Pelengkapan Pidato Nawaksara, Jakarta, 10 Januari 1967
Dan saya, saudara-saudara, telah memberikan, menyumbangkan
atau menawarkan diri saya sendiri, dengan segala apa yang ada pada saya ini,
kepada service of freedom, dan saya sadar sampai sekarang the service of
freedom is a deathless service, yang tidak mengenal akhir, yang tidak mengenal
maut. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia bisa hancur, badan manusia
bisa dimasukkan di dalam kerangkeng, badan manusia bisa dimasukkan di dalam
penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa dibuang ke tanah
pengasingan yang jauh daripada tempat kelahiran, tetapi ia punya service of
freedom tidak bisa ditembak mati, tidak bisa di kerangkeng, tidak bisa dibuang
di tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati. Dan saya beritahu kepada
Saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri, saya, Saudara-saudara, telah lebih
daripada tigapuluh lima tahun, hampir empat puluh tahun edicate myself to this
service of freedom. Yang saya menghendaki agar supaya seluruh, seluruh, seluruh
rakyat Indonesia masing-masing juga dedicate jiwa raganya kepada service of
freedom ini, oleh karena memegang service of freedom ini is deathless service.
Tetapi akhirsnya segala sesuatu adalah ditangannya Tuhan. Apakah Tuhan memberi
saya dedicate my self, my all to this service of freedom, itu adalah tuhan
punya urusan. Karena itu maka saya terus, terus, terus selalu memohon kepada
Allah S.W.T., agar saya diberi kesempatan untuk ikut menjalankan aku punya
service of freedom ini. Tuhan yang menentukan. De mens wikt, God belist;
manusia bisa berkehendak macam-macam, Tuhan yang menentukan. Demikianpun saya
selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu. Cuma saya juga dihadapan Tuhan
berkata: Ya Allah, ya Rabbi, berilah saya kesempatan, kekuatan, taufik, hidayat
untuk dedicate my self to this great cause of freedom and tho this great
service Pada tanggal 22 juni 1966, presiden Indonesia Soekarno berpidato dalam
sidang umum ke-IV MPRS. Pidatonya berjudul NAWAKSARA. Berikut petikannya:
"Sembilan di dalam bahasa Sansekerta adalah "Nawa". Eka, Dwi, Tri,
Catur, Panca, enam-yam, tujuh- sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa,
sepuluh-dasa. Jadi saya mau beri nama dengan perkataan "Nawa".
"Nawa" apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama "NAWA
AKSARA", dus "NAWA iAKSARA" atau kalau mau disingkatkan
"NAWAKSARA". Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama
"Sembilan Ucapan Presiden". "NAWA SABDA". Nanti kalau saya
kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata: "Uh, uh,
Presiden bersabda". Sabda itu seberti raja bersabda. Tidak, saya tidak mau
memakai perkataan "sabda" itu, saya mau memakai perkataan
"Aksara"; bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara
Belanda dan sebagainya. NAWA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya berikan
kepada pidato ini. Saya minta wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa
pidato Presiden dinamakan oleh Presiden "NAWAKSARA" Pidato ini
disampaikan oleh Presiden Soekarno sebagai pertanggungjawabannya atas sikapnya
dalam menghadapi Gerakan 30 September. Soekarno sendiri menolak menyebut gerakan
itu dengan nama tersebut. Menurutnya Gerakan itu terjadi pada tanggal 1 Oktober
dini hari, dan karena itu ia menyebutnya sebagai Gestok (Gerakan 1 Oktober)
Pidato Nawaksara merupakan dokumen sejarah yang menarik. Pidato yang diucapkan
Soekarno di depan sidang umum MPRS ke-IV ini menandai titik balik era Demokrasi
Terpimpin. Era Demokrasi Terpimpin dimulai ketika terbitnya dekrit Presiden 5
Juli 1959. Demokrasi ala Soekarno yang memunculkan kesimpulan kepala
pemerintahan memiliki kekuasaan tak berhingga. Dan komando politik Indonesia
berada di telunjuk Soekarno. Era ini, mencuatkan kekuatan baru dalam kancah
politik yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Kekuatan politik seperti Partai
Sosiali Indonesia (PSSI) dan masyumis sudah diberangus terlebih dahulu. Di sisi
lain, TNI-AD hadir sebagai pengimbang PKI. Dengan demikian, era Demokrasi
Terpimpin menyebabkan kekuasaan terpusat pada tiga sumber utama: Soekarno, PKI,
dan TNI-AD Pidato ini ialah pertanggung jawaban Soekarno selaku Presiden
Republik Indonesia. Pidato ini disampaikan untuk menjawab permintaan MPRS yang
meminta penjelasan tentang peristiwa 30 September, dan kemerosotan ekonomi.
Menjawab permintaan majelis rakyat, Soekarno mengurai tiga keterangan pokok
yang berkaitan dengan G-30-S: (a) keblingeran pimpinan PKI, (b) subversi
neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim), dan (c) adanya oknum-oknum yang
"tidak benar". Soekarno menuding kekuatan kontra-revolusi dari dalam
negeri dan kekuatan neolim bersatu padu berpuaya menggulingkannya dengan
Gerakan 30 September. Nawaksara ini pula mejadi langkah awal peralihan
kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Pimpinan MPRS (diketuai AH Nasution, dan
wakil ketua Osa Maliki, HM Subchan ZE, M.Siregar, dan Mashudi) lewat keputusan
nomor 5/MPRS/1966 tertanggal 5 juli 1966 meminta Panglima Besar Revolusi untuk
melengkapi pidato tersebut. Soekarno membalasnya dengan Pelengkap Nawaksara
yang disampaikan tertulis pada 10 Januari 1967. Isinya antara lain: (a) G.30.S
ada satu complete overcompeling: (b) Soekarno sudah mengutuk Gestok (Gerakan
Satu Oktober). Yaitu ketika berpidato pada perayaan peringatan kemerdekaan
Republik Indonesia, 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966. Pada
kesempatan 17 Agustus 1966, Soekarno berkata "sudah terang Gestok kita
kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya
katakan dengan jelas dan tandas, bahwa yang bersalah harus dihukum. Untuk itu
kubangunkan MAHMILLUB"; (c) pada malam peringatan Isro dan Mi;radj di
Istana Negara, Pengemban Supersemar mengatakan, "saya sebagai salah
seorang yang turut aktif menunmpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI,
berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30
September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah "Gestok".
Pertentangan antara kubu Soekarno dan kubu MPRS yang dikomandoi AH Nasution
semakin terang ketika Pimpinan MPRS, 16 Februari 1967, mengeluarkan Keputusan
No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang
isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA. Alasan penolakan Nawaksara dan
Pelengkap Nawaksara oelh MPR karena tidak memenuhi harapan anggota-anggota MPRS
dan bangsa pada umumnya. Dalam dua pertanggung jawaban tersebut tidak
dijelaskan terperinci kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan
kontra-revolusi G30S/PKI, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan akhlak. Tanggapan
ini benar-benar mengecewakan Soekarno. Padahal, pemangku Panglima Tertinggi
Angkatan Bersentaja ini berpikir sudah memberikan jawaban yang jujur, memenuhi
harapan dari apa yang ditanyakan, serta sesuai persayaran yuridis. Empat hari
kemudian, demi kesatuan bangsa dan mencegah konflik horisontal antar pendukung,
Presiden Soekarno memberikan pegnumuman, yang isinya antara lain: KAMI,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN
BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bawha konflik politik yang
terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa dan
Negara, maka dengan ini mengumumkan: Kami, Presiden Republik
Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada
Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, dengan tidak mengurangi maksud dan
jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS NO. IX/MPRS/1966
melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu dirasa
perlu. Ketiga Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin
Masyarakat, segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjga dan menegakkan
revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS NO.
IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa
tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha
Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan
Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila." Pengumuman ini
ditandatangani Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPR/Panglima
Tertinggi ABRI. Tak mau menunggu lama, MPRS dalam sidang istimewa pada awal
Maret 1967 mengeluarkan salah satu ketetapan penting, yakni TAP MPR No.
XXXIII/MPRS/1967, yang berkesimpulan mencabut kekuasaan Soekarno, dan sekaligus
mengangkat Pengemban Surat Perintah Sebelas Maret, Jendral Soeharto sebagati
Pejabat Presiden hingga Pemilihan umum dilaksanakan. Semenjak itu, pengaruh
Soekarno dan pendukungnya diperlemah secara bertahap. Seperti halnya pledoi
Indonesia Menggugat yang dibacakan Soekarno di depan Landraan Bandoen, pidato
Nawaksara beserta Pelengkap Nawaksara ditolak majelsi yang memiliki kepentingan
politik. Dua pidato Soekarno yang berjarak 36 Tahuni ini sam-sama menyimpan
gelegak amarah. Dulu tahun 1930, ditujukan pada pemerintah kolonial
Hindia-Belanda. Kini, 1966 ditujukan kepada sekolompok "pemain
politik" yang menuduhnya terlibat Gerakan 30 September. Walau tergusur
dari tampuk kekuasaan, pengaruh Soekarno masih terus terpelihara dalam benak
orang-orang yang tersisih kaum marhaen. Kaum marhaen yang selalu diperjuangkan
kemerdekaannya sebagai manusia oleh Sang Putra Fajar, Bung Karno. Sebaliknya,
bagi para marhaen, Bung Karno ialah spirit untuk terus berjuang melawan
kemiskinan dan kebodohan. SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB Kenapa saya saja yang
diminta pertanggungan-jawab atas terjadinya G-30-S atau yang saya namakan
Gestok itu? Tidakkah misalnya Menko Hankam (waktu itu) juga bertanggung jawab?
Sehubungan dengan ini saya menanya: Siapa yang bertanggung jawab atas usaha
membunuh Presiden-Pangti dengan penggranatan hebat di Cikini? Siapa yang
bertanggung jawab atas usaha membunuh saya dalam "peristiwa Idhul
Adha?" Siapa yang bertanggung jawab atas pembrondongan dari pesawat udara
kepada saya oleh Maukar? Siapa yang bertanggung jawab atas penggranatan kepada
saya di Makassar? Siapa yang bertanggung jawab atas pemortiran kepada saya di
Makassar? Siapa yang bertanggung jawab atas pencegatan bersenjata kepada saya
di dekat gedung Stanvac? Siapa yang bertanggung jawab atas pencegatan
bersenjata kepada saya di sebelah Cisalak? Dan lain-lain Syukur Alhamdulillah,
saya dalam semua peristiwa itu dilindungi oleh Tuhan! Kalau tidak, Tentu saya
sudah mati terbunuh! Dan mungkin akan Saudara namakan "tragedi
nasional" pula. Tetapi sekali lagi saya menanya: Kalau saya disuruh
bertanggung jawab atas terjadinya G-30-S, maka saya menanya: siapa yang harus
dimintai pertanggungjawab atas usaha pembunuhan kepada Presiden/Pangti, dalam
tujuh peristiwa yang saya sebutkan di atas itu? Kala bicara tentang
"Kebenaran dan Keadilan" maka saya pun minta, "Kebenaran dan
Keadilan"! Ir. Soekarno, Pelengkapan Pidato Nawaksara, Jakarta, 10 Januari
1967
Comments
Post a Comment