MODUL SEJARAH INDONESIA XI-1 PERGERAKAN NASIONAL MENUJU KEMERDEKAAN RI
Kata “Pergerakan Nasional“ memiliki suatu pengertian yang
khas yakni merupakan sebuah perjuangan yang dilakukan oleh organisasi secara
modern ke arah perbaikan hajat hidup bangsa Indonesia yang disebabkan rasa
ketidakpuasan terhadap keadaan masyarakat yang ada. Dengan demikian istilah ini
mengandung arti yang sangat luas. Gerakan yang mereka jalankan memang tidak
hanya terbatas untuk memperbaiki taraf hidup bangsa tetapi juga meliputi
gerakan di berbagai sektor, seperti: sosial, ekonomi, pendidikan, keagamaan, kebudayaan, wanita, pemuda dan
lain-lain.
Istilah “nasional” berarti bahwa pergerakan-pergerakan
tersebut mempunyai cita-cita nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsanya
yang masih terjajah. Disamping itu, sifat pergerakan pada masa ini lebih
bersifat nasional bila dibanding dengan sifat pergerakan sebelumnya yang
bercorak kedaerahan.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya pergerakan
nasional, antara lain adalah :
a. Faktor yang berasal dari luar negeri (eksternal), antara
lain: pada waktu itu pada umumnya bangsa-bangsa di Asia sedang menghadapi
imperialisme Barat. Hal inilah yang mendorong bangkitnya nasionalisme Asia.
Selain itu kemenangan Jepang dalam perang melawan Rusia tahun 1905 juga
membuktikan bahwa ternyata Bangsa Timur dapat juga mengalahkan Bangsa Barat.
Disamping adanya gerakan Turki Muda yang bertujuan mencari perbaikan nasib.
b. Faktor yang berasal dari dalam negeri (internal), yaitu
adanya rasa tidak puas, penderitaan, rasa kesedihan dan kesengsaraan dari
bangsa Indonesia terhadap penjajahan dan penindasan kolonial. Ketidakpuasan itu
sebenarnya sudah lama mereka ungkapkan melalui perlawanan bersenjata melawan
Belanda di berbagi daerah, antara lain: perlawanan yang dipimpin oleh
Pattimura, Teuku Umar, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro dll. Namun
perlawanan-perlawanan itu menemui kegagalan karena di antara mereka masih belum
ada rasa persatuan nasional. Kegagalan demi kegagalan inilah yang menyadarkan
para pemimpin bangsa atau dalam hal ini kaum pergerakan nasional untuk merubah
taktik dan strategi perjuangan melawan penjajah dalam mewujudkan cita-cita
mereka, yaitu mencapai “Indonesia Merdeka” dengan mendirikan
organisasi-organisasi modern.
MASA AWAL:
Masa awal ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi
modern antara lain adalah :
a. Budi Utomo (BU, 20 Mei 1908)
Gagasan pertama pembentukan Budi Utomo berasal dari dr.
Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter Jawa dari Surakarta. Ia menginginkan adanya
tenaga-tenaga muda yang terdidik secara Barat, namun pada umumnya pemuda-pemuda
tersebut tidak sanggup membiayai dirinya sendiri. Sehubungan dengan itu perlu
dikumpulkan beasiswa (study fond) untuk membiayai mereka.
Pada tahun 1908 dr. Wahidin bertemu dengan Sutomo, pelajar
Stovia. Dokter Wahidin mengemukakan gagasannya pada pelajar-pelajar Stovia dan
para pelajar tersebut menyambutnya dengan baik. Secara kebetulan para pelajar
Stovia juga memerlukan adanya suatu wadah yang dapat menampung kegiatan dan kehidupan
budaya mereka pada umumnya. Sehubungan dengan itu pada tanggal 20 Mei 1908
diadakan rapat di satu kelas di Stovia. Rapat tersebut berhasil membentuk
sebuah organisasi bernama Budi Utomo dengan Sutomo ditunjuk sebagai ketuanya.
Pada awalnya tujuan Budi Utomo adalah menjamin kemajuan
kehidupan sebagai bangsa yang terhormat. Kemajuan ini dapat dicapai dengan
mengusahakan perbaikan pendidikan, pengajaran, kebudayaan, pertanian,
peternakan, dan perdagangan. Namun sejalan dengan berkembangnya waktu tujuan
dan kegiatan Budi Utomo pun mengalami perkembangan.
Pada tahun 1914 Budi Utomo mengusulkan dibentuknya Komite
Pertahanan Hindia (Comite Indie Weerbaar). Budi Utomo menganggap perlunya
milisi bumiputra untuk mempertahankan Indonesia dari serangan luar akibat
Perang Dunia Pertama (PD I, 1914 – 1918). Namun, usulan itu tidak dikabulkan
dan justru pemerintah Belanda lebih mengutamakan pembentukan Dewan Rakyat
Hindia (Volksraad). Selanjutnya ketika Volksraad (Dewan Rakyat) didirikan, Budi
Utomo aktif dalam lembaga tersebut. Pada tahun 1932 pemahaman kebangsaan Budi
Utomo makin berkembang maka pada tahun itu pula mereka mencantumkan cita-cita
Indonesia merdeka dalam tujuan organisasi.
b. Serikat Islam (SI, Agustus 1911)
Berbeda dengan Budi Utomo yang mula-mula hanya mengangkat
derajat para priyayi khususnya di Jawa, maka organisasi Serikat Islam mempunyai
sasaran anggotanya yang mencakup seluruh rakyat jelata yang tersebar di seluruh
pelosok tanah air. Pada tahun 1909 R.M. Tirtoadisuryo mendirikan perseroan dalam
bentuk koperasi bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Perseroan dagang ini
bertujuan untuk menghilangkan monopoli pedagang Cina yang menjual bahan dan
obat untuk membatik. Persaingan pedagang batik Bumiputra melalui SDI dengan
pedagang Cina juga nampak di Surakarta. Oleh karena itu Tirtoadisuryo mendorong
seorang pedagang batik yang berhasil di Surakarta, Haji Samanhudi untuk
mendirikan Serikat Dagang Islam. Setahun setelah berdiri, Serikat Dagang Islam
tumbuh dengan cepat menjadi organisasi raksasa. Sekitar akhir bulan Agustus
1911, nama Serikat Dagang Islam diganti menjadi Serikat Islam (SI). Hal ini
dilakukan karena adanya perubahan dasar perkumpulan, yaitu mencapai kemajuan
rakyat yang nyata dengan jalan persaudaraan, persatuan dan tolong-menolong di antara
kaum muslimin. Anggota SI segera meluas ke seluruh Jawa, Sumatra, Kalimantan
dan Sulawesi. Sebagian besar anggotanya adalah rakyat jelata. Serikat Islam ini
dapat membaca keinginan rakyat, dengan membantu perbaikan upah kerja, sewa
tanah dan perbaikan sosial kaum tani.
Perkembanganyang
cepat ini terlihat pada tahun 1917 dengan jumlah anggota mencapai 450.000 orang
yang tersebar pada 84 cabang.
Meningkatnya anggota Serikat Islam secepat ini, membuat
pemerintah Hindia Belanda menaruh curiga. Gubernur Jenderal Idenburg berusaha
menghambat pertumbuhannya. Kebijakan yang diambil antara lain dengan cuma
memberikan izin sebagai badan hukum pada tingkat lokal. Sebaliknya pada tingkat
pusat tidak diberikan izin sebab dianggap membahayakan, jumlah anggota yang terlalu
besar diperkirakan akan dapat melawan pemerintah.
Dalam kongres tahunannya pada tahun 1916, H.O.S Cokroaminoto
mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk Komite Pertahanan Hindia. Hal itu
menunjukkan bahwa kesadaran politik bangsa Indonesia mulai meningkat. Dalam
kongres itu diputuskan pula adanya satu bangsa yang menyatukan seluruh bangsa
Indonesia.
Sementara itu orang-orang sosialis yang tergabung dalam de
Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) seperti Semaun, Darsono, dan
lain-lain mencoba mempengaruhi SI. Sejak itu SI mulai bergeser ke kiri
(sosialis). Melihat perkembangan SI itu, pimpinan SI yang lain kemudian
menjalankan disiplin partai melalui kongres SI bulan Oktober 1921 di Surabaya.
Selanjutnya SI pecah menjadi SI “putih” di bawah Cokroaminoto dan SI “merah” di
bawah Semaun dan Darsono. Dalam Perkembangan SI “merah” ini bergabung dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah berdiri sejak 23 Mei 1920.
Dalam kongres Serikat Islam di Madiun pada tahun 1923 nama
Serikat Islam diganti menjadi Partai Serikat Islam (PSI). Partai ini bersifat
nonkooperasi yaitu tidak mau bekerjasama dengan pemerintah tetapi menginginkan
adanya wakil dalam Dewan Rakyat (Volksraad).
c. Muhammadiyah (18 November 1912)
Pada tanggal 18 November 1912 Muhammadiyah didirikan oleh
Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Organisasi Muhammadiyah bergerak di
bidang pendidikan, sosial dan budaya. Muhammadiyah bertujuan untuk memurnikan
ajaran Islam dalam pelaksanaan hidup sehari-hari agar sesuai dengan Al-Qur‟an
dan Hadits. Muhammadiyah berusaha memberantas semus jenis perbuatan yang tidak
sesuai dengan al-Qur‟an dan hadits. Di samping itu, Muhammadiyah juga giat
memerangi penyakit TBC (Taklid, Bid’ah dan Churafat) yang
menghinggapi masyarakat khususnya di Jawa.
Praktik Churafat atau lebih dikenal dengan praktik-praktik
amalan ibadah yang salah menurut Islam, karena mendekati takhayul, perilaku
syirik (menyekutukan Tuhan) yang banyak terjadi di lingkungan Kerajaan Mataram
Yogyakarta dan sekitarnya seperti: percaya kepada kekuatan keris, tombak,
peristiwa gerhana bulan dianggap sebagai Buta Ijo sedang memakan bulan, dan
bahkan ada yang percaya kepada Nyi Roro Kidul. Hal itu barangkali alasan yang
dapat menjawab pertanyaan mengapa Muhammadiyah lahir di kota Yogyakarta.
Untuk mencapai tujuannya Muhammadiyah melakukan berbagai
usaha seperti: mendirikan sekolah-sekolah, mendirikan rumah sakit, mendirikan
panti asuhan, mendirikan rumah anak yatim piatu dan lain-lain.
Di bidang pendidikan Muhammadiyah mendirikan dan mengelola
sekolah-sekolah dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Di
sekolah-sekolah Muhammadiyah selain diajarkan agama juga diajarkan pelajaran
umum yang mengacu pada kaidah-kaidah modern. Pendidikan mengenal sistem
kurikulum kelas atau tingkatan, sebagaimana dilakukan sekolah model Barat.
Dalam perkumpulan Muhammadiyah terdapat bagian wanita yang
disebut Aisyiah, bagian khusus anak gadis disebut Nasyiatul Aisiyah, dan
kepanduan yang disebut, Hizbul Wathan.
d. Indische Partij (IP, 1912 )
Organisasi yang sejak berdirinya sudah bersikap radikal
adalah Indische Partij. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 25 Desember 1912
di kalangan orang-orang Indo di Indonesia yang dipimpin oleh Ernest Francois
Eugene Douwes Dekker (dr. Danudirja Setiabudi). Cita-citanya adalah agar
orang-orang yang menetap di Hindia Belanda (Indonesia) dapat duduk dalam
pemerintahan. Adapun semboyan IP adalah Indie Voor de Indier (Hindia bagi
orang-orang yang berdiam di Hindia).
Dalam menjalankan propagandanya ke Jawa Tengah, E.F.E Douwes
Dekker bertemu dengan Cipto Mangunkusumo yang telah meninggalkan Budi Utomo.
Cipto Mangunkusumo terkenal dalam Budi Utomo dengan pandangan-pandangannya yang
radikal, segera terpikat pada ide Douwes Dekker. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewantara) dan Abdul Muis yang berada di Bandung juga tertarik pada ide Douwes
Dekker tersebut. Dengan dukungan tokoh-tokoh tersebut, Indische Partij
berkembang menjadi 30 cabang dengan 7.300 orang anggota,
sebagian besar terdiri atas orang-orang Indo-Belanda.
Indische Partij berjasa memunculkan konsep Indie voor de
Indier yang sesungguhnya lebih luas dari konsep “Jawa Raya” dari Budi Utomo.
Dibandingkan dengan Budi Utomo, Indische Partij telah mencakup suku-suku bangsa
lain di nusantara. Budi utomo dalam perkembangannya terpengaruh juga oleh
cita-cita nasionalisme yang lebih luas. Hal ini dialami juga oleh
organisasi-organisasi lain yang keanggotaannya terdiri atas suku-suku bangsa
tertentu, seperti Serikat Ambon, Serikat Minahasa, Kaum Betawi, Partai Tionghoa
Indonesia, Serikat Selebes, dan Partai Arab-Indonesia. Cita-cita persatuan ini
kemudian berkembang menjadi nasionalisme yang kokoh, hal ini menjadi pokok.
Masa akhir Indische Partij terjadi setelah Suwardi
Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo ditangkap. Pemerintah Belanda menganggap
Indische Partij mengganggu serta mengancam ketertiban umum. Oleh karena itu,
para pemimpinnya ditangkap dan dibuang. dr. E.F.E. Douwes Dekker atau dr.
Danudirja Setiabudi dibuang ke Kupang (NTT), dr. Cipto Mangunkusumo dibuang ke
Bandanaira di Kepulauan Maluku, dan Raden Mas Suwardi Suryaningrat dibuang ke
Pulau Bangka. Akhirnya kedua tokoh tersebut meminta dibuang ke negeri Belanda.
Demikian juga Douwes Dekker dibuang ke Belanda dari tahun 1913 sampai dengan
1918.
Pada saat pemerintah Hindia Belanda merayakan 100 tahun
kemerdekaan negeri Belanda dari Belgia, tokoh yang disebut terakhir ini juga
menulis sebuah artikel berjudul “Als Ik de Netherlander was” (seandainya aku
seorang Belanda) yang berisikan kritikan pedas terhadap pemerintah. Kelak
karena permohonan ketiga tokoh itu sendiri, akhirnya mereka dibuang ke negeri
Belanda.
2.1.2. MASA RADIKAL
Masa radikal diartikan sebagai suatu masa yang memunculkan
organisasi-organisasi politik yang kemudian dinamakan “partai”. Beberapa partai
yang dimaksud antara lain: PKI (1920), PNI (1927) dan Partindo (1931). Pada
umumnya organisasi-organisasi ini tidak mau bekerja sama dengan pemerintah
Hindia Belanda dalam mewujudkan cita-cita organisasinya. Mereka dengan tegas
menyebutkan tujuannya untuk mencapai Indonesia Merdeka. Organisasi-organisasi
atau partai ini sudah bergerak dalam bidang politik, khususnya menentang
keputusan pemerintah Belanda. Masa radikal ini juga diwarnai pengaruh Marxisme
dan komunisme.
Pada tahun 1908 di negeri Belanda berdiri sebuah organisasi
yang bernama Indische Vereeniging. Organisasi ini didirikan oleh
pelajar-pelajar dari Indonesia. Pada mulanya hanya bersifat sosial yaitu untuk
memajukan kepentingan-kepentingan bersama para pelajar tersebut. Namun sejalan
dengan berkembangnya perasaan anti kolonialisme dan imperialisme setelah
berakhirnya Perang Dunia I, organisasi ini juga menginginkan adanya hak bagi
bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sehubungan dengan itu
Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging
(Perhimpunan Indonesia) dan bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Sejalan dengan itu majalah Perhimpunan Indonesia yang semula
bernama “Hindia Putra” juga berganti nama menjadi “Indonesia Merdeka”. Para
anggota PI berusaha mengadakan propaganda kemerdekaan Indenesia. Di samping itu
mereka mengadakan hubungan dengan gerakan-gerakan nasional di berbagai negara
di dunia. Antara lain dengan Liga Penentang Tindasan Penjajah, Internasionale
Komunis dan ikut serta pada kongres-kongres internasional yang bersifat
humanistis.
Dalam perjalanannya pada tanggal 10 – 15 Februari 1927 Liga
Penentang Tindakan Penjajahan menggelar Kongres Internasional pertama di
Brussel. Tujuan kongres ini yaitu menentang imperialisme di dunia dan tindakan
penjajahan. Dalan kongres Brussel itu hadir wakil-wakil pergerakan kebangsaan
berbagai negara terjajah di dunia termasuk Indonesia dihadiri oleh Mohammad
Hatta, Nazir Pamuntjak, Gatot Mangkupraja, Achmad Soebardjo dan Semaun.
Adapun hasil-hasil yang diputuskan dalam Kongres Brussel
adalah:
1). Memberikan dukungan yang sebesar-besarnya kepada
Pergerakan Kemerdekaan Indonesia dan menyokong pergerakan itu secara terus
menerus dengan segala daya upaya apa pun juga;
2). Menuntut dengan keras kepada Pemerintah Belanda agar
pergerakan Rakyat Indonesia diberi kebebasan bergerak, menghapus
keputusan-keputusan hukuman mati dan pembuangan, serta menuntut adanya
pembebasan tahanan politik bagi kaum pergerakan.
Dengan lahirnya keputusan-keputusan yang memberikan dukungan
kepada kaum pergerakan maka Perhimpunan Indonesia segera menjadi anggota Liga Tindakan
Anti Penjajahan. Tujuannya adalah agar kaum pergerakan mendapat perhatian
Internasional serta para pemuda Indonesia bisa berkenalan dengan para tokoh
pergerakan bangsa-bangsa lain. Di samping itu juga untuk menanamkan rasa
senasib atau rasa solidaritas dengan bangsa-bangsa terjajah lainnya seperti:
tokoh-tokoh nasional dari India, Indo Cina, Filipina, Mesir serta tokoh-tokoh
pergerakan negara-negara di Pasifik.
Tindakan Perhimpunan Indonesia (PI) itu membuat Pemerintah
Kolonial Belanda bertindak tegas. Empat anggota pengurus Perhimpunan Indonesia
yaitu Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, Abdul Madjid, dan Ali Sastroamidjojo
ditangkap. Mereka dihadapkan pada sidang pengadilan Maret 1928. Dalam
kesempatan tersebut, Mohammad Hatta mengajukan pidato pembelaan yang berjudul
“Indonesia Vry” . Pemerintah kolonial Belanda ternyata tidak berhasil
membuktikan kesalahannya, sehingga merekapun dibebaskan. Kejadian ini merupakan
peristiwa yang penting bagi perjalanan Pergerakan Nasional Indonesia.
Penentangan yang dilakukan membuat PI semakin mendapat simpati dari rakyat
sehingga PI semakin besar.
Semangat yang tinggi untuk mencapai cita-cita Indonesia
merdeka juga nampak pada Partai Nasional Indonesia. Dalam anggaran dasarnya
ditegaskan secara jelas yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia. PNI berkeyakinan
bahwa untuk membangun nasionalisme ada tiga syarat yang harus ditanamkan kepada
rakyat yaitu Jiwa Nasional (nationaale geest), Niat/Tekad Nasional (nationaale
wil), dan Tindakan Nasional (nationaale daad). Dengan cara ini Partai Nasional
Indonesia berusaha dengan kekuatan rakyat sendiri, memperbaiki keadaan politik,
ekonomi, dan budaya bangsa Indonesia.
Pemahaman terhadap ketiga unsur itu menjadikan masyarakat
sadar akan kemelaratannya dalam alam penjajahan. Soekarno menjelaskan kepada
rakyat bahwa masa lampau Indonesia adalah sangat gemilang. Manusia Indonesia
menurut Soekarno (tokoh PNI) dimiskinkan oleh kolonial. Manusia Indonesia yang memiliki
tanah untuk mencari nafkah, tetapi tetap miskin. Semangat marhaenisme dan
nasionalisme yang ditiupkan oleh Bung Karno mendapat simpati kelompok-kelompok
politik. Semangat marhaenisme dan nasonalisme itulah yang membuat partai-partai
politik semakin terbangun persatuannya. Oleh sebab itu pada akhir tahun 1927
PNI mengadakan suatu rapat di Bandung yang antara lain dihadiri oleh
wakil-wakil dari Partai Serikat Islam, Budi Utomo, Paguyuban
Pasundan,Sumatranen Bond dan Kaum Betawi. Rapat yang dipimpin atau dipelopori
Partai Nasional Indonesia (PNI) itu, pada tanggal 17 Desember 1927 sepakat
membentuk suatu badan kerjasama yaitu Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Lahirnya PPPKI mendapat respon dalam kongres PNI tahun 1928.
Dalam kongres itu dikemukakan bahwa ada pertentangan tajam antara penjajah dan
yang dijajah. Belanda, merupakan suatu kekuatan imperialisme yang mengeruk
kekayaan bumi Indonesia. Itulah sebabnya tatanan-tatanan sosial, ekonomi dan
politik Indonesia hancur lebur. Untuk mengatasi keadaan ini diperlukan
perjuangan politik yaitu mencapai Indonesia merdeka.
Tidak dapat disangkal bahwa pada masa pergerakan nasional
ini ada unsur-unsur Marxisme turut mempengaruhi sikap pergerakan nasional.
Pemikiran itu disebarkan dalam rapat-rapat, kursus-kursus dan sekolah-sekolah
serta organisasi-organisasi pemuda yang didirikan oleh PNI. Pers PNI yang
terdiri dari surat-surat kabar Banteng Priangan (Bandung) dan Persatuan
Indonesia (Jakarta) juga membantu penyebaran pandangan ini. Kegiatan PNI ini
dengan pesat menarik perhatian massa. Jumlah anggota PNI pada tahun 1929
diperkirakan 10.000 orang, yang tersebar antara lain di Bandung, Jakarta,
Yogyakarta, Semarang dan Makassar. Perkembangan PNI ini semakin mengkhawatirkan
pemerintah Hindia Belanda. Dengan tuduhan akan melakukan pemberontakan,
tokoh-tokoh PNI, Soekarno dkk ditangkap, kemudian diajukan ke pengadilan pada
18 Agustus 1930.
Dalam pengadilan tersebut, Soekarno mengajukan pidato
pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat”. Tokoh-tokoh PNI tersebut
kemudian dijatuhi hukuman penjara. Setelah tokoh-tokoh pimpinan PNI ditangkap,
PNI kemudian dibubarkan. Selama Ir. Soekarno dipenjara, di dalam tubuh PNI
mengalami pertentangan antara kelompok yang tidak setuju PNI dibubarkan yaitu
PNI Merdeka yang kemudian mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia atau
PNI-Baru yang dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Sedangkan kelompok lainnya yang
dipimpin Sartono yang lebih memilih PNI dibubarkan akhirnya mendirikan Partindo
(Partai Indonesia). Setelah keluar dari penjara Ir. Soekarno dihadapkan kepada
dua pilihan organisasi yang sama-sama berat di hatinya. Namun demikian,
akhirnya Ir. Soekarno memilih masuk Partindo.
Nasionalisme juga berkembang di kalangan pemuda. Para pemuda
yang telah mendirikan berbagai organisasi pemuda juga merasa perlu untuk
menggalang persatuan. Semangat persatuan ini diwujudkan dalam kongres pemuda
pertama di Jakarta pada bulan Mei 1926. Para pemuda menyadari bahwa nasonalisme
perlu ditumbuhkan dari sifat kedaerahan yang sempit menuju terciptanya kesatuan
seluruh bangsa Indonesia. Namun kongres pertama ini belum membuahkan hasil
seperti yang diharapkan.
PPI mengisnisiasi terselenggarakannya Kongres Pemuda II.
Dalam Kongres Pemuda II yang diselenggrakan pada tanggal 27 – 28 Oktober 1928
berbagai organisasi pemuda seperti Sumatranen Bond, Jong Java, Jong Pasundan, Sekar Rukun, Jong Selebes, Pemuda
Kaum Betawi. Pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda peserta Kongres ini
berusaha mempertegas kembali makna persatuan dan berhasil mencapai suatu
kesepakatan yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, yaitu:
Pertama, Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah
darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua, Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa
yang satu, bangsa Indoensia.
Ketiga, Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi
bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Dalam penutupan kongres itu pula untuk pertama kali
dikumandangkan lagu Indonesia Raya dan Bendera Merah Putih dikibarkan untuk
mengiringi lagu tersebut. Suasana haru yang sangat mendalam memenuhi hati para
pemuda yang hadir saat itu. Sebagai tindak lanjut Sumpah Pemuda pada tanggal 31
Desember 1930 di Surakarta dibentuk organisasi Indonesia Muda, yang merupakan
penyatuan dari berbagai organisasi pemuda, yaitu Jong Java, Jong Sumatranen
Bond, Jong Minahasa, Jong Celebes, Sekar Rukun dan Pemuda Indonesia.
Hal itu membuat Pemerintah Belanda semakin serius mengawasi
pergerakan politik bangsa Indonesia. Gubernur Jenderal De Jonge melakukan
tekanan keras terhadap organisasi pergerakan nasional. Ia mempunyai hak luar
biasa untuk menindak setiap gerakan nasional yang dianggap mengganggu
ketentraman dan ketertiban. Partai politik dikenakan larangan rapat. surat
kabar diberangus dan dibakar. Para pemimpinnya ditangkap dan dibuang. Tindakan
pemerintah berupa penangkapan dan pembuangan para pemimpin politik inilah yang
menyebabkan hubungan partai-partai politik dengan massa rakyat terputus.
Pemimpin dan pengikut dipisahkan dari kegiatan politik. Polisi rahasia atau
Politieke Inlichtingen Dienst (PID) selalu memata-matai setiap gerakan dan siap
menindak.
MASA BERTAHAN
Pada tahap ini kaum pergerakan berusaha mencari jalan baru
untuk melanjutkan perjuangan. Hal itu dilakukan karena adanya tindakan keras
dari pemerintah. Mereka menggunakan taktik baru, yaitu dengan bekerja sama
dengan pemerintah melalui parlemen. Partai politik mengirimkan wakil-wakilnya
dalam Dewan Rakyat. Mereka mengambil jalan kooperatif, tetapi sifatnya
sementara dan lebih sebagai taktik perjuangan saja.
Perjuangan moderat dan parlementer ini berlangsung dari
tahun 1935 – 1942, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenborgh Stachouwer (1936 – 1942). Hingga saat pemerintah Hindia Belanda
ditaklukkan oleh Jepang, pemberian hak parlementer penuh oleh pemerintah
Belanda kepada wakil-wakil rakyat Indonesia tidak pernah menjadi kenyataan.
Di antara partai-partai politik yang melakukan taktik
kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda adalah Persatuan Bangsa Indonesia
dan Partai Indonesia Raya. Kelompok Studi Indonesia di Surabaya menyarankan
agar perbedaan antara gerakan yang berasas kooperasi dan non-kooperasi tidak
perlu dibesar-besarkan. Hal yang lebih penting yaitu tujuan organisasi sama
yakni memperjuangkan pembebasan rakyat dari penderitaan lewat kesejahteraan
ekonomi, sosial budaya dan politik.
Untuk melaksanakan cita-cita kesejahteraan ekonomi maka
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) mendirikan bank, koperasi serta perkumpulan
tani dan nelayan. Pemakarsanya adalah Dokter Sutomo, seorang pendiri Budi
Utomo. Pada tahun 1932, anggota PBI yang berjumlah 2.500 orang dari 30 cabang
menyelenggarakan kongres, kongres tersebut memutuskan bahwa PBI akan tetap
menggalakkan koperasi, serikat kerja, dan pengajaran. Untuk mencapai tujuan itu
maka tidak ada jalan lain yang dilakukan kecuali pendidikan rakyat diperhatikan
dengan mengadakan kegiatan kepanduan .
Pada tahun 1935 terjadi penyatuan antara Budi Utomo dan PBI.
Dalam sebuah partai yang disebut Partai Indonesia Raya (Parindra), Ketuanya
adalah Dokter Sutomo. Organisasi-oraganisasi lain yang ikut bergabung dalam
Parindra diantaranya: Serikat Sumatera, Serikat Celebes, Serikat Ambon, dan
Kaum Betawi.
Dengan bergabungnya berbagai organisasi membuat Parindra
semakin kuat dan anggotanya tersebar di mana-mana. Jumlah anggotanya meningkat
pesat. Pada tahun 1936 jumlah anggotanya berkisar 3.425 orang dari 37 cabang.
Cita-cita Parindra pun semakin tegas yaitu mencapai Indonesia merdeka.
Dalam kongresnya tahun 1937, Wuryaningrat terpilih sebagai
ketua dibantu oleh Mohammad Husni Thamrin, Sukardjo Wiryapranoto, Raden Panji
Suroso, dan Susanto Tirtoprojo. Kerjasama antar anggota cabang-cabangnya
menjadikan Parindra sebagai partai politik terkuat menjelang runtuhnya Hindia
Belanda.
Di samping Parindra juga muncul organisasi lain seperti
Partindo. Namun karena desakan pemerintah akhirnya partai itu bubar pada tahun
1936. Para pemimpinnya melanjutkan perjuangan dengan mendirikan Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo) di Jakarta pada tanggal 24 Mei 1937. Tokoh-tokoh yang duduk
dalam Gerindo antara lain Mr. Mohammad Yamin Mr. Sartono,, dan Mr. Amir
Syarifuddin. Para pemimpinnya menginginkan Gerindo menjadi partai rakyat dengan
asas kooperasi. Prinsip demokrasi dipertahankan untuk menahan desakan ekspansi
Jepang yang makin dekat.
Perjuangan melawan pemerintah Belanda terus dilanjutkan. Di
pihak lain, para pejuang juga mempersiapkan diri menghadapi Jepang yang mulai
mengarah ke selatan. Namun kemudian terjadi kericuhan di dalam Gerindo,
sehingga perpecahan tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu Mr. Mohammad Yamin
mendirikan Partai Persatuan Indonesia pada tanggal 21 Juli 1939. Asas
perjuangannya adalah demokrasi kebangsaan dan kerakyatan. Namun organisasi ini
tidak mendapat tempat dalam masyarakat.
Pada masa pemerintah Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum
(1916 – 1921) dibentuk Volksraad atau Dewan Rakyat, yaitu pada tanggal 18 Mei
1918. Anggota dewan dipilih dan diangkat dari golongan orang Belanda,
Indonesia, dan bangsa-bangsa lain. Orang Indonesia yang menjadi anggota
mula-mula berjumlah 39%, kemudian bertambah dalam tahun-tahun selanjutnya.
Tujuan pembentukan Dewan Rakyat adalah agar wakil-wakil rakyat Indonesia dapat
berperan serta dalam pemerintahan. Akan tetapi, dewan ini tidak mencerminkan
perwakilan rakyat yang sesungguhnya, karena yang berhak memilih anggota dewan
adalah orang-orang yang dekat dengan pemerintah. Wakil-wakil bumiputra tidak
banyak mempunyai hak suara.
Meskipun demikian, partai politik yang berazaskan kooperatif
mengirimkan wakil-wakilnya untuk duduk dalam Dewan Rakyat. Mereka menyalurkan
aspirasi (cita-cita, harapan, keinginan) partainya melalui dewan itu. Sedang
golongan nonkooperatif menganggap Dewan Rakyat hanyalah sandiwara dan mereka
tidak mau duduk dalam dewan itu.
Golongan kooperatif berupaya semaksimal mungkin untuk
memanfaatkan Dewan Rakyat. Pada tahun 1930 Mohammad Husni Thamrin, anggota
Dewan Rakyat, membentuk Fraksi Nasional guna memperkuat barisan dan persatuan
nasional. Mereka menuntut perubahan ketatanegaraan dan penghapusan diskriminasi
di berbagai bidang. Mereka juga menuntut penghapusan beberapa pasal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda tentang penangkapan dan pengasingan pemimpin
perjuangan Indonesia serta pemberangusan pers.
Pada tanggal 15 Juli 1936 Sutarjo Kartohadikusumo, anggota
dewan rakyat, menyampaikan petisi agar Indonesia diberi pemerintahan sendiri
(otonomi) secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun. Jawaban terhadap
petisi Sutarjo baru diberikan oleh pemerintah dua tahun kemudian. Dapat
dipastikan bahwa tuntutan untuk otonomi ini ditolak pemerintah, sebab hal ini
memberi peluang yang mengancam runtuhnya bangunan kolonial. Meskipun demikian,
para nasionalis tetap gigih memperjuangkan tuntutan itu lewat forum parlemen
semu tersebut.
Kegagalan Petisi Sutarjo bahkan menjadi cambuk untuk
meningkatkan perjuangan nasional. Pada bulan Mei 1939 Muh. Husni Thamrin
membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang merupakan gabungan dari
Parindra, Gerindo, PSII, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik Indonesia.
Pasundan, Kaum Betawi, dan Persatuan Minahasa. Tujuannya ialah agar terbentuk
kekuatan nasional tunggal dalam menghadapi pemerintah kolonial. Selain itu,
ancaman perang makin terasa karena Jepang sudah bergerak makin jauh ke selatan
dan mengancam Indonesia.
GAPI mengadakan aksi dan menuntut Indonesia Berparlemen yang
disusun dan dipilih oleh rakyat Indonesia, Pemerintah harus bertanggung jawab
kepada Parlemen. Jika tuntutan itu diterima pemerintah, GAPI akan mengajak
rakyat untuk mengimbangi kemurahan hati pemerintah.
Untuk mencapai cita-cita GAPI ini maka pada tanggal 24
Desember 1939 kaum pergerakan mengadakan Kongres Rakyat Indonesia. Kegiatan ini
antara lain menuntut pemerintah Belanda agar menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional, Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan dan bendera
merah putih sebagai bendera Nasional.
Pemerintah memberikan reaksi dingin. Perubahan
ketatanegaraan akan diberikan setelah Perang Dunia II selesai. Pada 1 September
1939 pecah perang di Eropa yang kemudian berkembang menjadi Perang Dunia II.
Tuntutan GAPI dijawab Pemerintah dengan pembentukan Komisi Visman pada bulan
Maret 1941. Komisi yang diketuai Visman ini bertugas mengetahui keinginan
kelompok masyarakat Indonesia dan perubahan pemerintahan yang diharapkan.
Namun Komisi ini hanya menampung hasrat masayarakat
Indonesia yang pro pemerintah dan masih menginginkan Indonesia tetapi dalam
ikatan Kerajaan Belanda. Hasil penyelidikan Komisi Visman tidak memuaskan.
Komisi hanya sekedar memberi angin atau berbasa-basi kepada kaum nasionalis
Indonesia dan tidak sungguh-sungguh menanggapi perubahan ketatanegaraan
Indonesia.
Sebelum hasil Komisi Visman diwujudkan, Jepang sudah tiba di
Indonesia. Meskipun demikian pihak Indonesia telah sempat mengusulkan 3 hal,
yaitu :
1. pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri;
2. penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang Dewan Rakyat;
3. pergantian kata Inlander (pribumi) menjadi Indonesier.
Untuk menguatkan dan mensukseskan perjuangan GAPI yaitu
“Mencapai Indonesia Berparlemen”, maka kaum pergerakan mengadakan kongres.
Kongres Rakyat Indonesia (KRI) yang sebelumnya hanyalah kata kerja/kegiatan
(verb) kemudian dirubah menjadi seolah-olah sebuah badan perwakilan (parlemen)
bagi bangsa Indonesia.
Anggota KRI di antaranya: 1. Partai Indonesia Raya
(Parindra), 2. Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), 3. Paguyuban Pasundan, 4.
Persatuan Minahasa, 5. Persatuan Perkumpulan Pemuda Indonesia (PPPI), 6.
Kongres Perempuan Indonesia (KPI), 7. Istri Indonesia (II), 8. Persatuan
Djurnalis Indonesia (Perdi), 9. Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI), 10.
Persatuan Hindustan Indonesia (PHI), 11. Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII),
12. Partai Islam Indonesia (PII), 13. Partai Arab Indonesia (PAI), 14.
Muhammadiyah, 15. Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), 16. Persatuan Islam
(Persis), 17. Nahdhatul Ulama (NU), 18. Gabungan Serikat Pekerja Indonesia
(Gaspi), 19. PBMTS, 20. Partai Persatuan Indonesia (Parpindo), 21. Persatuan
Bangsa Indonesia (PBI), kemudian yang berasal dari organisasi Persatuan
Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) seperti: 22.
Persatuan Pegawai Pegadaian Hindia (PPPH) yang kemudian
berubah menjadi Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB), 23. Persatuan
Guru Hindia Belanda (PGHB) yang berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI
yang merupakan gabungan dari: VOB, PGB, OKSB, PGAS dan HKSB), 24. Landelijke
Inkomsten Bond (LIB), 25. Perserikatan Kaum Sekerja Boschwezen (PKSB), 26.
Pegawai Mijn Bouw (PMB), 27. Perhimpunan Pegawai Spoor Tram (PPST).
Kongres Rakyat Indonesia yang mempunyai anggota tidak kurang
dari 27 perkumpulan tersebut segera mempersiapkan pembentukan parlemen ala
Indonesia, yakni dengan merubah Kongres Rakyat Indonesia menjadi Majelis Rakyat
Indonesia (MRI). MRI dianggap sebagai suatu Badan Perwakilan Rakyat Indonesia
untuk sementara sampai terbentuknya parlemen Indonesia yang sesungguhnya. Sejak
tanggal 14 September 1941, Kongres Rakyat Indonesia secara resmi diganti
menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI).
Di dalam MRI duduk wakil-wakil dari organisasi politik,
organisasi Islam, federasi serikat sekerja, dan pegawai negeri. Anggota MRI
adalah merupakan gabungan dari organisasi-organisasi besar seperti Gapi, MIAI
dan PVPN.
Anggota Gapi (Gabungan Politik Indonesia) meliputi:
Parindra, Gerindo, PII, PPKI, PSII, Persatuan Minahasa dan Paguyuban Pasundan.
Federasi ini merupakan wadah baru setelah PPPKI yang sebelumnya merupakan
federasi dari berbagai perkumpulan beraneka warna lumpuh. Kemudian MIAI
(Majelis Islam A’la Indonesia) ini merupakan federasi dari
organisasi-organisasi Islam yang didirikan pada tanggal 21 September 1937 di
Surabaya. Anggota MIAI di antaranya ialah NU, Muhammadiyah, SI dan PII. Rupanya
PII disamping sebagai anggota Gapi juga menjadi anggota MIAI.
Sedangkan PVPN (Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri),
merupakan federasi perkumpulan-perkumpulan sarikat sekerja pegawai negeri yang
pada tahun 1930 jumlah anggotanya mencapai 29.700 orang dan meliputi 13
perkumpulan dan pada akhir masa pergerakan nasional PVPN beranggotakan 18
organisasi di antaranya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB; di mana PGHB
sendiri merupakan gabungan dari 7 perkumpulan guru-guru dengan jumlah anggota
15.000, di antaranya yang paling besar dari perkumpulan Volks Onderwijzers Bond
[VOB] yang mempunyai 103 cabang dan 9.000 anggota), dan PGHB kemudian namanya diubah
menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) yang mencakup Persatuan Guru Bantu
(PGB), Persatuan Guru Ambacht School
(PGAS), VOB, Oud Kweekscholieren Bond (OKSB), Persatuan
Normaal School (PNS) dan Hogere Kweekscholieren Bond (HKSB). Sedangkan anggota
PVPN lainnya seperti Perserikatan Pegawai Pegadaian Hindia (PPPH), Perserikatan
Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB), Perhimpunan Pegawai Spoor dan Tram (PPST),
Vereniging van Indonesische Personeel bij de Irrigatie, Waterstaat en
Waterschappen (VIPIW), Landelijke Inkomsten Bond (LIB; Kadaster Bond),
Perserikatan Kaum Sekerja Boschwezen (PKSB), VAMOLA, Pegawai Mijn Bouw (PMB),
Persatuan Kaum Verplegers (sters) van Indie (PKVI), PPAVB, Midpost, Opiumregie,
PPTR, VOLTA, PMMB, PPP dan ORBHB.
Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara
organisasi-organisasi yang tergabung dalam MRI, namun persatuan dan kesatuan
kaum Nasionalis terus dipupuk sampai masuknya Tentara Militer Jepang.
Comments
Post a Comment