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah diselenggarakan menurut asas desentralisasi.

(2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi dan disempurnakan melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

(3) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerinah Daerah yang kemudian direvisi dan disempurnakan melalui Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004.

Otonomi Daerah juga meliputi otonomi social-budaya. Tata nilai dan budaya local diberi tempat yang seluas-luasnya untuk berkembang. Otonomi yang seluas-luasnya yang diberikan kepada setiap daerah provinsi, kabupaten dan kota juga menyangkut masalah pemilihan kepada daerah yang diatur melalui:

(1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemilihan Kepala Daerah.

(2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang tata cara pemilihan Kepala Daerah dilaakukan oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah).

Keuntungan dan Kelemahan Otonomi Daerah

Dampak Positif Otonomi Daerah:

(1) Menghasilkan suatu sistem pemerintahan yang resposif dan pelayanan umum yang berkualitas, cepat dan efisien.

(2) berpindahnya kekuasaan secara umum dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah.

(3) Meningkaatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah.

(4) Memperpendek dan mempercepat jalur birokrasi.

(5) Memperbesar peranan dan pemberdayaan masyarakat di daerah.

Dampak Negatif Otonomi Daerah:

(1) Terjadinya konflik horizontal antar daerah.

(2) Berpindahnya kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah diiringi pula berpindahnya korupsi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

(3) Terjadinya pemborosan anggaran.

(4) terjadi kerusakan lingkungan alam di berbagai daerah.

(5) mentabukan pendatang dari daerah lain.

h) Pemberantasan Korupsi. Sesuai dengan amanat Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Pemerintah Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Presiden B .J. Habibie nantinya mengeluarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang pemerintahan Negara yang bersih dari Koprupsi, Kolusi dan Nepotisme. Namun dalam prakteknya hampir tidak ada perubahan signifikan. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri, pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), usaha untuk meberantas korupsi mulai berani sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pada tanggal 7 Desember 2004, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjebloskan Abdullah Puteh (Gubernur Nanggroh Aceh Darussalam) ke rumah tahanan Salemba sebagai tersangka kasus korupsi pembelian 2 helikopter.

i) Gerakan Separatis dan Kerusuhan SARA

1) Lepasnya Provinsi Timor Timur.

a)Integrasi Timor Timur. Pada tanggal 29 November 1975 pemimpin 4 partai politik di Timor Timur yaitu:

(1) Arnoldo Reis Araujo dari Partai Adopeti (Associacao Populer Democratica de Timor)

(2) Fraansisco Xavier Lopez de Cruz dari Partai UDT (Union Democrative de Timor)

(3) Thomas Diaz Xemenes dari Partai Kota (Kilbur Oan Timur Aswain)

(4) Domingos C. Pereira dari Partai Trabilistaa.

Mencetuskaan Proklamasi Balibo yang berisi pernyataan integrasi Timor Timur dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap Proklamasi Kemerdekaan Timor Timur pada tanggal 28 November 1975 yang dilakukan oleh Partai Fretelin (Frente Revalucionaria de Timor Leste) yang dipimpin oleh Fransisco Xavier do Amaral. Pernyataan integrasi rakyat Timor Timur itu mendaapat reaksi positif dari pemerintahan Republik Indonesiaa. Pada tanggal 17 Juli 1976 secara resmi Timor Timur menjadi provinsi Indonesia yang ke-27 dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1976. Gubernur pertamanya Arnoldo Dos Reis Araujo dan wakilnyaa Fransisco Xavier Lopez da Cruz. Kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Tap No. VI/MPR/1978 tentang pengesahan Timor timur sebagai provinsi yang ke-27.

b) Menuju Jajak Pendapat. Meskipun Timor Timur sudah menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia, namun pro dan kontraa (pro integrasi dan anti integrasi) sesame penduduk Timor Timur tetap berlangsung. Pro dan kontraa semakin tajam tatkala Insiden Santa Cruz (12 November 1991) yaitu peristiwa penembakan terhadap demonstran di pemakaman Santa Cruz yang pada waktu itu sedang memperingati tewasnya Sebastio Gornes, seorang aktivis pro kemerdekaan. Kemudian tanggal 20 November 1992, Xanana Gusmao ditangkap dengan tuduhan sebagai otak demonstrasi di Santa Cruz. Untuk menyelesaikan Timor Timur secara tuntas, maka Presiden B. J. Habibie mengajukan dua opsi “Merdeka atau Otonomi” kepada rakyatTimor Timur. Penentuan dua opsi tersebut dilakukan dengan cara melaksaanakan Jajak pendapat yang natninya dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 dan penyelenggaranyaa dilakukan oleh Misi Perdamaian Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Timor Timur yang disebut UNAMET (United Nations Mission East Timor). Hasil jajak pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999 oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa di New York, yaitu sebagai berikut:

(1) Kubu Pro Kemerdekaan meraih 78,5% suara,

(2) Kubu Pro Integrasi atau Otonomi memperoleh 21,5% suara.

Meskipun di dalam negeri terjadi pro dan kontra terhadap kebijakan Presiden B. J. Habibie tersebut, namun akhirnya pada tanggal 19 Oktober 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Tap No.V/MPR/1999 yang berisi tentang pengakuan atas hasil pelaksanaan jajak pendapat di Timor Timur yang diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Dengan pengakuan tersebut berarti Timor Timur terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2) Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada tanggal 4 Desember 1976 sebagian dari rakyat Aceh menggabungkan diri dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah pimpinan Tengku Hasan Tiro yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Aceh. Keinginan Aceh untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dipicu oleh:

(a) Aceh hanya dijadikan sebagai daerah eksploitasi sumber daya alam yang banyak menguntungkan pemerintah pusat dan bangsa asing.

(b) Timbulnya kecemburuan social sebagai akibat program tnasmisi yang mendatangkan orang Jawa dalam jumlah besar yang dianggap sebagai pesaing rakyat Aceh di daerahnya sendiri.

Selain Gerakan Aceh Merdeka (GAM), juga muncul gerakan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang menuntuk kemerdekaan Aceh melalui pelaksanaan referendum. Usaha meredakan ketegangan di Aceh telah diupayakan. Beberapaa perundingan telah dilaksanakan, diantaranya:

(a) Pada tanggal 9 Desember 2002 diadakan perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Jenewa, Swiss atas prakarsa Henry Dunant Centre, yang dikemas dalam program “Jeda Kemanusiaan”. Upaya perundingan ini belum dapat mewujudkan kehidupan damai di Aceh.

(b) Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia dengan Fasilisator Crisis Management Initiative pimpinan Martti Ahtisaari, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akhirnya menyetujui Nota Kesepahaman (MoU) Perdamaian yang berisi: Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia untuk menyerahkan seluruh senjatanya, Pemerintah Republik Indonesia setuju untuk menarik seluruh Tentara Nasional Indonesia yang dikirim ke Aceh, Pemerintah Republik Indonesia setuju untuk memberikan Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

3) Kerusuan SARA dan terror Bom. Di era reformasi fenomena konflik yang bersuasana SARA memiliki beberapa pola, yaitu pola pertentangan antar penduduk asli dan pendatang (konflik Sambas dan Sampit, Kalimantan), Pola kedua adalah terjadinya pertentangan social dimensi agama seperti antara Islam dan Kristen (Ambon dan Poso), dan Pola lainnya adalah koflik disebabkan oleh faktor eksternal yaitu berkaitan dengan konflik elite baik di tingkat pusat maupun local, ulah provokator dan pengaruh informasi global melalui media masa dan isu dengan selebaran. Selain konflik SARA, juga terjadi terror bom.

II) Perkembangan Sosial dan Ekonomi Pada masa Reformasi. Pembenahan ekonomi pada era reformasi difokuskan lima bidang kerja utama, yaitu:

(1) Melaksanakan rekapitulasi perbankan Indonesia.

(2) Melaksanakan likuidasi (pembubaran) bank yang bermasalah.

(3) Memperbaiki nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga mencapai di bawah Rp 10.000.

(4) Membangun konstruksi baru perekonomian Indonesia.

(5) Melaksanakan syarat reformasi ekonomi yang diberikan oleh IMF (International Monetery Fund) kepada Pemerintah Indonesia.

Dalam pembenahan masalah krisis ekonomi, ternyata menunjukkan hasil yang sangat lamban dibandingkan Negara Asia lainnya, disebabkan oleh:

(1) Berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat dan Negara menjadi sangat kompleks seiring dengan kejatuhan ekonomi tersebut.

(2) Tingginya tingkat intensitas konflik politik internal dalam negeri membuat kosentrasi penangan masalah ekonomi dan social menjadi tidak optimal.

(3) menurunya investasi asing di Indonesia.

(4) Dorongan IMF (International Monetery Fund) untuk menerapkan Structural Adjustment Program (Program Penyesuaian Struktural) di Indonesia semakin menambah kesengsaraan rakyat Indonesia.

Apabila dicermati, memburuknya kondisi social dan ekonomi Indonesia pasca reformasi salah satunya dapat dilihat dari poin kebijakan penghapusan subsidi bagi masyarakat yang disodorkan IMF (International Monetery Fund). Proteksionisme  terhadap sector perekonomian dalam negeripun dilarang. IMF (International Monetery Fund) melihat bahwa pereknomian bangsa akan lebih efektif apabila diserahkan pada kekuatan ekonomi pasar. Akan tetapi, di satu sisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia berakibat pada menurunnya daya beli masyarakat. Sementara di sisilain, pemerintah tidak boleh memberikan subsidi usaha maupun proteksionisme terhadap sector ekonomi local. Meningkatkan masalah social pun menjaddi tak terhindarkan dari adanya krisis ekonomi ini. Meningkatnya angka pengangguran, melambatnya laju pertumbuhan ekonomi dan makin meningginya akan kriminalias menjadi warna dan krisis multimedia yang dihadapai olehIndonesia pasca reformasi difokuskan pada hal sebagai berikut:

(1) Meningkatkan lapangan  pekerjaan yang seoptimal mungkin. Metode yang diterapkan pemerintah adalah dengan menggalakkan investasi asing sebagai potensi lapangan pekerjaan baru.

(2) menyediakan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.

(3) optimalisasi barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.

(4) mengoptimalkan sector pendidikan yang bertujuan untuk memberikan akses yang mudah bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak.

(5) memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk akses kesehatan.

Comments

Popular posts from this blog

MODUL 02 KELAS X-1 MASA PRA AKSARA/ PRASEJARAH (Bersama: Drs. Zulpikar Kh)

MODUL 3 SEJARAH (X-2) Asal Usul dan Persebaran Manusia di Kepulauan Indonesia (Origin and Dispersion of People in Indonesian Archipelago)

Sistem Tanam Paksa dan Dampaknya