MODUL 06 MAPEL SEJARAH KELAS XII-IPS PERKEMBANGAN MASYARAKAT INDONESIA PADA MASA REFORMASI
Reformasi merupakan perubahan yang
radikal dan menyeluruh untuk perbaikan. Perubahan yang mendasar atas paradigma
baru atau kerangka berpikir baru yang dijiwai oleh suatu pandangan keterbukaan
dan transparansi merupakan tuntutan dalam era reformasi. Reformasi menghendaki
adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang
lebih baik secara konstitusional dalam berbagai bidang kehidupan. Ketika
terjadi krisis ekonomi, politik, hukum dan krisis kepercayan, maka seluruh
rakyat mendukung adanya reformasi dan menghendaki adanya pergantian pemimpin
yang diharapkan dapat membawa perubahan Indonesia di segala bidang ke arah yang
lebih baik.
Perkembangan Politik Pasca Pemilu 1997
Di tengah-tengah perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara terjadilah ganjalan dalam kehidupan berpolitik
menjelang Pemilu 1997 disebabkan adanya peristiwa 27 Juli 1996, yaitu adanya
kerusuhan dan perusakan gedung DPP PDI yang membawa korban jiwa dan harta.
Tekanan pemerintah Orba terhadap oposisi sangat besar dengan adanya tiga
kekuatan politik yakni PPP, GOLKAR, PDI, dan dilarang mendirikan partai politik
lain. Hal ini berkaitan dengan diberlakukan paket UU Politik, yaitu:
- UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilu,
- UU No. 2 Tahun 1985 tentang susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR, DPRD yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 5 Tahun 1995,
- UU No. 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya,
- UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Pertikaian sosial dan kekerasan politik
terus berlangsung dalam masyarakat sepanjang tahun 1996, kerusuhan meletus di
Situbondo, Jawa Timur Oktober 1996. Kerusuhan serupa terjadi di Tasikmalaya,
Jawa Barat Desember 1996, kemudian di berbagai daerah di Indonesia. Pemilu
1997, dengan hasil Golkar sebagai pemenang mutlak. Hal ini berarti dukungan
mutlak kepada Soeharto makin besar untuk menjadi presiden lagi di Indonesia
dalam sidang MPR 1998. Pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden tidak dapat
dipisahkan dengan komposisi anggota DPR/MPR yang mengandung nepotisme yang
tinggi bahkan hampir semua putra-putrinya tampil dalam lembaga negara ini.
Terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden RI dan kemudian membentuk Kabinet
Pembangunan VII yang penuh dengan ciri nepotisme dan kolusi. Mahasiswa dan
golongan intelektual mengadakan protes terhadap pelaksanaan pemerintahan ini.
Di samping hal tersebut di atas sejak 1997 Indonesia terkena imbas krisis
moneter di Asia Tenggara. Sistem ekonomi Indonesia yang lemah tidak mampu
mengatasi krisis, bahkan kurs rupiah pada 1 Agustus 1997 dari Rp2.575; menjadi
Rp5.000; per dolar Amerika. Ketika nilai tukar makin memburuk, krisis lain
menyusul yakni pada akhir tahun 1997 pemerintah melikuidasi 16 bank. Kemudian
disusul membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas
mengawasi 40 bank bermasalah. Kepercayaan dunia terhadapkepemimpinan Soeharto
makin menurun. Pada April 1998, 7 bank dibekukan operasinya dan nilai rupiah
terus melemah sampai Rp10.000 perdolar. Hal ini menyebabkan terjadinya aksi
mahasiswa di berbagai kota di seluruh Indonesia.
Keadaan makin kacau ketika pemerintah
mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan. Tanggal 4 Mei 1998 aksi
anti Soeharto makin meluas, bahkan pada tanggal 12 Mei 1998 aksi mahasiswa
Trisakti berubah menjadi bentrokan fisik yang membawa 4 kurban meninggal yakni
Elang Mulia, Hari Hartanto, Hendriawan, dan Hafiadin Royan.
1.2
Perkembangan Politik Setelah 21 Mei 1998
1. Sebab-Sebab terjadi Reformasi
Sejak 13 Mei 1998 rakyat meminta agar
Presiden Soeharto mengundurkan diri. Tanggal 14 Mei 1998 terjadi kerusuhan di
Jakarta dan di Surakarta. Tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto pulang dari
mengikuti KTT G-15 di Kairo, Mesir. Tanggal 18 Mei para mahasiswa menduduki
gedung MPR/DPR dan pada saat itu ketua DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar
Presiden Soeharto mengundurkan diri. Hal ini jelas berpengaruh terhadap nilai
tukar rupiah yang merosot sampai Rp15.000 per dollar. Dari realita di atas,
akhirnya tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada
B.J. Habibie, yang membuka peluang suksesi kepemimpinan nasional kepada B.J.
Habibie. Tujuan reformasi adalah terciptanya kehidupan dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, dan sosial yang lebih baik dari masa sebelumnya.
a. Tujuan Reformasi
1) Reformasi politik
bertujuan tercapainya demokratisasi.
2) Reformasi ekonomi
bertujuan meningkatkan tercapainya masyarakat.
3) Reformasi hukum
bertujuan tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
4) Reformasi sosial
bertujuan terwujudkan integrasi bangsa Indonesia.
b. Faktor Pendorong Terjadinya Reformasi
1) Faktor politik meliputi
hal-hal berikut.
a) Adanya KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam kehidupan pemerintahan.
b) Adanya rasa tidak
percaya kepada pemerintah Orba yang penuh dengan nepotisme dan kronisme serta
merajalelanya korupsi.
c) Kekuasaan Orba di
bawah Soeharto otoriter tertutup.
d) Adanya keinginan
demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
e) Mahasiswa
menginginkan perubahan.
2) Faktor ekonomi, meliputi
hal-hal berikut.
a) Adanya krisis mata
uang rupiah.
b) Naiknya harga
barang-barang kebutuhan masyarakat.
c) Sulitnya
mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.
3) Faktor sosial
masyarakat : adanya kerusuhan tanggal 13 dan 14 Mei 1998 yang melumpuhkan
perekonomian rakyat.
4) Faktor hukum : belum
adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama di antara warga negara.
c. Suksesi (Pergantian Pimpinan)
1) Sukarno–Soeharto,
ada beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
a) Problem pokok
adanya komunis/ PKI (nomor 4 sedunia).
b) Peristiwa Lubang Buaya.
c) Adanya dualisme:
ada pro dan anti pembubaran PKI.
d) Sidang istimewa
MPRS 1967 didahului turunnya Supersemar.
2) Soeharto–Habibie,
ada beberapa hal, antara lain sebagai berikut.
a) Problem pokok
adanya krisis ekonomi meluas ke bidang politik.
b) Adanya gerakan reformasi
yang menghendaki perubahan radikal karena KKN dalam tubuh pemerintahan.
Nepotisme berarti mengajak keluarga dalam kekuasaan. Kronisme adalah mengajak
teman-teman dalam kekuasaan.
c) Presiden Soeharto ditolak
oleh rakyat ditandai dengan didudukinya gedung DPR/MPR oleh mahasiswa, sehingga
Soeharto menyerahkan jabatan kepada Habibie.
3) Pengalaman suksesi
di Indonesia
a) Pergantian
pimpinan disertai kekerasan dan keributan dan setelah turun dari jabatan,
dihujat.
b) Menginginkan pergantian
pimpinan yang wajar, namun tidak ditemukan sebab tidak adanya pembatasan masa
jabatan.
c) Tidak adanya Chek
and Balance yaitu tidak ada keseimbangan dalamnegara yang disebabkan
kecenderungan otoriter.
d) Etika moralitas
bahwa KKN bertentangan dengan moralitas.
d. Substansi Agenda Reformasi Politik
Subsitusi agenda reformasi politik
sebagai berikut :
1) Reformasi di
bidang ideologi negara dan konstitusi.
2) Pemberdayaan DPR,
MPR, DPRD maksudnya agar lembaga perwakilan rakyat benar-benar melaksanakan
fungsi perwakilannya sebagai aspek kedaulatan rakyat dengan langkah sebagai
berikut :
a) Anggota DPR harus
benar-benar dipilih dalam pemilu yang jurdil.
b) Perlu diadakan perubahan
tata tertib DPR yang menghambat kinerja DPR.
c) Memperdayakan MPR.
d) Perlu pemisahan
jabatan ketua MPR dengan DPR.
3) Reformasi lembaga
kepresidenan dan kabinet meliputi hal-hal berikut.
a) Menghapus
kewenangan khusus presiden yang berbentuk keputusan presiden dan instruksi
presiden.
b) Membatasi penggunaan hak
prerogatif.
c) Menyusun kode etik
kepresidenan.
4) Pembaharuan
kehidupan politik yaitu memperdayakan partai politik untuk menegakkan
kedaulatan rakyat, maka harus dikembangkan system multipartai yang demokratis
tanpa intervensi pemerintah.
5) Penyelenggaraan
pemilu.
6) Birokrasi sipil
mengarah pada terciptanya institusi birokrasi yang netral dan profesional yang
tidak memihak.
7) Militer dan
dwifungsi ABRI mengarah kepada mengurangi peran social politik secara bertahap
sampai akhirnya hilang sama sekali, sehingga ABRI berkonsentrasi pada fungsi
Hankam.
8) Sistem pemerintah
daerah dengan sasaran memperdayakan otonomi daerah dengan asas desentralisasi.
e. Agenda Reformasi Bidang Ekonomi
1) Penyehatan ekonomi
dan kesejahteraan pada bidang perbankan, perdagangan, dan koperasi serta
pinjaman luar negeri untuk perbaikan ekonomi.
2) Penghapusan
monopoli dan oligopoli.
3) Mencari solusi
yang konstruktif dalam mengatasi utang luar negeri.
f. Agenda Reformasi Bidang Hukum
1) Terciptanya
keadilan atas dasar HAM.
2) Dibentuk peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan tuntutan reformasi. Misal : Bidang
ekonomi dikeluarkan UU kepailitan, dihapuskan UU subversi, sesuai semangat HAM
dilepaskan napol-tapol (amnesti-abolisi).
g. Agenda Reformasi bidang hukum
Agenda reformasi bidang hukum
difokuskan pada integrasi nasional.
h. Agenda reformasi bidang pendidikan
Agenda reformasi bidang pendidikan
ditujukan terutama masalah kurikulum yang harus ditinjau paling sedikit lima
tahunan.
i. Hambatan pelaksanaan reformasi
politik
1) Hambatan kultural
: mengingat pergantian kepemimpinan nasional dari Soeharto ke B.J. Habibie
tidak diiringi pergantian rezim yang berarti sebagian besar anggota kabinet,
gubernur, birokrasi sipil, komposisi anggota DPR/MPR masih peninggalan rezim
Orba.
2) Hambatan
legitimasi : pemerintah B.J. Habibie karena belum merupakan hasil pemilu.
3) Hambatan
struktural : berkaitan dengan krisis ekonomi yang berlarut-larut yang berdampak
bertambah banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan.
4) Munculnya berbagai
tuntutan otonomi daerah, yang jika tidak ditangani secara baik akan menimbulkan
disintegrasi bangsa.
5) Adanya kesan
kurang kuat dalam menegakkan hukum terhadap praktik penyimpangan
politik-ekonomi rezim lama seperti praktik KKN.
6) Terkotak-kotaknya
elite politik, maka dibutuhkan kesadaran untuk bersama – sama menciptakan
kondisi politik yang mantap agar transformasi politik berjalan lancar.
- 1. Jatuh Bangunnya Pemerintahan RI Setelah 21 Mei 1998
Pemilihan umum dilaksanakan pada 7 Juni
1999. Dari seratus lebih partai politik yang terdaftar, hanya 48 partai politik
yang dinyatakan memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilihan umum. Lima besar
hasil Pemilu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan),
Partai Golongan Karya (Partai Golkar), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) dan sekaligus
merupakan lima penyusunan keanggotaan MPR yang menempatkan Amin Rais sebagai
Ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR RI. Sidang Umum MPR pada tanggal
19 Oktober 1999 menolak laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie yang
disampaikan pada tanggal 16 Oktober 1999. Faktor penting yang menyebabkan
ditolaknya laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie adalah patut diduga
bahwa presiden menguraikan indikator pertumbuhan ekonomi yang tidak akurat dan
manipulatif.
Sidang Umum MPR juga berhasil mengambil
keputusan memilih dan menetapkan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai
Presiden RI masa bakti 1999–2004. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dalam
menjalankan pemerintahan didampingi Wapres Megawati Sukarnoputri. Sidang Umum
MPR setelah berhasil menetapkan Presiden dan Wakil Presiden RI juga berhasil
membuat sembilan ketetapan dan untuk kali pertama melakukan amandemen terhadap
UUD 1945. Presiden Abdurrahman Wahid menjalankan pemerintahan dengan membentuk
kabinet yang disebut Kabinet Persatuan Nasional.
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
berjasa dalam membuka kran kebebasan berpendapat dalam rangka demokrasi di
Indonesia. Rakyat diberi kebebasan seluas-luasnya untuk berpendapat hingga
akhirnya terjadi kebingungan dan kebimbangan mengenai benar dan tidaknya suatu
hal. Pemerintah sendiri juga tidak pernah tegas dalam memberikan pernyataan
terhadap suatu masalah. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid secara umum
belum mampu melepaskan bangsa Indonesia keluar dari krisis yang dialaminya.
Fakta yang ada justru menunjukkan makin banyak terjadi pengangguran, naiknya
harga-harga, dan bertambahnya jumlah penduduk yang berada di garis kemiskinan.
Disintegrasi bangsa juga makin meluas meskipun telah diusahakan penyelesaian,
misalnya pergantian nama Irian Jaya menjadi
Papua. Pertentangan DPR dengan lembaga
kepresidenan juga makin transparan.
Banyak sekali teguran DPR yang tidak
pernah diindahkan Presiden Abdurrahman Wahid. Puncak pertentangan itu muncul
dalam masalah yang dikenal sebagai Bruneigate dan Buloggate. Kasus Buloggate
menyebabkan lembaga DPR mengeluarkan teguran keras kepada presiden dalam bentuk
memorandum I sampai II. Intinya agar presiden kembali bekerja sesuai GBHN yang
telah diamanatkan. Presiden Abdurrahman Wahid tidak mengindahkan peringatan DPR
tersebut. DPR akhirnya bertindak meminta MPR menggelar siding istimewa untuk
meminta pertanggungjawaban kinerja presiden. Presiden berusaha menyelesaikan
masalah laporan pertanggungjawaban dengan kompromi politik. Namun, upaya itu
tidak mendapat sambutan positif lima dari enam partai politik pemenang Pemilu
1999, yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PAN, dan Partai Bulan Bintang.
Partai Kebangkitan Bangsa sebagai basis politik K.H. Abdurrahman Wahid jelas
mendukung langkah-langkahnya.
Sikap MPR untuk menggelar sidang
istimewa makin tegas setelah presiden secara sepihak melantik pemangku
sementara jabatan Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal (Pol) Chaerudin
Ismail menggantikan Kapolri Jenderal Suroyo Bimantoro yang telah dinonaktifkan
karena berseberangan pendapat dengan presiden. Padahal sesuai aturan yang
berlaku pengangkatan jabatan setingkat Kapolri meskipun itu hak prerogatif
presiden harus tetap berkoordinasi dengan DPR. Presiden sendiri dalam
menanggapi rencana sidang istimewa berusaha mencari kompromi politik yang
sama-sama menguntungkan. Namun, jika sampai tanggal 31 Juli 1998 kompromi ini
tidak didapatkan, presiden akan menyatakan negara dalam keadaan bahaya. MPR
berencana menggelar sidang istimewa mulai tanggal 21 Juli 2001. Presiden
direncanakan akan memberikan laporan pertanggungjawabannya pada tanggal 23 Juli
2003. Namun, presiden menolak rencana tersebut dan menyatakan Sidang Istimewa
MPR tidak sah dan ilegal.
Di lain pihak, beberapa pimpinan partai
politik lima besar pemenang pemilu minus PKB mulai mendekati dan mendorong
Wapres Megawati Sukarnoputri untuk maju menjadi presiden. Melihat perkembangan
politik yang tidak menguntungkan tersebut, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid
menengarai adanya persekongkolan untuk menjatuhkan dirinya sebagai presiden. Oleh
karena itu, presiden segera bertindak meskipun tidak mendapat dukungan
penuhdari kabinetnya untuk mengeluarkan Dekret Presiden pada tanggal 23
Juli 2001 pukul 1.10 WIB dini hari. Dekret Presiden 23 Juli 2001 pada intinya
berisi hal sebagai berikut:
- membekukan MPR dan DPR RI;
- mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun;
- menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur orde baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Bangsa Indonesia menanggapi Dekret
Presiden itu dengan penuh kebimbangan. MPR pada tanggal 23 Juli 2001 pukul 8.00
WIB, akhirnya bersikap bahwa dekret tidak sah dan presiden jelas-jelas telah
melanggar haluan negara yang diembannya. Pernyataan MPR didukung oleh fatwa
Mahkamah Agung yang langsung dibacakan pada Sidang Istimewa MPR itu. Sidang
Istimewa MPR terus berjalan meskipun PKB dan PDKB menyatakan walk out dan tidak
bertanggung jawab atas hasil apapun dari Sidang Istimewa MPR. Fraksi-fraksi MPR
yang ada akhirnya setuju memberhentikan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden
RI dan menetapkan Megawati Sukarnoputri sebagai Presiden RI. Keputusan
menetapkan Megawati Sukarnoputri sebagai presiden dituangkan dalam Tap. MPR No.
III/MPR/2001. Masa jabatan terhitung sejak dilantik sampai tahun 2004 atau
melanjutkan sisa masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid. Hamzah Haz
terpilih Wakil Presiden RI. Presiden Megawati Sukarnoputri menjalankan
pemerintahan dengan membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet Gotong Royong.
Komposisi kabinet ini ditetapkan pada tanggal 9 Agustus 2001. Persoalan berat
yang dihadapi bangsa Indonesia telah menghadang Presiden Megawati dan kabinetnya
untuk diselesaikan secepatnya.
Peserta Pemilu Zaman reformasi sebayak
48 partai politik, yaitu :
1) PIB
: Partai Indonesia Baru
2) KRISNA
: Partai Kristen Indonesia
3) PNI
: Partai Nasonal Indonesia
4) PADI
: Partai Aliansi Demokrat Indonesia
5) KAMI
: Partai Kebangitan Muslim Indonesia
6) PUI
: Partai Umat Islam
7) PKU
: Partai Kebangkitan Umat
8) Masyumi Baru
9) PPP
: Partai Persatuan Indonesia
10) PSII
: Partai Syariat Islam Indonesia
11) PDI Perjuangan
12) PAY
: Partai Abu Yatama
13) PKM
: Partai Kebangsaan Merdeka
14) PDKB
: Partai Demokrasi Kasih Bangsa
15) PAN
: Partai Amanat Nasional
16) PRD
: Partai Rakyat Demokrasi
17) PSII
: Partai Syarikat Islam Indonesia 1905
18) PKRD
: Partai Keadilan Rakyat Demokrasi
19) PILAR
: Partai Pilihan Rakyat
20) PARI
: Partai Rakyat Indonesia
21) MASYUMI
22) PBB
: Partai Bulan Bintang
23) PSP
: Partai Solidaritas Pekerja
24) PK
: Partai Keadilan
25) PNU
: Partai Nahdatul Umat
26) PNI Front
Marhenis
27) IPKI
: Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
28)Partai Republik
29) PID
: Partai Islam Demokrat
30) PNI Massa Marhenis
31) MURBA
: Partai Musyawarah Rakyat
32) PDI
: Partai Demokrasi Indonesia
33) Golkar
: Golongan Karya
34) PP
: Partai Persatuan
35) PKB
: Partai Kebangkitan Bangsa
36) PUDI
: Partai Uni Demokrasi Indonesia
37) PBN
: Partai Buruh Nasional
38) MKGR
: Partai Musyawarah Gotong Royong
39)
PDR : Partai
Daulat Rakyat
40) Partai Cinta Damai
41)PKP
: Partai Keadilan dan
Persatuan
42) PSPSI
: Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia
43) PNBI
: Partai Nasional
Bangsa Indonesia
44)PBI
:
Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia
45) SUNI
: Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
46) PND
: Partai Nasional Demokrat
47) PUMI
: Partai Umat Muslimin Indonesia
48) PPI
: Partai Pekerja Indonesia
3. Kondisi Sosial dan Politik Bangsa
Indonesia Setelah 21 Mei 1998
Perubahan politik di Indonesia sejak
bulan Mei 1998 merupakan babak baru bagi penyelesaian masalah Timor Timur.
Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie telah menawarkan
pilihan, yaitu pemberian otonomi khusus kepada Timor Timur di dalam Negara
Kesatuan RI atau memisahkan diri dari Indonesia. Melalui perundingan yang
disponsori oleh PBB, di New York, Amerika Serikat pada tanggal 5 Mei 1999
ditandatangani kesepakatan tripartit antara Indonesia, Portugal, dan PBB untuk
melakukan jajak pendapat mengenai status masa depan Timor Timur.
PBB kemudian membentuk misi PBB di
Timor Timur atau United Nations Assistance Mission in East Timor (UNAMET). Misi
ini bertugas melakukan jajak pendapat. Jajak pendapat diselenggarakan tanggal
30 Agustus 1999. Jajak pendapat diikuti oleh 451.792 penduduk Timor Timur
berdasarkan criteria UNAMET. Jajak pendapat diumumkan oleh PBB di New York dan
Dili pada tanggal 4 September 1999. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa 78,5%
penduduk Timor Timur menolak menerima otonomi khusus dalam NKRI dan 21,5%
menerima usul otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah RI. Ini berarti Timor
Timur harus lepas dari Indonesia. Ketetapan MPR No. V/MPR/ 1999 tentang
Penentuan Pendapat Rakyat di Timor Timur menyatakan mencabut berlakunya Tap.
MPR No. V/MPR/1978. Selain itu, mengakui hasil jajak pendapat tanggal 30
Agustus 1999 yang menolak otonomi khusus.
Pengalaman lepasnya Timor Timur dari
Indonesia menjadikan pemerintah lebih waspada terhadap masalah Aceh dan Papua.
Sikap politik pemerintah di era reformasi terhadap penyelesaian masalah Aceh
dan Papua dilakukan dengan memberi otonomi khusus pada dua daerah tersebut.
Untuk lebih memberi perhatian dan semangat pada penduduk Irian Jaya, di era kepemimpinan
Presiden Abdurrahman Wahid nama Irian Jaya diganti menjadi Papua.
Pemerintah pusat juga memberi otonomi
khusus pada wilayah Papua. Dengan demikian, pemerintah telah berusaha merespon
sebagian keinginan warga Papua untuk dapat lebih memaksimalkan segala
potensinya untuk kesejahteraan rakyat Papua sendiri. Meskipun begitu, masih
saja terjadi usaha untuk memisahkan diri dari NKRI, terutama yang dipimpin oleh
Theys H. Eluoy, Ketua Presidium Dewan Papua. Gerakan Papua Merdeka sempat
mereda setelah Theys H. Eluoy tewas tertembak pada tanggal 11 November 2001
yang diduga dilakukan oleh beberapa oknum TNI dari Satgas Tribuana X.
Penyelesaian konflik seperti itu sebenarnya tidak dikehendaki pemerintah, namun
ada saja oknum yang memancing di air keruh sehingga menimbulkan ketegangan.
Keinginan sebagian rakyat untuk merdeka
telah menyebabkan pemerintah bertindak keras. Apalagi setelah pengalaman Timor
Timur dan pemberian otonomi khusus pada rakyat tidak memberikan hasil maksimal.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, Aceh telah mendapat
otonomi khusus dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, keinginan
baikpemerintah kurang mendapat sambutan sebagian rakyat Aceh. Kelompok
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap pada
tuntutannya, yaitu ingin Aceh merdeka. Akibatnya, di Aceh sering terjadi
gangguan keamanan, seperti penghadangan dan perampokan truk-truk pembawa
kebutuhan rakyat, serta terjadinya penculikan dan pembunuhan pada tokoh-tokoh
yang memihak Indonesia. Agar keadaan tidak makin parah, pemerintah pusat dengan
persetujuan DPR, akhirnya melaksanakan operasi militer di Aceh. Hukum darurat
militer diberlakukan di Aceh. Para pendukung Gerakan Aceh Merdeka ditangkap.
Namun demikian, operasi militer juga tetap saja menyengsarakan warga sipil
sehingga diharapkan dapat segera selesai.
`Gejolak politik di era reformasi juga
ditandai dengan banyaknya teror bom di Indonesia. Teror bom terbesar terjadi di
sebuah tempat hiburan di Legian, Kuta, Bali yang menewaskan ratusan orang
asing. Pada tanggal 12 Oktober 2002 bom berikutnya sempat memporak-porandakan
Hotel J.W. Marriot di Jakarta beberapa
waktu lalu. Keadaan yang tidak aman dan
banyaknya teror bom memperburuk citra Indonesia di mata internasional sehingga
banyak investor yang batal menanamkan modal di Indonesia. Kondisi politik
Indonesia yang kurang menguntungkan tersebut diperparah dengan tidak
ditegakkannya hukum dan hak asasi manusia (HAM) sebagaimana mestinya. Berbagai
kasus pelanggaran hukum dan HAM terutama yang menyangkut tokoh-tokoh politik,
konglomerat, dan oknum TNI tidak pernah terselesaikan secara adil dan jujur.
Oleh karena itu, rakyat makin tidak percaya pada penguasa meskipun dua kali
telah terjadi pergantian pimpinan negara sejak Soeharto tidak menjadi Presiden
RI.
Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Berbagai Daerah
Sejak Reformasi
Tuntutan reformasi menghendaki adanya
perubahan dan perbaikan di segala aspek kehidupan yang lebih baik. Namun, pada
praktiknya tuntutan reformasi telah disalahgunakan oleh para petualang politik
hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pada era reformasi, konflik
yang terjadi di masyarakat makin mudah terjadi dan sering kali bersifat etnis
di berbagai daerah. Kondisi sosial masyarakat yang kacau akibat lemahnya hukum
dan perekonomian yang tidak segera kunjung membaik menyebabkan sering terjadi
gesekan-gesekan dalam masyarakat. Beberapa konflik sosial yang terjadi pada era
reformasi berlangsung di beberapa wilayah, antara lain sebagai berikut :
1. Kalimantan Barat
Konflik sosial yang terjadi di Kalimantan
Barat melibatkan etnik Melayu, Dayak, dan Madura. Kejadian bermula dari
tertangkapnya seorang pencuri di Desa Parisetia, Kecamatan Jawai, Sambas,
Kalimantan Barat yang kemudian dihakimi hingga tewas pada tanggal 19 Januari
1999. Kebetulan pencuri tersebut beretnis Madura, sedangkan
penduduk Parisetia beretnis Dayak dan
Melayu. Entah isu apa yang beredar di masyarakat menyebabkan penduduk Desa
Sarimakmur yang kebanyakan dihuni etnis Madura melakukan aksi balas dendam
dengan menyerang dan merusak segala sesuatu di Desa Parisetia. Akibatnya,
terjadi aksi saling balas dendam antar etnis tersebut dan menjalar ke berbagai
daerah di Kalimantan Barat. Pemerintah berusaha mendamaikan konflik tersebut
dengan mengajak tokoh masyarakat dari masing-masing etnis yang ada untuk
membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat. Dengan wadah tersebut
segala permasalahan dicoba diselesaikan secara damai.
2. Kalimantan Tengah
Konflik sosial di Kalimantan Barat
ternyata terjadi juga di Kalimantan Tengah. Pada tanggal 18 Februari 2001 pecah
konflik antara etnis Madura dan Dayak. Konflik itu diawali dengan terjadinya
pertikaian perorangan antaretnis di Kalimantan Tengah. Ribuan rumah dan ratusan
nyawa melayang sia-sia akibat pertikaian antaretnis tersebut. Sebagian pengungsi
dari etnis Madura yang diangkut dari Sampit untuk kembali ke kampung halamannya
di Madura ternyata juga menimbulkan masalah di kemudian hari. Kondisi Pulau
Madura yang kurang menguntungkan menyebabkan sebagian warganya menolak
kedatangan para pengungsi itu. Sampai sekarang pun pengungsi Sampit masih
menjadi masalah pemerintah.
3. Sulawesi Tengah
Konflik sosial di Sulawesi Tengah
tepatnya di daerah Poso berkembang menjadi konflik antaragama. Kejadian bermula
dipicu oleh perkelahian antara Roy Luntu Bisalembah (Kristen) yang kebetulan
sedang mabuk dengan Ahmad Ridwan (Islam) di dekat Masjid Darussalam pada
tanggal 26 Desember 1998. Entah isu apa yang berkembang di masyarakat
perkelahian dua orang berbeda agama itu berkembang menjadi ketegangan
antaragama di Poso, Sulawesi Tengah. Konflik tersebut juga menyebabkan ratusan
rumah dan tempat ibadah hancur. Puluhan, bahkan ratusan nyawa melayang akibat
konflik tersebut. Konflik sempat mereda, tetapi masuknya beberapa orang asing
ke daerah konflik tersebut menyebabkan ketegangan dan kerusuhan terjadi lagi.
Beberapa dialog digelar untuk meredakan konflik tersebut, seperti pertemuan
Malino yang dilakukan pada tanggal 19–20 Desember 2001.
4. Maluku
Konflik sosial yang dipicu oleh konflik
agama juga terjadi di Maluku. Kejadian diawali dengan bentrokan antara warga
Batumerah, Ambon, dan sopir angkutan kota pada tanggal 19 Januari 1999. Namun,
seperti konflik yang terjadi di wilayah Indonesia lainnya, tanpa tahu isu apa
yang beredar di masyarakat, terjadi ketegangan antarwarga. Puncaknya terjadi
kerusuhan massa dengan disertai pembakaran Masjid Al-Falah. Warga Islam yang
tidak terima segera membalas dengan pembakaran dan perusakan gereja. Konflik
meluas menjadi antaragama. Namun, anehnya konflik yang semula antaragama
berkembang menjadi gerakan separatis. Sebagian warga Maluku pada tanggal 25
April 2002 membentuk Front Kedaulatan Maluku dan mengibarkan bendera Republik
Maluku Selatan (RMS) di beberapa tempat. Upaya menurunkan bendera tersebut
menimbulkan korban. Mereka gigih mempertahankannya. Sampai sekarang konflik
Maluku itu belum dapat diatasi dengan tuntas.
Dari beberapa kejadian itu terlihat
betapa di era reformasi terjadi pergeseran pelaku kekerasan. Di era orde baru,
kekerasan lebih banyak dilakukan oleh oknum ABRI daripada warga sipil. Namun,
pada era reformasi kekerasan justru diperlihatkan oleh sesama warga sipil.
Masyarakat makin beringas dan hukum seperti tidak ada. Banyak kejadian kriminal
yang pelakunya tertangkap basah langsung dihakimi bahkan sampai meninggal oleh
masyarakat. Kinerja para penegak hukum sepertinya sudah tidak dapat dipercaya
lagi. Masyarakat sudah muak melihat berbagai kasus besar yang melibatkan
pejabat negara dan oknum militer tidak tertangani sampai tuntas meskipun mereka
dinyatakan bersalah. Sedangkan mengenai masalah ekonomi, selama masa tiga bulan
kekuasaan pemerintah B.J. Habibie, ekonomi Indonesia belum mengalami perubahan
yang berarti. Enam dari tujuh bank yang telah dibekukan dan dilikuidasi
pemerintah pada bulan Agustus 1998. Nilai rupiah terhadap mata uang asing masih
tetap lemah di atas Rp10.000,00 per dolar Amerika Serikat. Persediaan sembilan
bahan pokok di pasaran juga makin berkurang dan harganya meningkat cepat.
Misalnya, pada bulan Mei 1998, harga satu kilogram beras rata-rata Rp1.000,00,
namun harga tersebut sempat naik menjadi di atas Rp3.000,00 per kilogram pada
bulan Agustus 1998. Antrian panjang masyarakat membeli beras dan minyak goreng
mulai terlihat di berbagai tempat. Oleh karena keadaan ekonomi yang parah
menyebabkan rakyat Indonesia melakukan segala tindakan untuk sekadar dapat
mencukupi kebutuhan. Penjarahan adalah pemandangan biasa yang dijumpai pada
awal-awal pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Penjarahan mereka lakukan
terhadap tempat – tempat yang dapat membantu kelangsungan hidup. Kayu-kayu di
hutan lindung mereka tebangi, tambak udang dan ikan bandeng yang siap panen
mereka sikat, lahan-lahan tidur milik orang kaya terutama mantan para penguasa
orde baru mereka tempati. Mereka dengan mengatasnamakan rakyat kecil atau wong
cilik melakukan tindakan itu semua. Pemerintah yang tidak berwibawa tidak mampu
mengatasi semua itu. Aparat penegak hukum pun tidak berkutik dibuatnya.
Pemerintah Indonesia pun
sebenarnya berusaha memulihkan keadaan ekonomi nasional dengan menjalin kerja
sama dengan Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Namun, kebijaksanaan ekonomi pemerintah Indonesia atas saran dua lembaga
keuangan dunia malah memperburuk situasi ekonomi nasional. Dua lembaga keuangan
dunia itu menyarankan agar subsidi pemerintah untuk listrik, BBM, dan telepon
dicabut. Akibatnya, terjadi kenaikan biaya pada ketiga sektor tersebut sehingga
rakyat makin terjepit. Atas desakan rakyat Indonesia, akhirnya pemerintah
memutuskan hubungan dengan dua lembaga keuangan pada masa pemerintahan Presiden
Megawati Sukarnoputri. Para pemilik bank (bankir) di Indonesia juga ikut
memperburuk keadaan dengan membawa lari dana penyehatan bank (dana BLBI) yang
mereka terima. Maksud pemerintah sebenarnya baik, yaitu ikut membantu
menyehatkan bank akibat krisis keuangan yang menimpa. Akan tetapi, mental
mereka memang sudah rusak sehingga dana itu malah dipakai untuk hal lain
sehingga mereka tidak bisa mengembalikan.
Sungguhpun begitu, pemerintah tetap
berusaha memulihkan keadaan ekonomi Indonesia. Segala cara dilakukan agar
rakyat segera terlepas dari krisis ini. Partisipasi dari setiap warga negara
sangat diharapkan untuk dapat segera memulihkan keadaan mewujudkan masyarakat
adil dan makmur sesuai Pembukaan UUD 1945.
Semangat Produktivitas
Bentuklah kelompok belajar yang terdiri
atas 4 orang siswa (usahakan yang berasal dari daerah yang berbeda)!
Amati kegiatan pemerintahan di
kalurahanmu di masa reformasi sekarang ini! Identifikasi kegiatan kepala desa
dan perangkatnya, bagaimana upaya peningkatan kemakmuran rakyat? Bagaimana
pelayanan terhadap masyarakat? Bagaimana perangkat desa merelisasi uang
kompensasi BBM dari pemerintah kepada warganya yang kurang mampu?
Rangkuman
a) Kuatnya peran
negara dalam menjalankan kontrol terhadap aktivitas rakyat menyebabkan bangsa
Indonesia menuntut adanya reformasi.
b) Reformasi yang
dijalankan di Indonesia lambat laun mengalami perubahan arah dan tujuan setelah
para petualang politik dengan mengatasnamakan rakyat terlibat di dalamnya.
c) Dengan dalih
warisan kebobrokan pemerintahan orde baru, para petualang politik mencari keuntungan
di tengah kegelisahan masyarakat.
d) Ketidakmampuan
mengelola negara karena telah dimuati kepentingan kelompok dan ambisi pribadi
selalu dijadikan kambing hitam bahwa itu warisan orde baru.
e) Jabatan Presiden R
I yang disandang B.J. Habibie, meskipun masih menimbulkan pro dan kontra di
kalangan masyarakat (khususnya akademisi) telah membawa beberapa perubahan di
berbagai aspek kehidupan.
f) Reformasi
yang dilakukan pemerintahan B.J. Habibie, antara lain pemberian amnesti pada
para tahanan dan narapidana politik, kebebasan pers, dan pendirian
partai-partai politik untuk menghadapi pemilu yang dipercepat.
g) Kesalahan besar
yang dilakukan pemerintahan B.J. Habibie dalam menjalankan reformasi di
Indonesia adalah lepasnya Timor Timur dari NKRI.
h) K.H. Abdurrahman
Wahid menjabat sebagai presiden menggantikan B. J. Habibie berdasarkan
kepitusan dalam Sidang Umum MPR.
i) Kasus
Bruneigate dan Buloggate menyebabkan DPR mengeluarkan memorandum bagi Presiden
Abdurrahman Wahid.
j) MPR akhirnya
memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden melalui Sidang Istimewa dan
digantikan Megawati Soekarno Putri.
Comments
Post a Comment