Materi Sejarah MA Kelas X-1 Periodesasi Zaman Prasejarah Berdasarkan Arkeologi
Periodesasi Zaman Prasejarah Berdasarkan Arkeologi - Pembabakan prasejarah berdasarkan ilmu arkeologi ini bertujuan untuk
mengetahui usia manusia purba berdasarkan peninggalan benda-benda purbakala.
Benda-benda tersebut dapat berupa perkakas rumah tangga, patung, coretan di
gua-gua, dan fosil purba. Manusia purba menggunakan alat-alat untuk memenuhi
kebutuhannya seperti mencari dan mengolah makanan dengan menggunakan perkakas
dari batu atau benda-benda alam lainnya yang keras seperti kayu dan tulang.
Zaman Palaeolitikum artinya zaman batu tua. Zaman ini ditandai dengan
penggunaan perkakas yang bentuknya sangat sederhana dan primitif. Ciri-ciri
kehidupan manusia pada zaman ini, yaitu hidup berkelompok; tinggal di sekitar
aliran sungai, gua, atau di atas pohon; dan mengandalkan makanan dari alam
dengan cara mengumpulkan (food gathering) serta berburu. Maka dari itu, manusia
purba selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain (nomaden).
Di Indonesia, manusia purba yang hidup pada masa ini adalah manusia
setengah kera yang disebut Pithecanthropus erectus, Pithecanthropus robustus,
Meganthropus palaeojavanicus. Juga selanjutnya hidup beberapa jenis homo
(manusia), di antaranya Homo soloensis dan Homo wajakensis.
Berikut ini akan disampaikan secara ringkas ciri-ciri manusia purba yang
ada di Indonesia pada Zaman Palaeolitikum, yakni:
1) Meganthropus javanicus
Meganthropus javanicus artinya manusia jawa purba bertubuh besar.
Diperkirakan hidup 1-2 juta tahun yang lalu. Fosil rahang bawah dan rahang atas
manusia purba ini ditemukan oleh von Koenigswald di Sangiran pada tahun 1936
dan 1941.
Pada fosil temuannya, Meganthropus memiliki rahang bawah yang tegap dan geraham yang besar, tulang pipi tebal, tonjolan kening yang mencolok dan tonjolan belakang kepala yang tajam serta sendi-sendi yang besar. Melihat kondisi tersebut membuktikan bahwa makanan utama Meganthropus adalah tumbuh-tumbuhan.
Pada fosil temuannya, Meganthropus memiliki rahang bawah yang tegap dan geraham yang besar, tulang pipi tebal, tonjolan kening yang mencolok dan tonjolan belakang kepala yang tajam serta sendi-sendi yang besar. Melihat kondisi tersebut membuktikan bahwa makanan utama Meganthropus adalah tumbuh-tumbuhan.
2) Pithecanthropus
Pithecanthropus artinya manusia kera. Fosil ini pertama kali ditemukan oleh
Eugene Dubois pada tahun 1891 berupa rahang, gigi dan sebagian tulang
tengkorak. Berjalan tegak dengan dua kaki. Diperkirakan hidup pada 700.000
tahun yang lalu.
Dubois menemukan fosil Pithecanthropus di Trinil daerah Ngawi pada saat
Sungai Bengawan Solo sedang kering, kemudian fosil tersebut dinamai Pithecanthropus
erectus, artinya manusia kera berjalan tegak. Sekarang, nama ilmiah manusia
purba Pithecanthropus erectus dikenal dengan nama Homo erectus. Pithecanthropus
memiliki ciri-ciri tinggi badan antara 165-180 cm, volume otak antara 750-1300
cc dan berat badan 80-100 kg. Selanjutnya, manusia jenis Pithecanthropus lain
yang telah ditemukan, antara lain:
(a) Pithecanthropus mojokertensis atau manusia kera dari Mojokerto,
ditemukan di daerah Perning Mojokerto pada tahun 1936 – 1941 oleh Von
Keonigswald. Fosil yang ditemukan berupa tengkorak anak-anak berusia sekitar 6
tahun. Walaupun ditemukan lebih muda dari Pithecanthropus erectus oleh Dubois,
fosil Pithecanthropus mojokertensis merupakan manusia yang lebih tua
dibandingkan dengan lainnya.
(b) Pithecanthropus soloensis atau manusia kera dari Solo, ditemukan di
daerah Ngandong Sangiran antara tahun 1931-1934. Kepuhklagen Mojokerto pada
tahun 1936-1941 oleh Von Keonigswald. Fosil yang ditemukan berupa tengkorak
anak-anak berusia sekitar 6 tahun.
3) Homo sapiens
Homo sapiens merupakan manusia purba modern yang memiliki bentuk tubuh sama
dengan manusia sekarang. Fosil Homo sapiens di Indonesia di daerah Wajak dekat
Tulungagung (Jawa Timur) oleh Von Rietschoten pada tahun 1889. Fosil ini
merupakan fosil pertama yang ditemukan di Indonesia, yang diberi nama Homo
Wajakensis atau manusia dari Wajak. Manusia purba ini memiliki tinggi badan
130-210 cm, berat badan 30-150 kg dan volume otak 1350-1450 cc.
Homo wajakensis diperkirakan hidup antara 25.000 - 40.000 tahun yang lalu.
Homo wajakensis memiliki persamaan dengan orang Australia pribumi purba. Sebuah
tengkorak kecil dari seorang wanita, sebuah rahang bawah dan sebuah rahang atas
dari manusia purba itu sangat mirip dengan manusia purba ras Australoid purba yang
ditemukan di Talgai dan Keilor yang mendiami daerah Irian dan Australia. Di
Asia Tenggara ditemukan pula manusia purba jenis ini di antaranya di Serawak,
Filipina, dan Cina Selatan.
Dalam beberapa sumber penelitian diperkirakan pithecanthropus adalah manusia
purba yang pertama kalinya mengenal api sehingga terjadi perubahan pola
memperoleh makanan yang semula mengandalkan makanan dari alam menjadi pola
berburu dan menangkap ikan.
Peralatan yang telah ditemukan pada tahun 1935 oleh von Koenigswald di daerah
Pacitan tepatnya di daerah Punung adalah kapak genggam atau chopper (alat
penetak) dan kapak perimbas. Kapak genggam dan kapak perimbas sangat cocok
digunakan untuk berburu. Manusia purba yang menggunakan kapak genggam hampir
merata di seluruh Indonesia, di antaranya Pacitan, Sukabumi, Ciamis, Gombong,
Lahat, Bengkulu, Bali, Flores dan Timor. Di daerah Ngandong dan Sidoarjo
ditemukan pula alat-alat dari tulang, batu dan tanduk rusa dalam bentuk mata
panah, tombak, pisau dan belati. Di dekat Sangiran ditemukan alat-alat
berukuran kecil yang terbuat dari batu-batu indah yang bernama flakes
(serpihan).
Zaman Mezolitikum artinya zaman batu madya (mezo) atau pertengahan. Zaman
ini disebut pula zaman ”mengumpulkan makanan (food gathering) tingkat lanjut”,
yang dimulai pada akhir zaman es, sekitar 10.000 tahun yang lampau.
Para ahli memperkirakan manusia yang hidup pada zaman ini adalah bangsa Melanesoide yang merupakan nenek moyang orang Papua, Semang, Aeta, Sakai, dan Aborigin. Sama dengan zaman Palaeolitikum, manusia zaman Mezolitikum mendapatkan makanan dengan cara berburu dan menangkap ikan. Mereka tinggal di gua-gua di bawah bukit karang (abris souche roche), tepi pantai, dan ceruk pegunungan. Gua abris souche roche menyerupai ceruk untuk dapat melindungi diri dari panas dan hujan.
Para ahli memperkirakan manusia yang hidup pada zaman ini adalah bangsa Melanesoide yang merupakan nenek moyang orang Papua, Semang, Aeta, Sakai, dan Aborigin. Sama dengan zaman Palaeolitikum, manusia zaman Mezolitikum mendapatkan makanan dengan cara berburu dan menangkap ikan. Mereka tinggal di gua-gua di bawah bukit karang (abris souche roche), tepi pantai, dan ceruk pegunungan. Gua abris souche roche menyerupai ceruk untuk dapat melindungi diri dari panas dan hujan.
Hasil peninggalan budaya manusia pada masa itu adalah berupa alat-alat
kesenian yang ditemukan di gua-gua dan coretan (atau lukisan) pada dinding gua,
seperti di gua Leang-leang, Sulawesi Selatan, yang ditemukan oleh Ny. Heeren
Palm pada 1950. Van Stein Callenfels menemukan alat-alat tajam berupa mata
panah, flakes, serta batu penggiling di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo, dan
Madiun.
Selain itu, hasil peninggalannya ditemukan di tempat sampah berupa dapur
kulit kerang dan siput setinggi 7 meter di sepanjang pantai timur Sumatera yang
disebut kjokkenmoddinger. Peralatan yang ditemukan di tempat itu adalah kapak
genggam Sumatera, pabble culture, dan alat berburu dari tulang hewan.
Zaman Neolitikum artinya zaman batu muda. Di Indonesia, zaman Neolitikum
dimulai sekitar 1.500 SM. Cara hidup untuk memenuhi kebutuhannya telah
mengalami perubahan pesat, dari cara food gathering menjadi food producting,
yaitu dengan cara bercocok tanam dan memelihara ternak. Pada masa itu manusia sudah
mulai menetap di rumah panggung untuk menghindari bahaya binatang buas.
Manusia pada masa Neolitikum ini pun telah mulai membuat lumbung-lumbung
guna menyimpan persediaan padi dan gabah. Tradisi menyimpan padi di lumbung ini
masih bisa dilihat di Lebak, Banten. Masyarakat Baduy di sana begitu menghargai
padi yang dianggap pemberian Nyai Sri Pohaci. Mereka tak perlu membeli beras
dari pihak luar karena menjualbelikan padi dilarang secara hukum adat. Mereka
rupanya telah mempraktikkan swasembada pangan sejak zaman nenek moyang.
Pada zaman ini, manusia purba Indonesia telah mengenal dua jenis peralatan,
yakni beliung persegi dan kapak lonjong. Beliung persegi menyebar di Indonesia
bagian Barat, diperkirakan budaya ini disebarkan dari Yunan di Cina Selatan
yang berimigrasi ke Laos dan selanjutnya ke Kepulauan Indonesia. Kapak lonjong
tersebar di Indonesia bagian timur yang didatangkan dari Jepang, kemudian
menyebar ke Taiwan, Filipina, Sulawesi Utara, Maluku, Irian dan kepulauan
Melanesia.
Contoh dari kapak persegi adalah yang ditemukan di Bengkulu, terbuat dari
batu kalsedon; berukuran 11,7×3,9 cm, dan digunakan sebagai benda pelengkap
upacara atau bekal kubur. Sedangkan kapak lonjong yang ditemukan di Klungkung,
Bali, terbuat dari batu agats; berukuran 5,5×2,5 cm; dan digunakan dalam
upacara-upacara terhadap roh leluhur. Selain itu ditemukan pula sebuah kendi
yang dibuat dari tanah liat; berukuran 29,5×19,5 cm; berasal dari Sumba, Nusa
Tenggara Timur. Kendi ini digunakan sebagai bekal kubur.
Zaman Megalitikum artinya zaman batu besar. Pada zaman ini manusia sudah
mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme merupakan kepercayaan
terhadap roh nenek moyang (leluhur) yang mendiami benda-benda, seperti pohon,
batu, sungai, gunung, senjata tajam. Sedangkan dinamisme adalah bentuk
kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki kekuatan atau tenaga gaib yang dapat
memengaruhi terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam kehidupan manusia.
Dari hasil peninggalannya, diperkirakan manusia pada Zaman Megalitikum ini sudah mengenal bentuk kepercayaan rohaniah, yaitu dengan cara memperlakukan orang yang meninggal dengan diperlakukan secara baik sebagai bentuk penghormatan.
Dari hasil peninggalannya, diperkirakan manusia pada Zaman Megalitikum ini sudah mengenal bentuk kepercayaan rohaniah, yaitu dengan cara memperlakukan orang yang meninggal dengan diperlakukan secara baik sebagai bentuk penghormatan.
Adanya kepercayaan manusia purba terhadap kekuatan alam dan makhluk halus
dapat dilihat dari penemuan bangunan-bangunan kepercayaan primitif. Peninggalan
yang bersifat rohaniah pada era Megalitikum ini ditemukan di Nias, Sumba,
Flores, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan, dalam bentuk
menhir, dolmen, sarkofagus, kuburan batu, punden berundak-undak, serta
arca.
Menhir adalah tugu batu sebagai tempat pemujaan; dolmen adalah meja batu
untuk menaruh sesaji; sarkopagus adalah bangunan berbentuk lesung yang
menyerupai peti mati; kuburan batu adalah lempeng batu yang disusun untuk
mengubur mayat; punden berundak adalah bangunan bertingkat-tingkat sebagai
tempat pemujaan; sedangkan arca adalah perwujudan dari subjek pemujaan yang
menyerupai manusia atau hewan.
Batu menhir pun ditemukan di Sumatera Barat. Menhir ini ditanam dengan
posisi menghadap Gunung Sago (”sago” artinya sawarga atau surga). Dalam
tradisinya dikenal pemujaan terhadap gunung yang dianggap sebagai tempat
bermukim roh nenek moyang atau penguasa alam.
Manusia purba Indonesia hanya mengalami Zaman Perunggu tanpa melalui zaman
tembaga. Kebudayaan Zaman Perunggu merupakan hasil asimilasi dari antara
masyarakat asli Indonesia (Proto Melayu) dengan bangsa Mongoloid yang membentuk
ras Deutero Melayu (Melayu Muda). Disebut zaman perunggu karena pada masa ini
manusianya telah memiliki kepandaian dalam melebur perunggu.
Di kawasan Asia Tenggara, penggunaan logam dimulai sekitar tahun 3000-2000 SM. Masa penggunaan logam, perunggu, maupun besi dalam kehidupan manusia purba di Indonesia disebut masa Perundagian. Alat-alat besi yang banyak ditemukan di Indonesia berupa alat-alat keperluan sehari-hari, seperti pisau, sabit, mata kapak, pedang, dan mata tombak.
Di kawasan Asia Tenggara, penggunaan logam dimulai sekitar tahun 3000-2000 SM. Masa penggunaan logam, perunggu, maupun besi dalam kehidupan manusia purba di Indonesia disebut masa Perundagian. Alat-alat besi yang banyak ditemukan di Indonesia berupa alat-alat keperluan sehari-hari, seperti pisau, sabit, mata kapak, pedang, dan mata tombak.
Pembuatan alat-alat besi memerlukan teknik dan keterampilan khusus yang
hanya mungkin dimiliki oleh sebagian anggota masyarakat, yakni golongan undagi.
Di luar Indonesia, berdasarkan bukti-bukti arkeologis, sebelum manusia
menggunakan logam besi mereka telah mengenal logam tembaga dan perunggu
terlebih dahulu. Mengolah bijih menjadi logam lebih mudah untuk tembaga
daripada besi.
Teknik peleburan perunggu ini berasal dari budaya Dong Son di Tonkin
(Vietnam). Kapak-kapak perunggu yang dibuat di Indonesia terdiri dari berbagai
bentuk dan ukuran. Salah satu bentuk yang menarik adalah kapak candrasa yang
ditemukan di Jawa dan kapak-kapak upacara lain yang ditemukan di Bali dan Roti.
Candrasa dari Pulau Roti dibuat dari perunggu, berukuran 78×41,5 cm. Pada mata
kapak ini terdapat hiasan kepala manusia atau topeng dengan kedua telapak
tangan terbuka di samping pipinya, dipadu dengan hiasan pola garis-garis.
Artefak yang paling menarik dari masa ini adalah genderang perunggu yang
amat besar, disebut nekara. Apakah benda ini asli dibuat oleh orang Indonesia
atau merupakan hasil impor dari Vietnam? Jawabannya belum pasti. Akan tetapi
ada genderang moko yang bentuknya tinggi dan ramping yang tentunya dibuat di
Indonesia, karena ada sisa-sisa cetakan perunggu yang telah ditemukan di Bali.
Nekara-nekara ini digunakan sebagai genderang perang dan untuk keperluan
upacara keagamaan.
Comments
Post a Comment